Selasa, 17 Desember 2013

Cerita Nobar Bersama Presiden

Jumat 29 November 2013

Akhir pekan ini agenda Presiden cuma satu, yaitu menyaksikan pemutaran perdana film 99 Cahaya di Langit Eropa. Acara nonton bareng ini akan digelar di XXI Djakarta Theater, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada pukul 20.00 WIB. Jam segitu cukup larut buat saya karena pemutaran film baru akan berakhir di atas pukul 22.00 WIB. Itu artinya saya harus bersusah payah mencari angkutan umum untuk pulang.

Tapi saya memutuskan untuk ikut menyaksikan film ini karena dua alasan. Pertama, saya belum pernah meliput aktivitas Presiden yang non-formal seperti ini. Sepanjang 2013, ini kali kedua Presiden menyaksikan pemutaran perdana film nasional. Sebelumnya, Presiden pada Senin 20 Mei lalu menyaksikan pemutaran perdana film Sang Kiai. Ketika itu saya tak ikut meliputnya. Kali ini saya ingin tahu bagaimana protokoler Presiden jika masuk ke sebuah bioskop.

Kedua, meski tergolong sebagai penikmat film yang cukup aktif, terbukti dari koleksi kepingan DVD dari beragam jenis film yang berjumlah 3.000 lebih di lemari (sebagian besar DVD bajakan pastinya), saya belum pernah masuk bioskop yang satu ini. Jadi, dengan ikut nobar kali ini, paling tidak bisa menambah lagi pengalaman saya masuk berbagai bioskop di Jakarta, mulai dari kelas kambing hingga nonton di Theater IMAX.

Sedikit tentang film yang akan ditonton hari ini, 99 Cahaya di Langit Eropa diangkat dari novel berjudul sama karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Hanum adalah putri dari mantan Ketua MPR dan pendiri Partai Amanat Nasional Amien Rais. Sedangkan Rangga adalah suami Hanum.

Adalah Hanum yang menyampaikan undangan secara langsung kepada Susilo Bambang Yudhoyono saat Presiden berkunjung ke kediaman Amien Rais di Yogyakarta pada Kamis 17 Oktober lalu. Agaknya Presiden tak kuasa menolak undangan itu dan menyanggupi untuk hadir. Dan lagi tak ada salahnya Presiden menonton film ini, karena dipastikan tak bakal ada adegan buka paha, penampakan hantu, atau lompat-lompatan dari pohon ke pohon seperti film Indonesia kebanyakan.

Karena sepanjang hari ini langit tertutup awan, saya menduga petang hingga malam akan diguyur hujan. Karena itu saya berangkat lebih dini. Sesaat setelah turun dari bus Transjakarta di depan Sarinah, gerimis mulai turun, saya pun bergegas menuju gedung bioskop. Belum ada aktivitas, masih sepi, kendati petugas keamanan, polisi militer, dan Paspampres sudah mengambil alih gedung ini. Menjelang magrib hujan deras pun turun.

Seperti biasa, ada pemeriksaan di depan pintu masuk oleh Paspampres. Setelah itu ada sajian kudapan dan minuman untuk para tamu. Jarang-jarang saya meliput kegiatan Presiden yang para tamunya kebanyakan adalah para artis dan minus para pejabat. Selain para pemeran film ini, sejumlah nama terkenal di jagat hiburan Tanah Air juga terlihat hadir. Sepertinya acara nobar ini akan seru juga.

Tak lama kemudian ada pesan dari Biro Pers Istana bahwa para wartawan tak akan menyaksikan film di studio yang sama dengan Presiden karena keterbatasan tempat duduk. Kalau Presiden dan rombongan menonton di studio 1, maka kami nonton tepat di sebelahnya di studio 2. Saat kami dipandu ke studio2, ruangan bioskop ini masih kosong. Diberitahukan pula bahwa kami bebas memilih tempat duduk. Kami yang semuanya berjumlah sekitar 20 orang itu duduk di bagian tengah, sedangkan para kamerawan menunggu kedatangan Presiden di ruangan sebelah.

Hanya dalam hitungan menit sejumlah penonton lain berdatangan. Mereka menenteng undangan serta tiket yang bertuliskan nomor kursi. Awalnya tak ada masalah, sampai kemudian beberapa orang penonton undangan itu menunjuk-nunjuk kursi yang kami duduki. Dengan sikap sopan, sejumlah penonton itu memberitahu kalau kursi yang kami duduki itu sama dengan nomor tiket yang mereka miliki. Jadilah kemudian kami pindah agak ke depan.

Tapi makin lama suasana makin tidak menyenangkan. Setiap penonton yang masuk selalu membawa undangan dan tiket. Sepertinya hanya menunggu waktu sampai kami kembali 'diusir' karena menduduki kursi penonton lain. Wartawan pun memutuskan untuk keluar dari ruangan dan berkumpul di lobi bioskop. Mengherankan juga kenapa sebuah acara yang dihadiri oleh Presiden dikelola dengan cara-cara amatir seperti ini.

Orang-orang dari Biro Pers Istana yang mengetahui hal ini kemudian meminta kami bersabar. Setelahnya kami diminta untuk masuk ke studio 1. Sebagian besar kursi di studio ini sudah terisi, namun belasan tempat duduk masih kosong, termasuk kursi untuk rombongan Presiden. Kami pun kemudian diarahkan Paspampres menuju kursi yang masih kosong. Saya pun mendapat kursi di pojok kiri, merapat ke dinding, sejajar dengan deretan kursi bagian tengah yang akan ditempati Presiden.

Sebelum saya duduk, di kursi yang akan saya tempati ada secarik kertas yang ditempel di sandarannya bertuliskan 'Ambassador', demikian pula dengan kursi di samping saya yang ditempati seorang reporter televisi swasta. Saya langsung bisa menebak, kursi-kursi ini harusnya ditempati oleh undangan VVIP, yaitu para duta besar negara sahabat. Karena sudah dikonfirmasi tidak akan datang, kursi-kursi ini diberikan pada wartawan agar terlihat penuh. Tak elok jika Presiden masuk studio ini dan melihat adanya deretan kursi yang tanpa penghuni.

Buat saya sendiri tak ada masalah, yang penting bisa nonton. Nonton film dan nonton rombongan Presiden nonton film, dua hal itu yang penting. Yang berbeda dengan studio 2, di sini setiap kursi disediakan sebotol air mineral dan satu kotak penuh berondong jagung. Sayang, saya bukan tipe penonton film yang suka ngemil atau minum saat menatap layar bioskop. Bagi saya itu sangat mengganggu konsentrasi. Mungkin berondong jagung ini nanti bisa dibawa pulang, untuk sang istri yang menunggu di rumah.

Akhirnya, terlambat hampir setengah jam dari jadwal semula, Presiden dan rombongan memasuki ruangan studio 1. Terlihat Ibu Negara Ani Yudhoyono, Amien Rais beserta istri, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, dan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang berasal dari Partai Amanat Nasional, parpol besutan Amien Rais. Rombongan Presiden duduk dengan diapit oleh satu tim Paspampres yang duduk di sekeliling rombongan Kepala Negara, sementara deretan kursi di depan Presiden dibiarkan kosong.

Sebelum film dimulai, Hanum dan Rangga tampil ke depan dan memberi sedikit sambutan tentang film yang akan diputar. Dalam sambutan yang disampaikan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris itu keduanya menyampaikan ide terciptanya 99 Cahaya di Langit Eropa. "Film ini merupakan penggalan pengalaman kami selama tinggal di Eropa, mudah-mudahan bisa menjadi inspirasi dan Bapak Presiden beserta undangan lainnya bisa menikmati," ujar Hanum dan suaminya.

Lantas, film pun dimulai. Di layar terpampang panorama Kota Wina di Austria dan kemudian ada juga Kota Paris di Prancis. Secara keseluruhan buat saya film ini biasa-biasa saja, datar dan nyaris tanpa konflik. Film ini memang mengambil tema yang lumayan rumit, yaitu bagaimana sulitnya hidup mereka yang muslim di kota-kota Eropa, tapi itu sama sekali tak terlihat dan terasa di layar. Alur cerita juga lambat.

Film ini juga mengingatkan saya pada film Da Vinci Code, tapi dalam artian positif. Dalam film ini Hanum dan Rangga memberi pencerahan atas sejumlah lokasi yang berhubungan dengan kejayaan Islam di masa lalu. Buat saya ini lumayan mencerahkan kendati kalau kebanyakan bisa menjadi semacam film dokumenter atau panduan perjalanan wisata. Syukurlah film ini belum sampai pada genre itu.

Di samping itu, jajaran pemainnya menurut saya sudah tepat. Saya selalu memuji penampilan Acha Septriasa dalam film Love, Abimana Aryasatya saya pujikan aktingnya dalam Catatan Harian Si Boy, Raline Shah adalah bintang baru yang lumayan bersinar, Nino Fernandez juga cukup menghibur, Alex Abbad yang kali ini tampil beda dan tetap oke, serta Marissa Nasution yang tampil menggoda. Hanya itu catatan berdasarkan selera saya.

Dalam beberapa hal, penilaian Presiden jauh berbeda dengan saya. Usai film ditutup dengan memberi clue bahwa akan ada sekuel dari film ini, Presiden pun didapuk untuk memberikan komentar. Didampingi seluruh kru dan pemeran 99 Cahaya di Langit Eropa, Presiden melontarkan pujiannya. "Ini sebuah karya seni yang luar biasa, bukan hanya cerita yang segar dan penuh pembelajaran, tetapi juga diekspresikan oleh para artis kita dengan tampilan yang luar biasa dan digarap secara baik," ujar Presiden.

Namun, untuk satu hal, bahwa kalau terlalu banyak mengumbar cerita tentang lokasi-lokasi bernilai sejarah di Eropa film ini bisa terjerumus menjadi film dokumenter atau panduan wisata, Presiden agaknya sepakat dengan saya. "Bagi yang sering bepergian ke Eropa tentu ini mengingatkan kita pada kawasan itu, budayanya, bahasanya, dan kulinernya," kata Presiden.

Setelah memberi ucapan selamat kepada seluruh kru serta sesi foto-foto, kami pun keluar dari ruangan bioskop. Di luar masih ada sisa gerimis. Usai berbincang-bincang dengan beherapa teman, saya memutuskan untuk pulang dan mencari angkutan umum. Sudah pukul 11 malam, mudah-mudahan masih ada kendaraan. Syukurnya, ada yang mengajak saya nebeng dengan sepeda motornya. Jadilah saya berboncengan dengan teman itu di bawah gerimis kecil.

Alhamdulillah, tiba juga akhirnya di rumah, meski sudah menjelang tengah malam. Saat istri bertanya bagaimana penilaian saya terhadap film Hanum dan Rangga, saya bingung harus menjawab apa. Kalau saya jawab filmnya bagus, itu artinya saya harus siap untuk menemaninya nonton pekan depan. Sementara kalau saya menjawab filmnya tidak bagus, itu sama saja saya melawan pendapat Presiden. Aduh...***


(Abror/www.presidenri.go.id0

 (Abror/www.presidenri.go.id)

Buah tangan dari nobar bersama Presiden




Senin, 09 Desember 2013

Jokowi Tak Ada Lawan

Rabu 27 November 2013

Petang ini saya berada di Istora Senayan untuk menghadiri peringatan Hari Guru Nasional dan HUT ke-68 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Menurut rilis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada sekitar 9.000 guru dan pengurus PGRI dari seluruh Indonesia yang hadir dalam acara ini. Wajar saja kalau semua kursi di Istora penuh terisi dan tak tersisa lagi untuk wartawan yang akan meliput aktivitas Presiden.

Tak banyak pejabat yang akan hadir dalam acara ini. Selain Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono, akan hadir pula mendampingi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, Menteri Agama Suryadharma Ali, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Pejabat yang hadir tentu saja mereka yang punya keterkaitan secara fungsional maupun administrasi dengan guru. Kecuali Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, dia hadir sebagai representasi tuan rumah tempat digelarnya acara.

Tepat pukul 15.00 WIB, pembawa acara mengumumkan bahwa Presiden dan pejabat lainnya akan memasuki ruangan. Dari dua layar besar yang berada di samping kanan dan kiri panggung terlihat Presiden SBY dan jajarannya memasuki Istora dari pintu depan. Setelah Presiden dan pejabat lainnya duduk, pembawa acara mengucapkan selamat datang kepada Presiden dan para menteri serta undangan lainnya.

Setiap kali pembawa acara menyebutkan nama, maka layar lebar di depan panggung akan memperlihatkan wajah sang pejabat dimaksud. Dimulai dengan ucapan selamat datang kepada Presiden SBY dan Ibu Negara, yang dilanjutkan dengan jajaran menteri yang tampak tersenyum di layar lebar saat namanya disebutkan. Para guru yang hadir tampak takzim melihat para pejabat itu.

Pada bagian akhir, pembawa acara mengucapkan, "Selamat datang juga kepada Gubernur DKI Jakarta...." Belum sempat pembawa acara menyebutkan nama sang gubernur, tepuk tangan meriah langsung terdengar di Istora. Di layar lebar terlihat wajah Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi tanpa ekspresi. Setelah Jokowi, terakhir pembawa acara mengucapkan selamat datang kepada Ketua Umum PGRI Sulistiyo. Tapi suasana kembali hening, tak ada tepuk tangan.

Dari sekian banyak pejabat yang hadir, mulai dari Presiden sampai Ketua Umum PGRI, hanya saat nama Jokowi disebut para guru bertepuk tangan. Tak ada yang memberi komando, semuanya terjadi secara spontan. Peristiwa petang ini membuat saya deja vu. Saya seperti pernah mengalami hal serupa sebelumnya. Sama persis. Tapi cerita tentang tepuk tangan hari ini ternyata belum berhenti dan terus berlanjut.

Acara pertama adalah sambutan dari Ketua Umum PGRI. Galibnya sambutan dalam acara formal, sebelum bicara panjang lebar, Sulistiyo pun mengucapkan terima kasih kepada para pejabat yang hadir dengan urutan yang sama dengan yang dibacakan pembawa acara tadi. Dan peristiwa itu terulang kembali. "Terima kasih juga kepada Gubernur DKI Jakarta...." Tepuk tangan langsung membahana menutupi saat nama Joko Widodo disebutkan. 

Kejutan itu juga belum selesai karena kembali terulang saat giliran Menteri Nuh memberikan sambutan dan mengucapkan selamat datang kepada para pejabat yang hadir. Bedanya, tepuk tangan yang ketiga kali ini diakhiri dengan tawa tertahan para guru yang agaknya menyadari bahwa mereka sudah bersikap diskriminatif terhadap pejabat lainnya yang hadir di ruangan itu. Sedangkan bagi saya, momen itu melengkapi perasaan deja vu tadi.

Setelah saya pikir-pikir, sebenarnya itu bukan deja vu, karena saya memang pernah mengalami kejadian yang sama sebelumnya. Peristiwa itu terjadi juga di Istora Senayan pada 3 Juli 2013 saat pembukaan Kongres XXI PGRI dan Kongres Guru Indonesia. Jumlah guru-guru yang hadir dari seluruh Indonesia juga sama, sekitar 9.000 orang. Demikian pula dengan tamu undangan, tak jauh berbeda. Tambahannya, ada Ketua DPD Irman Gusman dan Menteri Pendayaguaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar.

Saya masih ingat, ketika itu Ketua Umum PGRI Sulistiyo memberikan sambutannya dan tepuk tangan dari para guru begitu keras terdengar saat nama Jokowi disebutkan sebagai salah satu undangan yang hadir. Tak ada yang aneh sebenarnya ketika itu, yang menjadi pertanyaan lagi-lagi kenapa hanya ketika nama Jokowi disebutkan ada tepuk tangan, sedangkan ketika nama pejabat lainnya disebut, para guru bungkam.

Ini memang bisa dibilang aneh. Kalaupun dicari alasan, sulit menemukannya. Jokowi bukan seorang guru atau dosen. Bukan pula mantan Mendikbud. Dari yang saya tahu, semasa sekolah atau kuliah dulu, Jokowi tak pernah menyebutkan bercita-cita jadi guru. Dalam perjalanan hidupnya, Jokowi juga tak pernah menulis buku atau novel yang bercerita tentang kehidupan guru. Saya mungkin masih bisa maklum jika yang mendapat tepuk tangan itu adalah Andrea Hirata si penulis Laskar Pelangi, tapi ini Jokowi.  

Fenomena Jokowiholic ini tak hanya terjadi di Istora Senayan atau di pasar-pasar, gang sempit, serta di jalanan. Di tempat seperti Istana Negara pun, Jokowi tak tertandingi. Bukan hanya soal tepuk tangan, tapi bagaimana euforia banyak orang ketika bertemu, melihat, dan menyentuh Jokowi. Ada beberapa momen saat Jokowi menghadiri acara di Istana Negara, namun hanya satu yang saya ingat bagaimana kewalahannya Jokowi melayani para 'fans' dari berbagai daerah.

Hari itu, Senin 10 Juni 2013. Di Istana Negara dilangsungkan pencanangan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Seperti biasa, banyak menteri Kabinet Indonesia Bersatu II yang hadir. Yang istimewa, puluhan pemenang penghargaan Adipura, Kalpataru dan Adiwiyata Mandiri yang berasal dari seluruh Indonesia juga diundang. Termasuk Jokowi yang hadir untuk menerima penghargaan pada kategori Penyusunan Buku Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) terbaik yang diraih Provinsi DKI Jakarta.

Seperti acara seremonial pada umumnya, ada sambutan dari Menteri Lingkungan Hidup Balthazar Kambuaya yang disambung dengan sambutan Presiden SBY. Yang menarik tentu saja saat Presiden menyerahkan piala Adipura kepada wali kota dan bupati yang daerahnya mendapat predikat terbersih. Begitu juga penyerahan piala Kalpataru bagi pribadi atau kelompok penggiat lingkungan hidup. Satu per satu mereka menerima piala diselingi dengan tepuk tangan yang hadir.

Lagi-lagi Jokowi membuat perbedaan. Ketika DKI Jakarta disebut sebagai peraih penghargaan pada kategori Penyusunan Buku Status Lingkungan Hidup Daerah terbaik dan Jokowi maju menerima penghargaan dari Presiden, tepuk tangan terdengar lebih meriah dari yang lainnya. 

Itu juga belum seberapa, karena setelah acara usai dan Presiden meninggalkan ruangan, sikap malu-malu para penerima penghargaan berubah menjadi agresif. Semuanya berusaha menyalami Jokowi dan mengajak berfoto. Dengan tetap menampilkan senyum khasnya, mantan Wali Kota Surakarta itu memenuhi permintaan penggemarnya. Ketika jajaran menteri dan pejabat lainnya sudah meninggalkan Istana Negara, Jokowi masih saja tersandera oleh ajakan berfoto. Meski kemudian terbebas dari kerumunan yang tak ada habisnya itu, 'penderitaan' Jokowi belum berakhir.

Saat menuju tempat parkir kendaraan di belakang Istana Negara, massa yang lebih besar sudah siap menghadang. Mereka adalah anggota rombongan penerima penghargaan dari berbagai daerah yang tak bisa masuk ke Istana Negara. Meski terlihat lelah, Jokowi kembali melayani permintaan berfoto. Tak hanya difoto, suami dari Iriana ini juga ditarik ke sana ke mari, dicubit dan dirangkul. Sementara Jokowi mengambil sikap pasrah sembari tetap menebar senyum.

Jokowi akhirnya bisa menaiki mobilnya dengan susah payah. Bahkan, ketika mobil Toyota Kijang Innova bernomor polisi B 1124 BH yang membawa Jokowi meninggalkan pelataran parkir Istana Negara, jepretan kamera dari para penggemar itu tak juga berhenti.

Dari semua itu, saya mencoba membuat kesimpulan sendiri kenapa ribuan guru terhanyut dengan pesona Jokowi dan penduduk di luar Jakarta bisa merasa begitu dekat dengan pengusaha mebel ini. Bagi saya sederhana, Jokowi muncul menawarkan sesuatu yang baru, khususnya dari cara memimpin. 

Jokowi hadir dengan gestur masyarakat biasa dan berusaha tak membuat jarak dengan warganya. Protokoler diterabas, berbahasa layaknya sedang di warung, berpenampilan sederhana, cepat memutuskan kebijakan, tegas ke atas dan lembut ke bawah. Hal yang biasa sebenarnya, tapi hanya Jokowi yang melakukan itu karena dia tahu sosok pemimpin yang bisa membuat dahaga warga Ibu Kota terpenuhi. 

Di atas semuanya, media massa punya peran paling besar dalam memunculkan tepuk tangan itu. Media massalah yang mengabarkan aktivitas Jokowi sejak bangun tidur hingga ke peraduan, sehingga guru di pelosok dan peraih Kalpataru dari penjuru negeri merasa mengenal Jokowi luar dalam.***


Jokowi bersama Menko Kesra Agung Laksono usai pencanangan Hari Lingkungan Hidup Sedunia

Jokowi bersama para pemenang Adipura dan Kalpataru dari berbagai daerah di Indonesia

Hari itu, Istana Negara menjadi panggung khusus buat Jokowi




Minggu, 01 Desember 2013

Pilih-pilih Berita Wartawan Istana


Rabu 20 November 2013

Menurut data yang ada di Buku Wartawan Kepresidenan 2013, terdapat 400 lebih wartawan yang punya izin untuk meliput aktivitas Presiden, baik itu di Istana atau di luar Istana. Mereka berasal dari 116 media, yaitu 21 media televisi, 19 media radio dan online, 34 media cetak, dan 42 media asing. Beda jenis media maka beda pula jumlah wartawan yang bisa mendapatkan tanda pengenal untuk meliput di Istana.

Jumlah terbesar adalah untuk media televisi. Satu media bisa mengutus sampai 8 orang yang terdiri dari kamerawan dan reporter. Bahkan, khusus untuk TVRI ada belasan yang meliput di Istana. Sedangkan media cetak, radio dan online umumnya cuma bisa mengirim 2 sampai 4 orang wartawan atau fotografer. Terkecuali RRI dan Antara yang memang diberi kuota lebih dibandingkan media lainnya.

Dilihat dari jumlah itu, wartawan, kamerawan dan fotografer yang meliput aktivitas Presiden memang cukup besar. Tapi, jangan dibayangkan bahwa setiap kegiatan Presiden diliput oleh ratusan wartawan. Dari pengalaman saya, banyak atau sedikitnya wartawan yang meliput tergantung isu. Makin panas isu yang berkembang, makin ramai wartawan yang datang, demikian pula sebaliknya.

Biasanya, jika agenda Presiden hanya pelantikan menteri atau pejabat tinggi di Istana Negara, bertemu menteri, tokoh, atau pejabat negara sahabat di Kantor Presiden, menyambut kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat di Istana Merdeka, jumlah wartawan yang hadir meliput hanya sekitar 50 orang. Lain halnya kalau ada rapat kabinet paripurna yang dihadiri hampir seluruh menteri kabinet, jumlahnya akan bertambah karena sumber berita semuanya berkumpul di Kantor Presiden.

Sebaliknya, saat agenda Presiden adalah kegiatan internal, hanya belasan wartawan yang menunggu dengan sabar di Bioskop, sebutan untuk ruang wartawan yang ada di samping kanan Istana Negara. Kondisi berbeda akan terlihat ketika ada pemberitaan media massa kompak membahas satu isu hangat berskala nasional. Misalnya ketika skandal impor daging sapi atau naiknya harga daging dan kacang kedelai, dipastikan wartawan akan menumpuk di Istana meminta konfirmasi dari menteri terkait.

Seperti hari ini, media massa tengah menyorot skandal penyadapan telepon seluler milik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono serta 8 pejabat tinggi lainnya. Penyadapan oleh intelijen Australia itu dilakukan pada Agustus 2009, namun baru terungkap sekarang. Sayang, Perdana Menteri Australia Tony Abbott yang mengakui penyadapan itu menolak meminta maaf. Tak pelak, hubungan Indonesia-Australia memanas. Bahkan, Presiden SBY memutuskan untuk memanggil pulang Duta Besar Indonesia untuk Negeri Kanguru, Nadjib Riphat Kesoema.

Dari agenda yang dikirimkan Biro Pers dan Media Istana, ada dua kegiatan besar Presiden hari ini. Pertama pertemuan dengan Dubes Nadjib di Kantor Presiden dan upacara kenegaraan menyambut Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte di Istana Merdeka yang disusul dengan jumpa pers dan jamuan makan malam di Istana Negara. Saya bisa membayangkan bahwa Kantor Presiden akan sangat ramai hari ini.

Benar saja, saat tiba di Kantor Presiden siang ini, di pintu masuk ruang wartawan yang juga menjadi akses menuju Kantor Presiden sudah penuh dengan wartawan. Tak biasanya, pertemuan Presiden dan seorang menteri serta duta besar diliput wartawan sebanyak ini. Bahkan, wajah wartawan dari sejumlah kantor berita asing juga meramaikan peliputan hari ini.

Kepala Badan Intelijen Negara Marciano Norman yang terlebih dulu datang dan berbicara banyak soal penyadapan kepada wartawan. Jeda tak berapa lama, di lorong panjang menuju Kantor Presiden terlihat Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Dubes Nadjib Riphat Kesoema berjalan beriringan. Wartawan yang sudah berkumpul langsung mengambil posisi siaga satu.

Baik Marty atau Nadjib tak bicara banyak, karena mereka harus melapor dulu ke Presiden sebelum memberi keterangan kepada pers. Keduanya kemudian menuju ruang tunggu Kantor Presiden. Tak lama kemudian giliran Menko Polhukam Djoko Suyanto yang tiba dan sempat pula memberi sedikit keterangan soal penyadapan serta konflik anggota TNI dan Polri di Karawang. Tak ada yang baru, datar-datar saja keterangannya.

Berbeda pula dari biasanya, ketika wartawan bersiap mengabadikan pertemuan Presiden dengan Menlu dan Dubes Nadjib, pihak protokoler dan biro pers memberitahu bahwa jumlahnya akan dibatasi. Hanya beberapa orang dari wartawan media televisi dan media cetak serta online yang diizinkan masuk sebagai perwakilan. Melihat banyaknya wartawan yang hadir, memang bisa dibayangkan kalau suasananya bakal gaduh jika semuanya diizinkan masuk ke ruang kerja Presiden.

Tidak lama wartawan berada di ruang kerja Presiden untuk mengabadikan pertemuan itu. Presiden duduk di ujung meja dan di hadapannya ada Menko Polhukam Djoko Suyanto, Menlu Marty Natalegawa, Dubes Nadjib, Kepala BIN Marciano Norman, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, dan Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Setelah jepret-jepret dan sedikit mendengarkan obrolan singkat antara Presiden dan Dubes Nadjib, wartawan pun diminta meninggalkan ruangan dan menunggu di ruang wartawan Kantor Presiden.

Satu jam kemudian beredar kabar kalau Presiden akan memberikan keterangan pers secara langsung dari ruang wartawan Kantor Presiden. Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha kemudian memastikan kabar itu. Sejumlah wartawan media televisi dan radio terlihat sibuk merencanakan siaran langsung, sementara yang lainnya mencoba melapor ke kantor media masing-masing soal rencana Presiden untuk bicara langsung terkait skandal penyadapan ini.

Selama bertugas di Istana, baru kali ini pula saya melihat wartawan begitu banyak memenuhi ruangan wartawan Kantor Presiden. Saat Presiden SBY masuk ruangan wartawan, yang terlihat kosong hanya bagian podium. Bagian depan dan samping penuh oleh wartawan, staf kepresidenan serta Paspampres. Mengingat isu yang akan dibicarakan cukup sensitif, kami pun menunggu kalimat-kalimat yang akan keluar dari mulut Presiden.

Intinya, Presiden mengatakan kabar penyadapan ini sangat mengganggu dan menekan harga diri bangsa. Arahnya jelas, apa yang dilakukan intelijen Australia serta keengganan PM Abbott untuk meminta maaf telah menempatkan hubungan kedua negara di titik didih. Presiden mengaku telah menginstruksikan penghentian sejumlah kerja sama untuk sementara waktu dan menunggu balasan dari surat pribadi yang akan dikirim hari ini ke PM Abbott.

Jumpa pers selesai dan Presiden kembali ke ruangan kerjanya. Kerepotan beralih ke Juru Bicara Julian, Menlu Marty, Dubes Nadjib serta Menko Polhukam Djoko yang dicecar wartawan dengan pertanyaan. Senada dengan Presiden, mereka mengaku mendukung langkah-langkah Kepala Negara. Bahkan, Dubes Nadjib menegaskan tak akan kembali ke Canberra sebelum ada sinyal positif dari PM Abbott atas surat Presiden SBY. Bagi wartawan ini berita bagus, meski merenggangnya hubungan Indonesia dan Australia sebenarnya berdampak negatif. Tapi itulah berita.

Selepas siang, suasana mulai sepi. Sebagian wartawan yang tadi memenuhi Kantor Presiden sudah meninggalkan Istana, sedangkan sebagian lagi berkumpul di Bioskop menunggu agenda Presiden berikutnya. Ketika petang harinya Presiden SBY menerima kunjungan PM Belanda Mark Rutte di Istana Merdeka, tak ada lagi keramaian. Jumlah wartawan yang meliput acara ini tak sampai separuh dari tadi siang.

Bisa dimaklumi, penyambutan kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat adalah acara seremonial belaka. Akan ada upacara kenegaraan, pembicaraan bilateral dan penandatanganan sejumlah kesepakatan. Selanjutnya akan ada jumpa pers bersama yang berisi saling memuji kedua negara serta paparan kemajuan kerja sama di berbagai bidang, khususnya ekonomi. Terakhir, akan ada jamuan makan malam di Istana Negara.

Dilihat dari sudut pandang media, ini jelas berita yang sangat biasa, standar, dan tak akan dicari oleh sebagian besar pembaca. Maka, sangat dimaklumi kalau sikap seorang Tony Abbott yang jauh di seberang lautan lebih menarik ketimbang sosok Mark Rutte yang hadir di tangga Istana Merdeka.

Lebih aneh lagi, saat Abbott berkunjung ke Indonesia pada 30 September silam dan diterima Presiden SBY di Istana Negara, wartawan yang meliput tak sebanyak tadi siang. Lucu, ketika dia menginjakkan kaki di negeri ini, tak banyak yang berminat. Saat dia berada jauh di benua lain, namanya jadi buah bibir.

Bahkan, ketika usai upacara kenegaraan menyambut Rutte, sejumlah pejabat seperti Menlu Marty, Panglima TNI Jenderal Moeldoko, Kapolri Jenderal Sutarman, dan Menkominfo Tifatul Sembiring tetap ditanyakan soal perkembangan kerja sama pascapenyadapan oleh Australia. Tak ada pertanyaan menyangkut kerja sama Indonesia-Belanda, seolah yang baru saja diterima Presiden SBY di Istana Merdeka adalah Abbott, bukan Rutte.

Tapi, memang begitulah media, tidak suka dengan yang datar atau biasa. Berita peresmian jembatan tol tak akan ada gaungnya ketika harus berhadapan dengan penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Demikian pula dengan berita kunjungan Presiden ke daerah, pastilah akan tenggelam oleh kabar rencana kenaikan harga BBM. Dan, Rutte patut berduka karena kabar kedatangannya ke Indonesia kurang mendapat porsi di media massa karena sikap keras Abbott yang menolak minta maaf. Maafkan kami Meneer Rutte.***


Suasana di awal pertemuan antara Presiden SBY dan Dubes Nadjib di ruang kerja Presiden.


Wartawan sibuk menyimak penjelasan Presiden SBY soal penyadapan oleh intelijen Australia.


Jarang-jarang Presiden bicara di podium ruang wartawan Kantor Presiden, jajaran menteri kabinet lebih kerap menggunakannya.



Minggu, 17 November 2013

Sayup-sayup Suara Para Jenderal

Jumat 8 November 2013

Di Kompleks Istana, ada tiga tempat beraktivitas yang kerap dijadikan Presiden untuk melakukan kegiatan yang secara garis besar berbeda, yaitu Kantor Presiden, Istana Negara dan Istana Merdeka. Ketiga tempat ini hanya berjarak puluhan meter dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, kendati di tangga Istana Negara selalu tersedia mobil golf yang siap mengantarkan Presiden kemana saja berkeliling Kompleks Istana.

Seperti namanya, Kantor Presiden digunakan untuk pertemuan Presiden dengan para menteri, pimpinan lembaga tinggi negara, pimpinan ormas, pengusaha, atau pejabat setingkat menteri dari negara sahabat. Kebanyakan pekerjaan Presiden memang dilakukan di tempat ini, baik itu di ruang kerja Presiden, ruang tamu, atau di ruang rapat paripurna dan ruang rapat terbatas yang berada di lantai dua.

Sedangkan Istana Merdeka, yang menghadap langsung ke Lapangan Monas, sebatas pengalaman saya hanya digunakan untuk menyambut tamu setingkat kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat. Jangan lupa, di sini pula digelar acara tahunan upacara peringayan HUT Kemerdekaan RI. Boleh dikatakan, Istana Merdeka jarang digunakan untuk aktivitas formal Presiden. Publik kebanyakan lebih mengenal bangunan ini sebagai kediaman Presiden dan tempat presiden melalukan tugasnya sehari-hari, padahal tidak.

Anggapan publik itu lebih tepat disandang oleh Istana Negara. Bangunan yang menghadap ke Jalan Veteran atau berada di belakang Istana Merdeka ini termasuk sering digunakan Presiden. Selain menjadi kediaman resmi keluarga Presiden, Istana Negara juga menjadi lokasi berbagai acara. Mulai dari pelantikan pejabat negara, penyerahan penghargaan, peringatan even khusus, pencanangan program pemerintah, jamuan makan malam, hingga untuk open house Lebaran.

Dari ketiganya, Istana Negara termasuk yang kerap menjadi lokasi kegiatan Presiden. Yang pasti, setiap pelantikan pejabat tinggi negara atau menteri pasti dilakukan di sini. Seperti belakangan ini, Istana Negara menjadi tempat pelantikan pejabat TNI dan Polri secara berurutan. Seperti pada 22 Mei lalu, Letnan Jenderal TNI Moeldoko dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi KSAD menggantikan Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo di tempat ini.

Lalu, pada 30 Agustus, Presiden SBY melantik Moeldoko sebagai Panglima TNI menggantikan Laksamana TNI Agus Suhartono yang memasuki masa pensiun. Tak hanya Moeldoko, pada saat bersamaan Letnan Jenderal TNI Budiman juga dilantik sebagai KSAD yang baru menggantikan Moeldoko. Terakhir pada 25 Oktober lalu, Komisaris Jenderal Polisi Sutarman diangkat menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Polisi Timur Pradopo.

Prosesi pelantikan pejabat di Istana Negara selalu sama dan berlangsung singkat, tak lebih dari 15 menit. Sesaat setelah Presiden SBY memasuki ruangan, Lagu Indonesia Raya akan diperdengarkan. Dilanjutkan dengan pembacaan Keputusan Presiden oleh Sekretaris Militer Presiden tentang pengangkatan si pejabat. Setelah pembacaan sumpah yang dipandu oleh Presiden, acara pelantikan ditutup dengan mendengarkan kembali Lagu Indonesia Raya.

Namun, ada yang berbeda dari pelantikan pejabat militer dan kepolisian. Selain dihadiri lebih banyak tamu undangan dari kalangan militer dan kepolisian, ada yang unik saya rasakan. Pada pelantikan pejabat sipil atau acara lainnya di Istana Negara, sesi Lagu Indonesia Raya hanya mendengarkan alunan musik yang dibawakan Korps Musik Paspampres dari teras depan Istana Negara. Saat lagu kebangsaan itu diperdengarkan, seluruh yang hadir tanpa terkecuali harus berdiri dan mengambil sikap sempurna.

Lain halnya ketika yang dilantik adalah pejabat militer atau kepolisian. Seperti saat Jenderal Moeldoko dan Jenderal Sutarman dilantik, lamat-lamat saya mendengar suara yang melantunkan lagu Indonesia Raya. Awalnya saya mengira itu dari paduan suara, tapi tak mungkin juga karena suaranya terlalu sayup dan pelan. Setelah lirik sana dan sini saya baru tahu kalau suara itu berasal dari deretan tamu undangan yang berseragam.

Ada sekitar 30 orang tamu undangan berseragam yang hadir jika pejabat yang dilantik dari kalangan militer dan kepolisian. Pastilah mereka para petinggi di TNI dan Polri. Di bahu mereka terpasang pangkat jenderal, yang rata-rata berbintang 1 dan 2. Merekalah paduan suara tak resmi di Istana Negara setiap kali ada acara pelantikan. Dengan mengambil sikap sempurna dan menghormat, para jenderal ini mengiringi korps musik dengan melafalkan lirik Indonesia Raya. Tidak terlalu keras, namun bisa didengar dengan jelas. Sementara tamu lainnya saya lihat hanya mengambil sikap sempurna tanpa mengeluarkan suara.

Saya yakin, tak ada keharusan atau kewajiban bagi mereka untuk melafalkan lagu itu. Semuanya semata-mata karena kebiasaan serta nilai-nilai kebangsaan yang sudah ditanamkan sejak para jenderal itu masih menempuh pendidikan di akademi militer atau kepolisian. Dengan itu pula mereka sudah membuat perbedaan. Dari banyak barisan pejabat yang memenuhi Istana Negara, mulai dari menteri, pejabat setingkat menteri, pimpinan lembaga negara, serta sosok penting lainnya, hanya dari barisan para jenderal ini lirik Indonesia Raya bisa didengar.

Karena itu ketika hari ini saya kembali hadir di Istana Negara menyaksikan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada KRT Radjiman Wedyodiningrat, Lambertus Nicodemus Palar, dan Letjen TNI (Purn) Tahi Bonar Simatupang, saya tidak lagi mendengarkan 'paduan suara' itu. Tak ada barisan para jenderal yang dengan sikap sempurna menyanyikan lagu karya WR Supratman itu. Jujur, saya merindukan suara mereka, karena kita kini sudah terlalu malas untuk menyanyikan lagu dengan lirik yang patriotik tersebut.***

 Mendengarkan Lagu Indonesia Raya saat pelantikan Komjen Pol Sutarman sebagai Kapolri

Kapolri baru di depan Presiden SBY usai pelantikan di Istana Negara



Jumat, 20 September 2013

Jenderal Timur Kini Sendiri


Rabu 18 September 2013

Wartawan yang setiap hari meliput aktivitas Presiden di Istana sudah hapal betul gaya, sikap, dan kebiasaan para pejabat seperti menteri yang kerap bertemu Presiden. Ada yang kalau berjalan dengan santai dan siap dikerubuti wartawan kapan pun. Atau menteri yang kalau berjalan selalu buru-buru dan seperti tak ingin ditanya wartawan. Kesamaan para pejabat ini cuma satu, selalu tersenyum dan membalas candaan wartawan.

Dari semuanya, yang tergolong unik adalah kebiasaan Panglima TNI Laksamana Agus Suhartono dan Kapolri Jenderal Polisi Timur Pradopo. Kedua pejabat ini hampir selalu datang bersamaan saat dipanggil ke Kantor Presiden. Wartawan Istana paham betul, di mana ada Laksamana Agus, di situ ada Jenderal Timur. Mungkin karena kedekatan tugas atau fungsi yang membuat keduanya selalu seiring sejalan. Entahlah.

Berbeda dari menteri-menteri atau pejabat tinggi lainnya saat dicegat wartawan di pintu Kantor Presiden, Laksamana Agus dan Jenderal Timur kerap berduaan menghadapi wartawan, kendati pertanyaan yang diajukan untuk keduanya tidak sama. Misalnya, ketika Laksamana Agus ditanyai seputar kasus penyerangan Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, kepada Jenderal Timur wartawan bertanya seputar isu rekening gendut perwira tinggi kepolisian. Keduanya tetap berdiri berdampingan dan menjawab bergantian.

Pokoknya, Laksamana Agus dan Jenderal Timur adalah 'dua sejoli', paling tidak menurut saya. Datang selalu bersama, menghadapi wartawan berdua, dan pulang juga barengan. Saya tidak tahu apakah beliau-beliau ini memang janjian dulu sebelum berangkat atau bagaimana, hanya ajudan masing-masing yang tahu. Yang jelas, tidak mungkin hanya kebetulan belaka atau pimpinan militer dan polisi ini punya mata batin yang membuat keduanya selalu datang bersamaan di parkiran Istana Negara.

Sayang, kebersamaan atau keberduaan itu tak bisa dirajut selamanya. Akhir Agustus silam Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melantik Jenderal TNI Moeldoko sebagai Panglima TNI menggantikan Laksamana Agus yang memasuki pensiun. Saat acara pelantikan di Istana Negara itu, saya sempat bertanya-tanya dalam hati, apakah untuk selanjutnya Jenderal Moeldoko akan menjadi pendamping baru bagi  Jenderal Timur saat berjalan di kompleks Istana? Ternyata tidak.

Seperti siang ini, saat para menteri dan pejabat setingkat menteri mulai berdatangan di Kantor Presiden untuk mengikuti rapat kabinet paripurna. Dari kejauhan kelihatan Jenderal Timur dan ajudannya berjalan di lorong menuju pintu Kantor Presidennya. Tak terlihat Jenderal Moeldoko di sana. Akhirnya, Jenderal Timur tampil sendirian saat dihadang wartawan di pintu Kantor Presiden.

Masih seperti biasa, Jenderal Timur menjawab pertanyaan wartawan seputar ucapan Wakil Ketua KPK, Adnan Pandu Praja, yang menyebutkan Polri sebagai lembaga negara paling korup di Indonesia. Jenderal Timur menjawab dengan bahasa yang singkat, terukur, dan hanya menyentuh permukaan. Wawancara dengan Jenderal Timur memang jarang memakan waktu lama, karena jawaban seperti "sedang dalam penyelidikan", "belum ada laporan", "kita tunggu saja" atau "masih didalami" membuat wartawan kewalahan juga mencari pertanyaan dengan jawaban yang punya nilai berita.

Saat wawancara disudahi, Jenderal Timur pun melenggang ke dalam Kantor Presiden, tanpa ada Panglima TNI yang mengiringi. Tak lama kemudian, di lorong menuju Kantor Presiden terlihat Jenderal Moeldoko dengan tegap melanglah dikawal tiga orang berpakaian dinas militer harian. Seperti biasa, Panglima TNI yang baru tiga pekan menjabat ini langsung dicegat wartawan. Dengan lugas dan tegas Jenderal Moeldoko menjawab pertanyaan seputar kabar penyekapan yang dilakukan anggota TNI. Tak lama, pria kelahiran Kediri ini juga langsung masuk ke Kantor Presiden.

Rapat kabinet paripurna siang ini membahas soal ekonomi Indonesia yang sedang bergejolak, ditandai dengan nilai kurs rupiah yang terhadap dolar yang terus anjlok. Mungkin itu pula yang membuat rapat berlangsung agak lama. Menjelang magrib barulah pertemuan di ruang rapat berakhir. Satu per satu menteri dan pejabat negara terlihat turun dari tangga ruang rapat. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan dan Menteri Koperasi UKM Syarief Hasan menjadi pejabat yang ditunggu wartawan untuk dimintai konfirmasi.

Gita ditanya soal gejolak harga kedelai dan bentrok kepentingan antara tugasnya sebagai menteri dan keikutsertaan dirinya dalam konvensi capres Partai Demokrat. Sedangkan Syarief ditanyai soal gonjang-ganjing Partai Demokrat setelah mantan Ketua Umum PD Anas Urbaningrum mendirikan Perhimpunan Pergerakan Indonesia. Sebagai Ketua Harian PD, Syarief mengonfirmasi bahwa Ketua Komisi III DPR Gede Pasek Suardika telah dicopot dan digantikan oleh Ruhut Sitompul. Kabar panas ini lansung dilahap dengan senang oleh wartawan.

Lantas, bagaimana dengan Jenderal Timur dan Jenderal Moeldoko? Ketika Menteri Gita sibuk diwawancarai, Jenderal Timur menyelinap turun dan luput dari pantauan wartawan ketika pimpinan tertinggi Polri itu keluar dari Kantor Presiden. Demikian pula ketika Jenderal Moeldoko turun dari ruang rapat, sesaat setelah kepergian Jenderal Timur, beberapa wartawan masih sempat menanyai beliau sembari berjalan di lorong Kantor Presiden.

Kenyataan ini bagi saya membutikan bahwa Jenderal Timur kini memang tak lagi punya 'teman jalan' di kompleks Istana. Tapi saya yakin kesendirian Jenderal Timur tak akan berlangsung lama karena dalam waktu dekat Kapolri juga akan diganti oleh Presiden. Saya pun kini membayangkan, apakah Jenderal Moeldoko akan bisa 'jalan bareng' dengan Kapolri baru pengganti Jenderal Timur?

Saya tidak berani menjawabnya sekarang. Saya hanya yakin, kedekatan antara Panglima TNI dan Kapolri sebenarnya bisa sedikit mencairkan ketegangan antara kedua institusi yang kerap berseteru di tataran bawah. Tak sabar rasanya menunggu Kapolri yang baru terpilih.***


Saat foto bersama pun, Jenderal Timur dan Laksamana Agus tak mau berjauhan


Minggu, 25 Agustus 2013

Saat-saat Bersentuhan dengan Presiden


Kamis 8 Agustus 2013

Meski hampir setiap hari bertemu Presiden, tak mudah bagi wartawan Istana untuk bisa menyentuh sang Kepala Negara dalam pengertian harfiah. Kalau untuk urusan berdekatan, dalam banyak kesempatan meliput agenda Presiden, wartawan Istana bisa dikatakan berada sangat dekat secara fisik dengan Presiden.

Ambil contoh misalnya saat Presiden akan menerima tamu-tamunya di ruang tamu Kantor Presiden, pastilah wartawan berada pada posisi terdekat dengan Presiden dibandingkan anggota Paspampres yang di ring 1 sekalipun.

Saat Presiden berdiri di pintu masuk dengan Wakil Presiden atau jajaran menteri kabinet menunggu kedatangan sang tamu, para wartawan berdiri berjejer di samping atau di depan Presiden. Sementara pengawal Presiden berada di belakang para jurnalis, dengan sikap waspada.

Wartawan Istana juga sudah sangat terbiasa menyaksikan Presiden dan para pengawalnya melintas dari Istana Negara menuju Kantor Presiden, atau dari Kantor Presiden menuju Wisma Negara. Sesekali Presiden melambaikan tangan atau menyapa wartawan yang tengah berkumpul di teras pintu masuk ruang wartawan yang juga menjadi akses ke Kantor Presiden.

Posisi wartawan Istana menjadi tak istimewa adalah ketika meliput kegiatan Presiden di luar Kompleks Istana. Saat itu, hanya Paspampres yang bisa berdekatan dengan Kepala Negara. Hal ini bisa dimaklumi, karena pengamanan untuk Presiden di luar Istana tentu tak semudah ketika beliau berada di ruang publik.

Intinya, interaksi antara Presiden dengan wartawan saat berada di Istana boleh dikatakan tak berjarak secara fisik. Namun, itu tak bisa dijadikan alasan untuk bisa seenaknya menyentuh atau mencolek bagian tubuh Presiden. Kalau itu dilakukan, bisa-bisa jatuhnya jadi penyerangan terhadap Kepala Negara, tindakan makar, atau pelecehan terhadap Presiden.

Namun, itu bukan berarti wartawan tak boleh sama sekali bersentuhan dengan sosok yang selalu diberitakannya. Masalahnya cuma pada kesempatan dan waktu yang tepat. Nah, saat yang tepat dilihat dari sisi waktu dan kesempatan adalah ketika perayaan Idul Fitri yang terhitung hanya sekali dalam setahun.

Dilihat dari sisi waktu, Lebaran adalah saatnya untuk bersalaman dan bermaaf-maafan dengan siapa pun tanpa pandang jabatan, jumlah kekayaan, atau merek pakaian yang dikenakan. Untuk alasan ini, tentu tak mungkin bagi Presiden sekalipun menolak ucapan selamat Lebaran serta bermaaf-maafan dari rakyatnya. Namun, itu baru satu soal.

Alasan kedua yaitu kesempatan. Kebetulan, sejak mulai menghuni Istana, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selalu membuka kesempatan bagi rakyat jelata untuk mendatangi Istana guna mengucapkan selamat Lebaran saat Idul Fitri. Nah, dengan dua alasan itu, lengkaplah sudah syarat bagi wartawan Istana untuk bisa menyentuh Presiden tanpa harus berurusan dengan Paspampres atau pasal-pasal dalam KUHP.

Kebetulan pula pada 1 Syawal tahun ini saya mendapat tugas untuk meliput agenda Presiden yang menggelar open house di Istana Negara. Demi tugas, saya memutuskan untuk berangkat pagi-pagi ke Istana dan tak sungkeman dulu dengan istri serta orangtua lantaran acara sudah dimulai sesaat setelah Presiden usai shalat Id di Masjid Istiqlal.

Karena acaranya di Istana, bukan di lingkungan RT tempat saya tinggal, saya tidak mengenakan baju koko sebagaimana galibnya dilakukan banyak orang. Saya mengenakan baju batik seharga Rp 80 ribu yang saya beli sepekan sebelum Lebaran di Pasar Grosir Cipulir, Jakarta Selatan. Saya cuek, sebab yakin harga batik yang saya kenakan tak akan dipertanyakan Paspampres saat bersalaman dengan Presiden.

Agenda Presiden dimulai pukul 09.00 WIB dengan silaturahmi di antara keluarga inti Presiden. Setengah jam berikutnya dilanjutkan dengan silaturahmi antara keluarga Presiden dengan keluarga Wakil Presiden Boediono. Berikutnya adalah dengan pejabat tinggi negara, duta besar negara sahabat, handai taulan, serta staf kepresidenan.

Selepas siang, silaturahmi dilanjutkan dengan masyarakat. Ribuan warga yang sudah berkumpul di area parkir Kompleks Sekretariat Negara mulai antre memasuki Kompleks Istana Kepresidenan, dengan pemeriksaan ketat tentunya. Yang jelas, tak banyak syarat untuk bisa masuk, tak perlu perlihatkan KTP atau surat izin kelurahan. Syaratnya cuma satu, tidak mengenakan sandal karet atau sandal hotel. Selebihnya terserah Anda.

Warga yang datang tidak sekaligus diarahkan ke Istana, namun bertahap serta bergelombang. Di antara tahapan-tahapan itu, pegawai Istana dan wartawan Istana punya kesempatan untuk membuat rombongan sendiri. Maka, ketika Paspampres dan staf Biro Pers Istana memberitahu sudah boleh masuk, wartawan Istana yang sejak awal memang sudah berkumpul di pintu masuk Istana Negara, mulai membuat barisan.

Berbeda dari hari-hari biasa di Istana, untuk bisa berhadap-hadapan dengan Presiden kali ini, kiri dan kanan ada pengawal yang berjejer rapi dengan tatapan tajam. Saya yakin, Paspampres bisa bernapas sedikit lega setelah melihat identitas yang terpampang jelas di dada kami, meski kewaspadaan tak pernah kendor.

Maka, momen menyentuh Presiden itu pun akhirnya terjadi. Presiden SBY menerima uluran tangan saya sambil tersenyum, seperti juga dilakukan kepada yang lainnya. Tak hanya Presiden, di samping beliau juga berdiri Ibu Negara yang ikut bersalaman dengan kami. Tak lebih dari tiga detik prosesi bersalaman itu, tapi hanya bisa terjadi sekali dalam setahun.

Di lain sisi, Presiden harusnya juga berterima kasih kepada saya, karena mendahulukan untuk bermaaf-maafan dengan beliau ketimbang dengan istri dan orangtua saya yang menunggu di rumah. Saya berharap masih diberi kesempatan merayakan Idul Fitri tahun depan. Istri dan orangtua saya akan mendapat giliran menjadi yang pertama bermaaf-maafan dengan saya. Tak sabar rasanya.

Antrean warga yang akan bersilaturahmi Lebaran dengan Presiden SBY di Istana Negara.



Senin, 12 Agustus 2013

Surat Sakti Pak DJ Tundukkan Menteri Agama


Selasa, 2 April 2013

Siang ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima Panitia Nasional Perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1935 yang dipimpin ketuanya Gde Pradnyana. Dalam pertemuan di Kantor Presiden itu turut hadir Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Agama Suryadharma Ali, Menteri ESDM Jero Wacik, dan Sekretaris Kabinet Dipo Alam.

Pertemuan ini tergolong singkat, tak lebih dari satu jam, karena pukul 14.00 WIB akan ada agenda lain, yaitu rapat terbatas untuk membahas kurikulum pendidikan tahun 2013. Karena itu, sebelum pertemuan usai, menteri-menteri yang akan mengikuti rapat terbatas sudah berdatangan dan menuju ruang rapat terbatas.

Usai pertemuan, Menag Suryadharma Ali sempat diwawancarai wartawan seputar rangkap jabatan antara menteri dan ketua partai politik. Selesai diwawancarai, Surya tiba-tiba menuju podium di ruangan pers sehingga membuat wartawan gelagapan karena tak diberitahu akan ada jumpa pers. Sejumlah kamerawan televisi terlihat sibuk dan terburu-buru menyiapkan peralatan mereka.

Tak ada yang baru sebenarnya dalam jumpa pers ini. Surya hanya mengulang apa yang sudah menjadi kesepakatan antara pemerintah dan Komisi VIII DPR sehari sebelumnya tentang besaran biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) alias ongkos naik haji yang katanya tahun ini turun sekitar US$ 90 dari tahun sebelumnya.

Jam ketika itu sudah menunjukkan pukul 14.05 WIB yang artinya rapat terbatas harusnya sudah dimulai. Rekan-rekan wartawan mulai terlihat heran karena belum ada arahan dari staf Biro Pers dan Media Istana (BPMI) untuk segera menuju ruang rapat. Galibnya, sesaat sebelum Presiden memasuki ruangan rapat, wartawan sudah berjejer di depan pintu ruang rapat terbatas untuk mendengarkan pidato pengantar sebelum masuk pada pembahasan materi rapat.

Tapi, Surya tetap santai dan terus memaparkan angka-angka BPIH. Sementara pada saat bersamaan terlihat staf presiden mendekati staf sang menteri. Tak jelas apa yang dibicarakan. Yang pasti, staf menteri ini diberi secarik kertas. Dengan sikap ragu-ragu, dia mendekat ke podium dan meletakkan kertas tersebut di podium dengan harapan bisa dibaca Surya.

Dia memang melirik kertas itu, tapi tak ada pengaruh apa-apa. Surya meneruskan membolak-balik dokumen yang dia bawa dan melanjutkan penjelasannya di depan sorotan kamera wartawan. Ketika itulah terasa ada sesuatu yang tak beres. Wartawan pun mulai saling lirik seolah bertanya ada apa sebenarnya.

Tak lama kemudian, Kepala Biro Pers Istana, DJ Nachrowi, terlihat menulis di secarik kertas dan menyerahkan kepada staf sang menteri. Untuk kedua kalinya dia mendekat ke podium dan meletakkan kertas itu di hadapan sang menteri. Kali ini kertas itu agaknya membawa dampak. Surya mulai membereskan dokumennya dan menyudahi jumpa pers.

"Maaf rekan-rekan wartawan, saya sudah ditunggu untuk ikut rapat terbatas. Jadi nanti kita lanjutkan kalau ada pertanyaan," ujar Surya seraya meninggalkan podium. Para wartawan hanya tersenyum simpul. Ketika itu jam menunjukkan pukul 14.10 WIB.

Ternyata, Surya hadir di Kantor Presiden tak hanya untuk menemani Presiden bertemu Panitia Nasional Perayaan Nyepi, tapi juga untuk menghadiri rapat terbatas. Tidak jelas, apakah Surya memang lupa atau tak melihat jam sehingga nekat menggelar jumpa pers di saat rapat akan dimulai.

Syukur secarik kertas dari Pak Nachrowi lumayan ampuh untuk menahan laju Surya berbicara di depan wartawan. Rapat akhirnya memang terlambat dimulai dan Surya menjadi menteri terakhir yang memasuki ruangan rapat terbatas, meski dia lebih dulu datang di Kantor Presiden dibandingkan menteri lainnya yang ikut membahas kurikulum pendidikan itu. Ada-ada saja Pak Menteri ini.

Ajudan Menag menyerahkan surat sakti Pak DJ



Sabtu, 10 Agustus 2013

Blusukan di Tengah Kebakaran Gedung Setneg


Kamis, 21 Maret 2013

Di akhir agenda Presiden yang padat pada Kamis ini, sebuah kebakaran hebat melanda kompleks Sekretariat Negara. Gedung Utama Setneg terbakar saat Presiden masih bersama sejumlah menteri membahas masalah ekonomi di Kantor Presiden. Meski kebakaran tak terjadi di kompleks Istana, tetap saja kejadian ini mengejutkan karena sangat dekat dengan Istana Negara, hanya berjarak sekitar 30 meter.

Ada kepanikan dan semuanya berlangsung cepat. Pintu masuk Setneg langsung ditutup dan dijaga ketat petugas bersenjata lengkap. Kawasan seputar Istana dan Setneg dengan cepat 'dikepung' mobil patroli kepolisian. Jalan Veteran yang berada di bagian belakang kompleks Istana dan Setneg ditutup untuk kendaraan umum. Tak terkecuali di dalam kompleks Istana, sejumlah petugas Paspampres berpakaian tempur menjaga tangga Istana Negara. Presiden dan keluarga pun diungsikan ke Wisma Negara.

Karena kebakaran terjadi di lokasi yang menjadi simbol negara, upaya pemadaman pun berlangsung cepat. Hanya 5 menit sejak kebakaran mulai berkobar, mobil pemadam sudah berdatangan. Sebanyak 37 mobil pemadam mengepung kompleks Setneg. Meski pompa hidran di depan gedung yang terbakar tak berfungsi, api yang menjilat seluruh atap lantai 3 Gedung Utama Setneg bisa cepat padam. Seiring dengan bergantinya sore menjadi malam, kobaran api pun berhasil dipadamkan.

Dengan padamnya api, pihak Setneg dan Istana segera menggelar jumpa pers. Tak banyak keterangan berarti yang bisa didapat dari penjelasan Sekretaris Menteri Sekretaris Negara, Lambock V Nahattands dan Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha. Kebakaran diduga karena korsleting listrik. Tak ada korban jiwa dan seluruh dokumen penting bisa diselamatkan. Lambock sempat pula mengucapkan terima kasih dan penghargaan atas langkah cepat tanggap Pemprov DKI Jakarta dan Suku Dinas Pemadam Kebakaran menangani musibah ini.

Kendati api tak lagi menyala, suasana di kompleks Setneg makin ramai. Petugas pemadam terus bekerja melakukan pendinginan dan polisi memasang garis polisi di sekitar pintu masuk gedung yang terbakar. Pegawai Setneg, petugas pemadam, polisi, petugas keamanan internal, serta wartawan, memenuhi halaman depan Gedung Utama Setneg. Dalam kondisi yang lumayan gelap, sejumlah media elektronik melakukan siaran langsung.

Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB saat saya masih berdiri di bagian samping kanan gedung yang terbakar. Tak jauh dari saya, Lambock dan stafnya terlihat memantau aktivitas anggota pemadam. Tiba-tiba, dari arah belakang saya berdiri, terasa ada pergerakan sejumlah orang yang berjalan cepat ke arah pintu masuk kompleks Istana. Karena gelap, agak susah mengidentifikasi mereka. Yang jelas salah seorang di antaranya mengenakan pakaian lengkap petugas pemadam. Kostum berwarna oranye masih terlihat jelas meski gelap.

Pada saat kelompok ini bergerak menuju pintu masuk kompleks Istana, Lambock dan stafnya ternyata juga melihat dan berteriak mencegah orang-orang yang berjalan terburu-buru itu. Terlambat, mereka tak menuju akses satu-satunya bagi pejalan kaki memasuki Istana, tapi berbelok ke pintu samping gedung yang terbakar. Teriakan Lambock pun makin kencang. Wajar saja, seluruh Gedung Utama Setneg saat ini sudah diberi garis polisi dan menjadi kawasan terlarang untuk dimasuki.

Tapi, entah tak mendengar atau apa, rombongan itu tetap masuk dan Lambock beserta beberapa staf pengamanan internal Setneg terus mengejar mereka. Saking semangatnya mengejar, Lambock pun terjatuh di anak tangga pintu samping Gedung Utama Setneg. Sementara Lambock menunggu di pintu masuk, petugas keamanan merangsek ke dalam dan menaiki tangga mencegah rombongan itu melanjutkan niatnya.

Tak jelas apa yang terjadi di dalam gedung itu. Karena selain gelap gulita, saya juga dilarang masuk ke ruangan. Tak banyak yang melihat insiden ini, hanya saya dan beberapa orang yang menunggu di luar. Terlihat ada cahaya lampu sorot di dalam ruangan dan pembicaraan beberapa orang, meski tak jelas itu siapa. Pak Lambock pun setelah diberitahu oleh stafnya terlihat mulai tenang dan tetap menunggu di depan pintu masuk.

Tak lama kemudian, rombongan 'penerobos' itu menampakkan diri. Dia adalah Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta, Subejo, yang sejak sore mengawal pemadaman api di Gedung Setneg. Tak aneh bagi saya, yang membuat kaget adalah munculnya sosok lain di belakang Subejo, yaitu Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi. Lambock pun langsung memeluk Jokowi sembari mengucapkan terima kasih atas bantuan Pemprov DKI Jakarta.

Marah Lambock agaknya sudah sirna dan keduanya terlibat perbincangan hangat kendati diganggu oleh wartawan yang makin ramai berdatangan setelah mengetahui kehadiran Jokowi. Sesuatu yang sudah menjadi pemandangan umum sejak Jakarta dipimpin sosok bersahaja ini. Di mana ada Jokowi pasti ada keramaian dan banyak yang bisa dikabarkan.

Ini pertama kali saya bertemu langsung dengan Jokowi dan melihat aksinya saat memasuki sebuah kawasan tanpa kabar. Tak ada yang tahu kedatangan Jokowi sampai terjadinya insiden tadi. Sayang, aksi blusukan kali ini menabrak garis polisi dan berlokasi di wilayah yang dijaga ketat sehingga tak berjalan mulus. Di atas semua itu, kharisma Jokowi membuat semua itu bisa dimaafkan dan dimaklumi. Entah kalau itu dilakukan orang lain, pastilah bakal banyak pertanyaan yang diajukan. Jadi, selamat Pak Jokowi!

Lambock, Jokowi, dan Subejo


Senin, 05 Agustus 2013

Kartu Identitas Super Sakti


Kamis, 21 Maret 2013

Hari ini salah satu agenda Presiden SBY adalah menghadiri penyerahan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak penghasilan (PPh) orang pribadi tahun 2012 di Gedung Kementerian Keuangan, Jalan Dokter Wahidin, Jakarta Pusat. Saya pun ikut meliput acara yang dimulai pukul 11 siang itu.

Naik bus patas AC dari rumah, kebetulan tak perlu menyambung dengan TransJakarta untuk sampai di kawasan Lapangan Banteng, tempat Menteri Keuangan Agus Martowardojo berkantor itu. Namun, tetap saja saya keringetan ketika turun bus. Selain karena sulitnya merasa sejuk di bus yang katanya berpenyejuk udara itu, cuaca siang ini juga lumayan terik.

Ketika tiba di Gedung Juanda I, saya diarahkan ke tempat para wartawan yang tengah berkumpul. Hampir semuanya mengenakan tanda pengenal yang cukup besar dan dikalungkan di leher. Melihat besarnya ukuran identitas wartawan yang diberikan pelaksana acara dari Kementerian Keuangan ini, saya jadi ingat masa-masa jadi panitia seminar atau Opspek saat masih kuliah dulu.

Yang jelas banyak sekali wartawan yang berkumpul dan menantikan kedatangan Presiden. Ini wajar, karena hari ini acara juga akan dihadiri oleh Wakil Presiden RI, pimpinan lembaga tinggi negara, hingga menteri kabinet. Bisa dibayangkan, hari ini wartawan yang biasa ngepos di berbagai instansi, berkumpul di Kemenkeu sehingga jumlahnya lumayan banyak. Namun, sangat sedikit wajah-wajah wartawan Istana yang saya temui.

Seperti wartawan lainnya, saya pun menuju meja registrasi di dekat tangga menuju lokasi acara, Aula Mezzanine. Saya menuliskan nama dan identitas lainnya di buku tamu dan kemudian salah seorang dari dua wanita yang bertugas di meja registrasi dengan senyum manis menyerahkan kotak yang saya bisa pastikan isinya makanan kecil.

Namun, saya tak diberi identitas berkalung pita kuning seperti wartawan lainnya. Ketika saya bertanya dan meminta tanda pengenal itu, wanita ini malah bertanya, "Mas ini wartawan Istana kan?" Dia bertanya sambil melirik ke tanda pengenal yang tergantung di dada saya.

"Benar," jawab saya masih belum mengerti.

"Nah, kartu identitas punya Mas lebih sakti dari punya kami, bisa kemana-mana, jadi tak usah memakai identitas dari kami," ujarnya tetap sambil tersenyum. Saya mengalah dan tak melanjutkan meminta kertas berpita kuning itu.

Yang dia ucapkan sebenarnya tak salah. Jangankan tanda pengenal wartawan Istana, tanda pengenal dari kantor saya pun sudah cukup sakti. Buktinya, banyak sudah teman-teman yang terbebas dari razia lalu-lintas atau dipermudah saat berurusan di sebuah instansi.

Hanya saja, baru kali ini saya mendengar langsung ada yang mengucapkan tentang "kesaktian" tanda pengenal wartawan Istana. Dan dia juga tak bohong. Terbukti ketika akan memasuki ruangan tempat acara, saya tak berlama-lama melewati pemeriksaan petugas dari Paspampres. 

Kalau cukup sakti dimata Paspampres, mungkin layak pula dicobakan di tempat lain. Jangan-jangan tanda pengenal ini jago kandang, hanya sakti saat berurusan dengan Paspampres. Tapi, pikiran nakal itu saya singkirkan jauh-jauh. Tak boleh ada noda sepanjang saya menekuni profesi ini.





Senin, 29 Juli 2013

Derita Sang Narasumber


Senin 25 Februari 2013


Kelebihan meliput di Istana adalah kita bisa bertemu dengan banyak pejabat atau tokoh tanpa harus menunggu atau buat janji terlebih dulu. Apalagi dalam acara-acara yang melibatkan banyak pejabat, misalnya rapat kabinet atau rapat antara pemerintah dengan lembaga lain. Kalau di luar Istana banyak pejabat yang jual mahal pada wartawan, di Istana sebaliknya, wartawan yang pilih-pilih untuk mewawancarai sang pejabat.

Seperti hari ini, ada rapat konsultasi antara pemerintah dan DPR di Istana Negara. Sejumlah menteri kabinet datang mendampingi Presiden bertemu petinggi DPR. Seperti biasanya, kalau acara berlangsung di Istana Negara, si pejabat dicegat rombongan wartawan setelah dia turun mobil di depan pintu masuk kawasan Istana, sedangkan jika pertemuan digelar di Kantor Presiden, wartawan bisa mencegat di pintu masuk Kantor Presiden yang melewati ruangan wartawan. 

Sebagai narasumber, seorang menteri tidak dinilai dari ramah atau tidaknya dia kepada wartawan, melainkan dari isu yang sedang berkembang. Faktor lainnya adalah posisi atau sektor yang dipimpin. Menteri Agama pastilah kalah pamor dibandingkan dengan Menteri Dalam Negeri, atau Menteri Keuangan yang begitu dicari daripada Menteri Pemberdayaan Perempuan. Terkecuali saat itu pos menteri yang kurang 'seksi' tersebut tengah menjadi sorotan, barulah sang menteri dibutuhkan komentar atau pernyataannya.

Siang ini, wartawan pun mulai bersiaga setengah jam sebelum pertemuan digelar. Tak lama kemudian, seorang menteri yang turun dari mobilnya langsung dicegat wartawan dan ditanyai berbagai hal. Dengan sabar pertanyaan itu diladeni. Pada saat bersamaan, dari kejauhan terlihat Menteri Keuangan Agus Martowardojo juga turun dari mobilnya. Sontak, wartawan yang tengah merekam pernyataan sang menteri tadi berlarian tanpa permisi mengejar Agus Marto dan membiarkan sang menteri melongo ditinggalkan 'penggemarnya'.

Saat berikutnya, seorang menteri lain juga tiba di halaman belakang Istana Negara dan langsung dipepet wartawan. Tapi itu tak lama, karena kemudian terlihat Menteri Pertanian Suswono turun dari mobilnya sehingga perhatian wartawan teralihkan. Hal yang sama juga terjadi ketika seorang menteri ditinggal pergi wartawan yang melihat kedatangan Ketua DPR Marzuki Alie. Maka, menteri yang kurang punya isu atau daya tarik berita harus mengalah pada menteri lain yang sedang jadi topik pemberitaan.

Bagi saya itu bisa dimaklumi dilihat dari konteks pemberitaan saat ini. Agus Marto dikejar karena dia baru saja dicalonkan Presiden ke DPR untuk kedua kalinya menjadi Gubernur Bank Indonesia, sebuah posisi strategis memang, sementara pada pencalonan sebelumnya Agus Marto sudah ditolak DPR. Demikian pula dengan Suswono yang namanya disebut-sebut ikut terlibat dalam kasus suap sapi impor. Sedangkan Marzuki Alie dikejar karena dikabarkan berminat menjadi calon Ketua Umum Partai Demokrat menggantikan Anas Urbaningrum yang  telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi proyek Hambalang. 

Jadi semua ada alasannya, meski cara wartawan meninggalkan sang narasumber tanpa permisi terkesan kurang elok. Cara yang lebih elegan adalah jika para wartawan mencegat narasumber di depan pintu masuk Kantor Presiden. Seorang menteri yang tak dibutuhkan komentarnya akan dibiarkan melenggang masuk. Sedangkan menteri yang ditunggu komentar dan pernyataannya bakal ditutup jalannya dan langsung disodori mikrofon serta alat perekam.

Apa pun itu, yang jelas kawasan Istana bisa menjadi bersahabat atau jahat bagi seorang menteri yang ingin mencari panggung. Karena berada di wilayah yang bukan menjadi kekuasaannya, para pejabat yang masuk Istana harus sabar jika tak dibutuhkan wartawan. Sebaliknya, menteri yang sedang punya kasus atau sedang jadi sorotan atas kinerjanya, baik positif atau negatif, harus pintar-pintar memilih kalimat yang akan disampaikan.

Karena itu, wartawan di Istana sama sekali tak terpukau atau segan dengan jabatan seseorang, baik menteri atau pimpinan lembaga negara lainnya. Wartawan menilai seorang pejabat itu bukan saja dari posisi yang dia pegang, tapi lebih kepada apa yang sudah atau akan dilakukan terkait jabatannya. Dan, memang hanya itu yang dibutuhkan wartawan, bukan pesona atau tingginya jabatan seseorang.


Wartawan di Istana Negara dalam sebuah acara pelantikan