Akhir pekan ini agenda Presiden cuma satu, yaitu menyaksikan pemutaran perdana film 99 Cahaya di Langit Eropa. Acara nonton bareng ini akan digelar di XXI Djakarta Theater, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada pukul 20.00 WIB. Jam segitu cukup larut buat saya karena pemutaran film baru akan berakhir di atas pukul 22.00 WIB. Itu artinya saya harus bersusah payah mencari angkutan umum untuk pulang.
Tapi saya memutuskan untuk ikut menyaksikan film ini karena dua alasan. Pertama, saya belum pernah meliput aktivitas Presiden yang non-formal seperti ini. Sepanjang 2013, ini kali kedua Presiden menyaksikan pemutaran perdana film nasional. Sebelumnya, Presiden pada Senin 20 Mei lalu menyaksikan pemutaran perdana film Sang Kiai. Ketika itu saya tak ikut meliputnya. Kali ini saya ingin tahu bagaimana protokoler Presiden jika masuk ke sebuah bioskop.
Kedua, meski tergolong sebagai penikmat film yang cukup aktif, terbukti dari koleksi kepingan DVD dari beragam jenis film yang berjumlah 3.000 lebih di lemari (sebagian besar DVD bajakan pastinya), saya belum pernah masuk bioskop yang satu ini. Jadi, dengan ikut nobar kali ini, paling tidak bisa menambah lagi pengalaman saya masuk berbagai bioskop di Jakarta, mulai dari kelas kambing hingga nonton di Theater IMAX.
Sedikit tentang film yang akan ditonton hari ini, 99 Cahaya di Langit Eropa diangkat dari novel berjudul sama karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Hanum adalah putri dari mantan Ketua MPR dan pendiri Partai Amanat Nasional Amien Rais. Sedangkan Rangga adalah suami Hanum.
Adalah Hanum yang menyampaikan undangan secara langsung kepada Susilo Bambang Yudhoyono saat Presiden berkunjung ke kediaman Amien Rais di Yogyakarta pada Kamis 17 Oktober lalu. Agaknya Presiden tak kuasa menolak undangan itu dan menyanggupi untuk hadir. Dan lagi tak ada salahnya Presiden menonton film ini, karena dipastikan tak bakal ada adegan buka paha, penampakan hantu, atau lompat-lompatan dari pohon ke pohon seperti film Indonesia kebanyakan.
Karena sepanjang hari ini langit tertutup awan, saya menduga petang hingga malam akan diguyur hujan. Karena itu saya berangkat lebih dini. Sesaat setelah turun dari bus Transjakarta di depan Sarinah, gerimis mulai turun, saya pun bergegas menuju gedung bioskop. Belum ada aktivitas, masih sepi, kendati petugas keamanan, polisi militer, dan Paspampres sudah mengambil alih gedung ini. Menjelang magrib hujan deras pun turun.
Seperti biasa, ada pemeriksaan di depan pintu masuk oleh Paspampres. Setelah itu ada sajian kudapan dan minuman untuk para tamu. Jarang-jarang saya meliput kegiatan Presiden yang para tamunya kebanyakan adalah para artis dan minus para pejabat. Selain para pemeran film ini, sejumlah nama terkenal di jagat hiburan Tanah Air juga terlihat hadir. Sepertinya acara nobar ini akan seru juga.
Tak lama kemudian ada pesan dari Biro Pers Istana bahwa para wartawan tak akan menyaksikan film di studio yang sama dengan Presiden karena keterbatasan tempat duduk. Kalau Presiden dan rombongan menonton di studio 1, maka kami nonton tepat di sebelahnya di studio 2. Saat kami dipandu ke studio2, ruangan bioskop ini masih kosong. Diberitahukan pula bahwa kami bebas memilih tempat duduk. Kami yang semuanya berjumlah sekitar 20 orang itu duduk di bagian tengah, sedangkan para kamerawan menunggu kedatangan Presiden di ruangan sebelah.
Hanya dalam hitungan menit sejumlah penonton lain berdatangan. Mereka menenteng undangan serta tiket yang bertuliskan nomor kursi. Awalnya tak ada masalah, sampai kemudian beberapa orang penonton undangan itu menunjuk-nunjuk kursi yang kami duduki. Dengan sikap sopan, sejumlah penonton itu memberitahu kalau kursi yang kami duduki itu sama dengan nomor tiket yang mereka miliki. Jadilah kemudian kami pindah agak ke depan.
Tapi makin lama suasana makin tidak menyenangkan. Setiap penonton yang masuk selalu membawa undangan dan tiket. Sepertinya hanya menunggu waktu sampai kami kembali 'diusir' karena menduduki kursi penonton lain. Wartawan pun memutuskan untuk keluar dari ruangan dan berkumpul di lobi bioskop. Mengherankan juga kenapa sebuah acara yang dihadiri oleh Presiden dikelola dengan cara-cara amatir seperti ini.
Orang-orang dari Biro Pers Istana yang mengetahui hal ini kemudian meminta kami bersabar. Setelahnya kami diminta untuk masuk ke studio 1. Sebagian besar kursi di studio ini sudah terisi, namun belasan tempat duduk masih kosong, termasuk kursi untuk rombongan Presiden. Kami pun kemudian diarahkan Paspampres menuju kursi yang masih kosong. Saya pun mendapat kursi di pojok kiri, merapat ke dinding, sejajar dengan deretan kursi bagian tengah yang akan ditempati Presiden.
Sebelum saya duduk, di kursi yang akan saya tempati ada secarik kertas yang ditempel di sandarannya bertuliskan 'Ambassador', demikian pula dengan kursi di samping saya yang ditempati seorang reporter televisi swasta. Saya langsung bisa menebak, kursi-kursi ini harusnya ditempati oleh undangan VVIP, yaitu para duta besar negara sahabat. Karena sudah dikonfirmasi tidak akan datang, kursi-kursi ini diberikan pada wartawan agar terlihat penuh. Tak elok jika Presiden masuk studio ini dan melihat adanya deretan kursi yang tanpa penghuni.
Buat saya sendiri tak ada masalah, yang penting bisa nonton. Nonton film dan nonton rombongan Presiden nonton film, dua hal itu yang penting. Yang berbeda dengan studio 2, di sini setiap kursi disediakan sebotol air mineral dan satu kotak penuh berondong jagung. Sayang, saya bukan tipe penonton film yang suka ngemil atau minum saat menatap layar bioskop. Bagi saya itu sangat mengganggu konsentrasi. Mungkin berondong jagung ini nanti bisa dibawa pulang, untuk sang istri yang menunggu di rumah.
Akhirnya, terlambat hampir setengah jam dari jadwal semula, Presiden dan rombongan memasuki ruangan studio 1. Terlihat Ibu Negara Ani Yudhoyono, Amien Rais beserta istri, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, dan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang berasal dari Partai Amanat Nasional, parpol besutan Amien Rais. Rombongan Presiden duduk dengan diapit oleh satu tim Paspampres yang duduk di sekeliling rombongan Kepala Negara, sementara deretan kursi di depan Presiden dibiarkan kosong.
Sebelum film dimulai, Hanum dan Rangga tampil ke depan dan memberi sedikit sambutan tentang film yang akan diputar. Dalam sambutan yang disampaikan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris itu keduanya menyampaikan ide terciptanya 99 Cahaya di Langit Eropa. "Film ini merupakan penggalan pengalaman kami selama tinggal di Eropa, mudah-mudahan bisa menjadi inspirasi dan Bapak Presiden beserta undangan lainnya bisa menikmati," ujar Hanum dan suaminya.
Lantas, film pun dimulai. Di layar terpampang panorama Kota Wina di Austria dan kemudian ada juga Kota Paris di Prancis. Secara keseluruhan buat saya film ini biasa-biasa saja, datar dan nyaris tanpa konflik. Film ini memang mengambil tema yang lumayan rumit, yaitu bagaimana sulitnya hidup mereka yang muslim di kota-kota Eropa, tapi itu sama sekali tak terlihat dan terasa di layar. Alur cerita juga lambat.
Film ini juga mengingatkan saya pada film Da Vinci Code, tapi dalam artian positif. Dalam film ini Hanum dan Rangga memberi pencerahan atas sejumlah lokasi yang berhubungan dengan kejayaan Islam di masa lalu. Buat saya ini lumayan mencerahkan kendati kalau kebanyakan bisa menjadi semacam film dokumenter atau panduan perjalanan wisata. Syukurlah film ini belum sampai pada genre itu.
Di samping itu, jajaran pemainnya menurut saya sudah tepat. Saya selalu memuji penampilan Acha Septriasa dalam film Love, Abimana Aryasatya saya pujikan aktingnya dalam Catatan Harian Si Boy, Raline Shah adalah bintang baru yang lumayan bersinar, Nino Fernandez juga cukup menghibur, Alex Abbad yang kali ini tampil beda dan tetap oke, serta Marissa Nasution yang tampil menggoda. Hanya itu catatan berdasarkan selera saya.
Dalam beberapa hal, penilaian Presiden jauh berbeda dengan saya. Usai film ditutup dengan memberi clue bahwa akan ada sekuel dari film ini, Presiden pun didapuk untuk memberikan komentar. Didampingi seluruh kru dan pemeran 99 Cahaya di Langit Eropa, Presiden melontarkan pujiannya. "Ini sebuah karya seni yang luar biasa, bukan hanya cerita yang segar dan penuh pembelajaran, tetapi juga diekspresikan oleh para artis kita dengan tampilan yang luar biasa dan digarap secara baik," ujar Presiden.
Namun, untuk satu hal, bahwa kalau terlalu banyak mengumbar cerita tentang lokasi-lokasi bernilai sejarah di Eropa film ini bisa terjerumus menjadi film dokumenter atau panduan wisata, Presiden agaknya sepakat dengan saya. "Bagi yang sering bepergian ke Eropa tentu ini mengingatkan kita pada kawasan itu, budayanya, bahasanya, dan kulinernya," kata Presiden.
Setelah memberi ucapan selamat kepada seluruh kru serta sesi foto-foto, kami pun keluar dari ruangan bioskop. Di luar masih ada sisa gerimis. Usai berbincang-bincang dengan beherapa teman, saya memutuskan untuk pulang dan mencari angkutan umum. Sudah pukul 11 malam, mudah-mudahan masih ada kendaraan. Syukurnya, ada yang mengajak saya nebeng dengan sepeda motornya. Jadilah saya berboncengan dengan teman itu di bawah gerimis kecil.
Alhamdulillah, tiba juga akhirnya di rumah, meski sudah menjelang tengah malam. Saat istri bertanya bagaimana penilaian saya terhadap film Hanum dan Rangga, saya bingung harus menjawab apa. Kalau saya jawab filmnya bagus, itu artinya saya harus siap untuk menemaninya nonton pekan depan. Sementara kalau saya menjawab filmnya tidak bagus, itu sama saja saya melawan pendapat Presiden. Aduh...***
(Abror/www.presidenri.go.id0
(Abror/www.presidenri.go.id)
Buah tangan dari nobar bersama Presiden
Tidak ada komentar:
Posting Komentar