Rabu 20 November 2013
Menurut data yang ada di Buku Wartawan Kepresidenan 2013, terdapat 400 lebih wartawan yang punya izin untuk meliput aktivitas Presiden, baik itu di Istana atau di luar Istana. Mereka berasal dari 116 media, yaitu 21 media televisi, 19 media radio dan online, 34 media cetak, dan 42 media asing. Beda jenis media maka beda pula jumlah wartawan yang bisa mendapatkan tanda pengenal untuk meliput di Istana.
Jumlah terbesar adalah untuk media televisi. Satu media bisa mengutus sampai 8 orang yang terdiri dari kamerawan dan reporter. Bahkan, khusus untuk TVRI ada belasan yang meliput di Istana. Sedangkan media cetak, radio dan online umumnya cuma bisa mengirim 2 sampai 4 orang wartawan atau fotografer. Terkecuali RRI dan Antara yang memang diberi kuota lebih dibandingkan media lainnya.
Dilihat dari jumlah itu, wartawan, kamerawan dan fotografer yang meliput aktivitas Presiden memang cukup besar. Tapi, jangan dibayangkan bahwa setiap kegiatan Presiden diliput oleh ratusan wartawan. Dari pengalaman saya, banyak atau sedikitnya wartawan yang meliput tergantung isu. Makin panas isu yang berkembang, makin ramai wartawan yang datang, demikian pula sebaliknya.
Biasanya, jika agenda Presiden hanya pelantikan menteri atau pejabat tinggi di Istana Negara, bertemu menteri, tokoh, atau pejabat negara sahabat di Kantor Presiden, menyambut kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat di Istana Merdeka, jumlah wartawan yang hadir meliput hanya sekitar 50 orang. Lain halnya kalau ada rapat kabinet paripurna yang dihadiri hampir seluruh menteri kabinet, jumlahnya akan bertambah karena sumber berita semuanya berkumpul di Kantor Presiden.
Sebaliknya, saat agenda Presiden adalah kegiatan internal, hanya belasan wartawan yang menunggu dengan sabar di Bioskop, sebutan untuk ruang wartawan yang ada di samping kanan Istana Negara. Kondisi berbeda akan terlihat ketika ada pemberitaan media massa kompak membahas satu isu hangat berskala nasional. Misalnya ketika skandal impor daging sapi atau naiknya harga daging dan kacang kedelai, dipastikan wartawan akan menumpuk di Istana meminta konfirmasi dari menteri terkait.
Seperti hari ini, media massa tengah menyorot skandal penyadapan telepon seluler milik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono serta 8 pejabat tinggi lainnya. Penyadapan oleh intelijen Australia itu dilakukan pada Agustus 2009, namun baru terungkap sekarang. Sayang, Perdana Menteri Australia Tony Abbott yang mengakui penyadapan itu menolak meminta maaf. Tak pelak, hubungan Indonesia-Australia memanas. Bahkan, Presiden SBY memutuskan untuk memanggil pulang Duta Besar Indonesia untuk Negeri Kanguru, Nadjib Riphat Kesoema.
Dari agenda yang dikirimkan Biro Pers dan Media Istana, ada dua kegiatan besar Presiden hari ini. Pertama pertemuan dengan Dubes Nadjib di Kantor Presiden dan upacara kenegaraan menyambut Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte di Istana Merdeka yang disusul dengan jumpa pers dan jamuan makan malam di Istana Negara. Saya bisa membayangkan bahwa Kantor Presiden akan sangat ramai hari ini.
Benar saja, saat tiba di Kantor Presiden siang ini, di pintu masuk ruang wartawan yang juga menjadi akses menuju Kantor Presiden sudah penuh dengan wartawan. Tak biasanya, pertemuan Presiden dan seorang menteri serta duta besar diliput wartawan sebanyak ini. Bahkan, wajah wartawan dari sejumlah kantor berita asing juga meramaikan peliputan hari ini.
Kepala Badan Intelijen Negara Marciano Norman yang terlebih dulu datang dan berbicara banyak soal penyadapan kepada wartawan. Jeda tak berapa lama, di lorong panjang menuju Kantor Presiden terlihat Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Dubes Nadjib Riphat Kesoema berjalan beriringan. Wartawan yang sudah berkumpul langsung mengambil posisi siaga satu.
Baik Marty atau Nadjib tak bicara banyak, karena mereka harus melapor dulu ke Presiden sebelum memberi keterangan kepada pers. Keduanya kemudian menuju ruang tunggu Kantor Presiden. Tak lama kemudian giliran Menko Polhukam Djoko Suyanto yang tiba dan sempat pula memberi sedikit keterangan soal penyadapan serta konflik anggota TNI dan Polri di Karawang. Tak ada yang baru, datar-datar saja keterangannya.
Berbeda pula dari biasanya, ketika wartawan bersiap mengabadikan pertemuan Presiden dengan Menlu dan Dubes Nadjib, pihak protokoler dan biro pers memberitahu bahwa jumlahnya akan dibatasi. Hanya beberapa orang dari wartawan media televisi dan media cetak serta online yang diizinkan masuk sebagai perwakilan. Melihat banyaknya wartawan yang hadir, memang bisa dibayangkan kalau suasananya bakal gaduh jika semuanya diizinkan masuk ke ruang kerja Presiden.
Tidak lama wartawan berada di ruang kerja Presiden untuk mengabadikan pertemuan itu. Presiden duduk di ujung meja dan di hadapannya ada Menko Polhukam Djoko Suyanto, Menlu Marty Natalegawa, Dubes Nadjib, Kepala BIN Marciano Norman, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, dan Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Setelah jepret-jepret dan sedikit mendengarkan obrolan singkat antara Presiden dan Dubes Nadjib, wartawan pun diminta meninggalkan ruangan dan menunggu di ruang wartawan Kantor Presiden.
Satu jam kemudian beredar kabar kalau Presiden akan memberikan keterangan pers secara langsung dari ruang wartawan Kantor Presiden. Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha kemudian memastikan kabar itu. Sejumlah wartawan media televisi dan radio terlihat sibuk merencanakan siaran langsung, sementara yang lainnya mencoba melapor ke kantor media masing-masing soal rencana Presiden untuk bicara langsung terkait skandal penyadapan ini.
Selama bertugas di Istana, baru kali ini pula saya melihat wartawan begitu banyak memenuhi ruangan wartawan Kantor Presiden. Saat Presiden SBY masuk ruangan wartawan, yang terlihat kosong hanya bagian podium. Bagian depan dan samping penuh oleh wartawan, staf kepresidenan serta Paspampres. Mengingat isu yang akan dibicarakan cukup sensitif, kami pun menunggu kalimat-kalimat yang akan keluar dari mulut Presiden.
Intinya, Presiden mengatakan kabar penyadapan ini sangat mengganggu dan menekan harga diri bangsa. Arahnya jelas, apa yang dilakukan intelijen Australia serta keengganan PM Abbott untuk meminta maaf telah menempatkan hubungan kedua negara di titik didih. Presiden mengaku telah menginstruksikan penghentian sejumlah kerja sama untuk sementara waktu dan menunggu balasan dari surat pribadi yang akan dikirim hari ini ke PM Abbott.
Jumpa pers selesai dan Presiden kembali ke ruangan kerjanya. Kerepotan beralih ke Juru Bicara Julian, Menlu Marty, Dubes Nadjib serta Menko Polhukam Djoko yang dicecar wartawan dengan pertanyaan. Senada dengan Presiden, mereka mengaku mendukung langkah-langkah Kepala Negara. Bahkan, Dubes Nadjib menegaskan tak akan kembali ke Canberra sebelum ada sinyal positif dari PM Abbott atas surat Presiden SBY. Bagi wartawan ini berita bagus, meski merenggangnya hubungan Indonesia dan Australia sebenarnya berdampak negatif. Tapi itulah berita.
Selepas siang, suasana mulai sepi. Sebagian wartawan yang tadi memenuhi Kantor Presiden sudah meninggalkan Istana, sedangkan sebagian lagi berkumpul di Bioskop menunggu agenda Presiden berikutnya. Ketika petang harinya Presiden SBY menerima kunjungan PM Belanda Mark Rutte di Istana Merdeka, tak ada lagi keramaian. Jumlah wartawan yang meliput acara ini tak sampai separuh dari tadi siang.
Bisa dimaklumi, penyambutan kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat adalah acara seremonial belaka. Akan ada upacara kenegaraan, pembicaraan bilateral dan penandatanganan sejumlah kesepakatan. Selanjutnya akan ada jumpa pers bersama yang berisi saling memuji kedua negara serta paparan kemajuan kerja sama di berbagai bidang, khususnya ekonomi. Terakhir, akan ada jamuan makan malam di Istana Negara.
Dilihat dari sudut pandang media, ini jelas berita yang sangat biasa, standar, dan tak akan dicari oleh sebagian besar pembaca. Maka, sangat dimaklumi kalau sikap seorang Tony Abbott yang jauh di seberang lautan lebih menarik ketimbang sosok Mark Rutte yang hadir di tangga Istana Merdeka.
Lebih aneh lagi, saat Abbott berkunjung ke Indonesia pada 30 September silam dan diterima Presiden SBY di Istana Negara, wartawan yang meliput tak sebanyak tadi siang. Lucu, ketika dia menginjakkan kaki di negeri ini, tak banyak yang berminat. Saat dia berada jauh di benua lain, namanya jadi buah bibir.
Bahkan, ketika usai upacara kenegaraan menyambut Rutte, sejumlah pejabat seperti Menlu Marty, Panglima TNI Jenderal Moeldoko, Kapolri Jenderal Sutarman, dan Menkominfo Tifatul Sembiring tetap ditanyakan soal perkembangan kerja sama pascapenyadapan oleh Australia. Tak ada pertanyaan menyangkut kerja sama Indonesia-Belanda, seolah yang baru saja diterima Presiden SBY di Istana Merdeka adalah Abbott, bukan Rutte.
Tapi, memang begitulah media, tidak suka dengan yang datar atau biasa. Berita peresmian jembatan tol tak akan ada gaungnya ketika harus berhadapan dengan penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Demikian pula dengan berita kunjungan Presiden ke daerah, pastilah akan tenggelam oleh kabar rencana kenaikan harga BBM. Dan, Rutte patut berduka karena kabar kedatangannya ke Indonesia kurang mendapat porsi di media massa karena sikap keras Abbott yang menolak minta maaf. Maafkan kami Meneer Rutte.***
Suasana di awal pertemuan antara Presiden SBY dan Dubes Nadjib di ruang kerja Presiden.
Wartawan sibuk menyimak penjelasan Presiden SBY soal penyadapan oleh intelijen Australia.
Jarang-jarang Presiden bicara di podium ruang wartawan Kantor Presiden, jajaran menteri kabinet lebih kerap menggunakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar