Selasa, 17 Desember 2013

Cerita Nobar Bersama Presiden

Jumat 29 November 2013

Akhir pekan ini agenda Presiden cuma satu, yaitu menyaksikan pemutaran perdana film 99 Cahaya di Langit Eropa. Acara nonton bareng ini akan digelar di XXI Djakarta Theater, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, pada pukul 20.00 WIB. Jam segitu cukup larut buat saya karena pemutaran film baru akan berakhir di atas pukul 22.00 WIB. Itu artinya saya harus bersusah payah mencari angkutan umum untuk pulang.

Tapi saya memutuskan untuk ikut menyaksikan film ini karena dua alasan. Pertama, saya belum pernah meliput aktivitas Presiden yang non-formal seperti ini. Sepanjang 2013, ini kali kedua Presiden menyaksikan pemutaran perdana film nasional. Sebelumnya, Presiden pada Senin 20 Mei lalu menyaksikan pemutaran perdana film Sang Kiai. Ketika itu saya tak ikut meliputnya. Kali ini saya ingin tahu bagaimana protokoler Presiden jika masuk ke sebuah bioskop.

Kedua, meski tergolong sebagai penikmat film yang cukup aktif, terbukti dari koleksi kepingan DVD dari beragam jenis film yang berjumlah 3.000 lebih di lemari (sebagian besar DVD bajakan pastinya), saya belum pernah masuk bioskop yang satu ini. Jadi, dengan ikut nobar kali ini, paling tidak bisa menambah lagi pengalaman saya masuk berbagai bioskop di Jakarta, mulai dari kelas kambing hingga nonton di Theater IMAX.

Sedikit tentang film yang akan ditonton hari ini, 99 Cahaya di Langit Eropa diangkat dari novel berjudul sama karya Hanum Salsabiela Rais dan Rangga Almahendra. Hanum adalah putri dari mantan Ketua MPR dan pendiri Partai Amanat Nasional Amien Rais. Sedangkan Rangga adalah suami Hanum.

Adalah Hanum yang menyampaikan undangan secara langsung kepada Susilo Bambang Yudhoyono saat Presiden berkunjung ke kediaman Amien Rais di Yogyakarta pada Kamis 17 Oktober lalu. Agaknya Presiden tak kuasa menolak undangan itu dan menyanggupi untuk hadir. Dan lagi tak ada salahnya Presiden menonton film ini, karena dipastikan tak bakal ada adegan buka paha, penampakan hantu, atau lompat-lompatan dari pohon ke pohon seperti film Indonesia kebanyakan.

Karena sepanjang hari ini langit tertutup awan, saya menduga petang hingga malam akan diguyur hujan. Karena itu saya berangkat lebih dini. Sesaat setelah turun dari bus Transjakarta di depan Sarinah, gerimis mulai turun, saya pun bergegas menuju gedung bioskop. Belum ada aktivitas, masih sepi, kendati petugas keamanan, polisi militer, dan Paspampres sudah mengambil alih gedung ini. Menjelang magrib hujan deras pun turun.

Seperti biasa, ada pemeriksaan di depan pintu masuk oleh Paspampres. Setelah itu ada sajian kudapan dan minuman untuk para tamu. Jarang-jarang saya meliput kegiatan Presiden yang para tamunya kebanyakan adalah para artis dan minus para pejabat. Selain para pemeran film ini, sejumlah nama terkenal di jagat hiburan Tanah Air juga terlihat hadir. Sepertinya acara nobar ini akan seru juga.

Tak lama kemudian ada pesan dari Biro Pers Istana bahwa para wartawan tak akan menyaksikan film di studio yang sama dengan Presiden karena keterbatasan tempat duduk. Kalau Presiden dan rombongan menonton di studio 1, maka kami nonton tepat di sebelahnya di studio 2. Saat kami dipandu ke studio2, ruangan bioskop ini masih kosong. Diberitahukan pula bahwa kami bebas memilih tempat duduk. Kami yang semuanya berjumlah sekitar 20 orang itu duduk di bagian tengah, sedangkan para kamerawan menunggu kedatangan Presiden di ruangan sebelah.

Hanya dalam hitungan menit sejumlah penonton lain berdatangan. Mereka menenteng undangan serta tiket yang bertuliskan nomor kursi. Awalnya tak ada masalah, sampai kemudian beberapa orang penonton undangan itu menunjuk-nunjuk kursi yang kami duduki. Dengan sikap sopan, sejumlah penonton itu memberitahu kalau kursi yang kami duduki itu sama dengan nomor tiket yang mereka miliki. Jadilah kemudian kami pindah agak ke depan.

Tapi makin lama suasana makin tidak menyenangkan. Setiap penonton yang masuk selalu membawa undangan dan tiket. Sepertinya hanya menunggu waktu sampai kami kembali 'diusir' karena menduduki kursi penonton lain. Wartawan pun memutuskan untuk keluar dari ruangan dan berkumpul di lobi bioskop. Mengherankan juga kenapa sebuah acara yang dihadiri oleh Presiden dikelola dengan cara-cara amatir seperti ini.

Orang-orang dari Biro Pers Istana yang mengetahui hal ini kemudian meminta kami bersabar. Setelahnya kami diminta untuk masuk ke studio 1. Sebagian besar kursi di studio ini sudah terisi, namun belasan tempat duduk masih kosong, termasuk kursi untuk rombongan Presiden. Kami pun kemudian diarahkan Paspampres menuju kursi yang masih kosong. Saya pun mendapat kursi di pojok kiri, merapat ke dinding, sejajar dengan deretan kursi bagian tengah yang akan ditempati Presiden.

Sebelum saya duduk, di kursi yang akan saya tempati ada secarik kertas yang ditempel di sandarannya bertuliskan 'Ambassador', demikian pula dengan kursi di samping saya yang ditempati seorang reporter televisi swasta. Saya langsung bisa menebak, kursi-kursi ini harusnya ditempati oleh undangan VVIP, yaitu para duta besar negara sahabat. Karena sudah dikonfirmasi tidak akan datang, kursi-kursi ini diberikan pada wartawan agar terlihat penuh. Tak elok jika Presiden masuk studio ini dan melihat adanya deretan kursi yang tanpa penghuni.

Buat saya sendiri tak ada masalah, yang penting bisa nonton. Nonton film dan nonton rombongan Presiden nonton film, dua hal itu yang penting. Yang berbeda dengan studio 2, di sini setiap kursi disediakan sebotol air mineral dan satu kotak penuh berondong jagung. Sayang, saya bukan tipe penonton film yang suka ngemil atau minum saat menatap layar bioskop. Bagi saya itu sangat mengganggu konsentrasi. Mungkin berondong jagung ini nanti bisa dibawa pulang, untuk sang istri yang menunggu di rumah.

Akhirnya, terlambat hampir setengah jam dari jadwal semula, Presiden dan rombongan memasuki ruangan studio 1. Terlihat Ibu Negara Ani Yudhoyono, Amien Rais beserta istri, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, dan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang berasal dari Partai Amanat Nasional, parpol besutan Amien Rais. Rombongan Presiden duduk dengan diapit oleh satu tim Paspampres yang duduk di sekeliling rombongan Kepala Negara, sementara deretan kursi di depan Presiden dibiarkan kosong.

Sebelum film dimulai, Hanum dan Rangga tampil ke depan dan memberi sedikit sambutan tentang film yang akan diputar. Dalam sambutan yang disampaikan dengan bahasa Indonesia dan bahasa Inggris itu keduanya menyampaikan ide terciptanya 99 Cahaya di Langit Eropa. "Film ini merupakan penggalan pengalaman kami selama tinggal di Eropa, mudah-mudahan bisa menjadi inspirasi dan Bapak Presiden beserta undangan lainnya bisa menikmati," ujar Hanum dan suaminya.

Lantas, film pun dimulai. Di layar terpampang panorama Kota Wina di Austria dan kemudian ada juga Kota Paris di Prancis. Secara keseluruhan buat saya film ini biasa-biasa saja, datar dan nyaris tanpa konflik. Film ini memang mengambil tema yang lumayan rumit, yaitu bagaimana sulitnya hidup mereka yang muslim di kota-kota Eropa, tapi itu sama sekali tak terlihat dan terasa di layar. Alur cerita juga lambat.

Film ini juga mengingatkan saya pada film Da Vinci Code, tapi dalam artian positif. Dalam film ini Hanum dan Rangga memberi pencerahan atas sejumlah lokasi yang berhubungan dengan kejayaan Islam di masa lalu. Buat saya ini lumayan mencerahkan kendati kalau kebanyakan bisa menjadi semacam film dokumenter atau panduan perjalanan wisata. Syukurlah film ini belum sampai pada genre itu.

Di samping itu, jajaran pemainnya menurut saya sudah tepat. Saya selalu memuji penampilan Acha Septriasa dalam film Love, Abimana Aryasatya saya pujikan aktingnya dalam Catatan Harian Si Boy, Raline Shah adalah bintang baru yang lumayan bersinar, Nino Fernandez juga cukup menghibur, Alex Abbad yang kali ini tampil beda dan tetap oke, serta Marissa Nasution yang tampil menggoda. Hanya itu catatan berdasarkan selera saya.

Dalam beberapa hal, penilaian Presiden jauh berbeda dengan saya. Usai film ditutup dengan memberi clue bahwa akan ada sekuel dari film ini, Presiden pun didapuk untuk memberikan komentar. Didampingi seluruh kru dan pemeran 99 Cahaya di Langit Eropa, Presiden melontarkan pujiannya. "Ini sebuah karya seni yang luar biasa, bukan hanya cerita yang segar dan penuh pembelajaran, tetapi juga diekspresikan oleh para artis kita dengan tampilan yang luar biasa dan digarap secara baik," ujar Presiden.

Namun, untuk satu hal, bahwa kalau terlalu banyak mengumbar cerita tentang lokasi-lokasi bernilai sejarah di Eropa film ini bisa terjerumus menjadi film dokumenter atau panduan wisata, Presiden agaknya sepakat dengan saya. "Bagi yang sering bepergian ke Eropa tentu ini mengingatkan kita pada kawasan itu, budayanya, bahasanya, dan kulinernya," kata Presiden.

Setelah memberi ucapan selamat kepada seluruh kru serta sesi foto-foto, kami pun keluar dari ruangan bioskop. Di luar masih ada sisa gerimis. Usai berbincang-bincang dengan beherapa teman, saya memutuskan untuk pulang dan mencari angkutan umum. Sudah pukul 11 malam, mudah-mudahan masih ada kendaraan. Syukurnya, ada yang mengajak saya nebeng dengan sepeda motornya. Jadilah saya berboncengan dengan teman itu di bawah gerimis kecil.

Alhamdulillah, tiba juga akhirnya di rumah, meski sudah menjelang tengah malam. Saat istri bertanya bagaimana penilaian saya terhadap film Hanum dan Rangga, saya bingung harus menjawab apa. Kalau saya jawab filmnya bagus, itu artinya saya harus siap untuk menemaninya nonton pekan depan. Sementara kalau saya menjawab filmnya tidak bagus, itu sama saja saya melawan pendapat Presiden. Aduh...***


(Abror/www.presidenri.go.id0

 (Abror/www.presidenri.go.id)

Buah tangan dari nobar bersama Presiden




Senin, 09 Desember 2013

Jokowi Tak Ada Lawan

Rabu 27 November 2013

Petang ini saya berada di Istora Senayan untuk menghadiri peringatan Hari Guru Nasional dan HUT ke-68 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Menurut rilis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada sekitar 9.000 guru dan pengurus PGRI dari seluruh Indonesia yang hadir dalam acara ini. Wajar saja kalau semua kursi di Istora penuh terisi dan tak tersisa lagi untuk wartawan yang akan meliput aktivitas Presiden.

Tak banyak pejabat yang akan hadir dalam acara ini. Selain Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono, akan hadir pula mendampingi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, Menteri Agama Suryadharma Ali, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Pejabat yang hadir tentu saja mereka yang punya keterkaitan secara fungsional maupun administrasi dengan guru. Kecuali Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, dia hadir sebagai representasi tuan rumah tempat digelarnya acara.

Tepat pukul 15.00 WIB, pembawa acara mengumumkan bahwa Presiden dan pejabat lainnya akan memasuki ruangan. Dari dua layar besar yang berada di samping kanan dan kiri panggung terlihat Presiden SBY dan jajarannya memasuki Istora dari pintu depan. Setelah Presiden dan pejabat lainnya duduk, pembawa acara mengucapkan selamat datang kepada Presiden dan para menteri serta undangan lainnya.

Setiap kali pembawa acara menyebutkan nama, maka layar lebar di depan panggung akan memperlihatkan wajah sang pejabat dimaksud. Dimulai dengan ucapan selamat datang kepada Presiden SBY dan Ibu Negara, yang dilanjutkan dengan jajaran menteri yang tampak tersenyum di layar lebar saat namanya disebutkan. Para guru yang hadir tampak takzim melihat para pejabat itu.

Pada bagian akhir, pembawa acara mengucapkan, "Selamat datang juga kepada Gubernur DKI Jakarta...." Belum sempat pembawa acara menyebutkan nama sang gubernur, tepuk tangan meriah langsung terdengar di Istora. Di layar lebar terlihat wajah Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi tanpa ekspresi. Setelah Jokowi, terakhir pembawa acara mengucapkan selamat datang kepada Ketua Umum PGRI Sulistiyo. Tapi suasana kembali hening, tak ada tepuk tangan.

Dari sekian banyak pejabat yang hadir, mulai dari Presiden sampai Ketua Umum PGRI, hanya saat nama Jokowi disebut para guru bertepuk tangan. Tak ada yang memberi komando, semuanya terjadi secara spontan. Peristiwa petang ini membuat saya deja vu. Saya seperti pernah mengalami hal serupa sebelumnya. Sama persis. Tapi cerita tentang tepuk tangan hari ini ternyata belum berhenti dan terus berlanjut.

Acara pertama adalah sambutan dari Ketua Umum PGRI. Galibnya sambutan dalam acara formal, sebelum bicara panjang lebar, Sulistiyo pun mengucapkan terima kasih kepada para pejabat yang hadir dengan urutan yang sama dengan yang dibacakan pembawa acara tadi. Dan peristiwa itu terulang kembali. "Terima kasih juga kepada Gubernur DKI Jakarta...." Tepuk tangan langsung membahana menutupi saat nama Joko Widodo disebutkan. 

Kejutan itu juga belum selesai karena kembali terulang saat giliran Menteri Nuh memberikan sambutan dan mengucapkan selamat datang kepada para pejabat yang hadir. Bedanya, tepuk tangan yang ketiga kali ini diakhiri dengan tawa tertahan para guru yang agaknya menyadari bahwa mereka sudah bersikap diskriminatif terhadap pejabat lainnya yang hadir di ruangan itu. Sedangkan bagi saya, momen itu melengkapi perasaan deja vu tadi.

Setelah saya pikir-pikir, sebenarnya itu bukan deja vu, karena saya memang pernah mengalami kejadian yang sama sebelumnya. Peristiwa itu terjadi juga di Istora Senayan pada 3 Juli 2013 saat pembukaan Kongres XXI PGRI dan Kongres Guru Indonesia. Jumlah guru-guru yang hadir dari seluruh Indonesia juga sama, sekitar 9.000 orang. Demikian pula dengan tamu undangan, tak jauh berbeda. Tambahannya, ada Ketua DPD Irman Gusman dan Menteri Pendayaguaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar.

Saya masih ingat, ketika itu Ketua Umum PGRI Sulistiyo memberikan sambutannya dan tepuk tangan dari para guru begitu keras terdengar saat nama Jokowi disebutkan sebagai salah satu undangan yang hadir. Tak ada yang aneh sebenarnya ketika itu, yang menjadi pertanyaan lagi-lagi kenapa hanya ketika nama Jokowi disebutkan ada tepuk tangan, sedangkan ketika nama pejabat lainnya disebut, para guru bungkam.

Ini memang bisa dibilang aneh. Kalaupun dicari alasan, sulit menemukannya. Jokowi bukan seorang guru atau dosen. Bukan pula mantan Mendikbud. Dari yang saya tahu, semasa sekolah atau kuliah dulu, Jokowi tak pernah menyebutkan bercita-cita jadi guru. Dalam perjalanan hidupnya, Jokowi juga tak pernah menulis buku atau novel yang bercerita tentang kehidupan guru. Saya mungkin masih bisa maklum jika yang mendapat tepuk tangan itu adalah Andrea Hirata si penulis Laskar Pelangi, tapi ini Jokowi.  

Fenomena Jokowiholic ini tak hanya terjadi di Istora Senayan atau di pasar-pasar, gang sempit, serta di jalanan. Di tempat seperti Istana Negara pun, Jokowi tak tertandingi. Bukan hanya soal tepuk tangan, tapi bagaimana euforia banyak orang ketika bertemu, melihat, dan menyentuh Jokowi. Ada beberapa momen saat Jokowi menghadiri acara di Istana Negara, namun hanya satu yang saya ingat bagaimana kewalahannya Jokowi melayani para 'fans' dari berbagai daerah.

Hari itu, Senin 10 Juni 2013. Di Istana Negara dilangsungkan pencanangan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Seperti biasa, banyak menteri Kabinet Indonesia Bersatu II yang hadir. Yang istimewa, puluhan pemenang penghargaan Adipura, Kalpataru dan Adiwiyata Mandiri yang berasal dari seluruh Indonesia juga diundang. Termasuk Jokowi yang hadir untuk menerima penghargaan pada kategori Penyusunan Buku Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) terbaik yang diraih Provinsi DKI Jakarta.

Seperti acara seremonial pada umumnya, ada sambutan dari Menteri Lingkungan Hidup Balthazar Kambuaya yang disambung dengan sambutan Presiden SBY. Yang menarik tentu saja saat Presiden menyerahkan piala Adipura kepada wali kota dan bupati yang daerahnya mendapat predikat terbersih. Begitu juga penyerahan piala Kalpataru bagi pribadi atau kelompok penggiat lingkungan hidup. Satu per satu mereka menerima piala diselingi dengan tepuk tangan yang hadir.

Lagi-lagi Jokowi membuat perbedaan. Ketika DKI Jakarta disebut sebagai peraih penghargaan pada kategori Penyusunan Buku Status Lingkungan Hidup Daerah terbaik dan Jokowi maju menerima penghargaan dari Presiden, tepuk tangan terdengar lebih meriah dari yang lainnya. 

Itu juga belum seberapa, karena setelah acara usai dan Presiden meninggalkan ruangan, sikap malu-malu para penerima penghargaan berubah menjadi agresif. Semuanya berusaha menyalami Jokowi dan mengajak berfoto. Dengan tetap menampilkan senyum khasnya, mantan Wali Kota Surakarta itu memenuhi permintaan penggemarnya. Ketika jajaran menteri dan pejabat lainnya sudah meninggalkan Istana Negara, Jokowi masih saja tersandera oleh ajakan berfoto. Meski kemudian terbebas dari kerumunan yang tak ada habisnya itu, 'penderitaan' Jokowi belum berakhir.

Saat menuju tempat parkir kendaraan di belakang Istana Negara, massa yang lebih besar sudah siap menghadang. Mereka adalah anggota rombongan penerima penghargaan dari berbagai daerah yang tak bisa masuk ke Istana Negara. Meski terlihat lelah, Jokowi kembali melayani permintaan berfoto. Tak hanya difoto, suami dari Iriana ini juga ditarik ke sana ke mari, dicubit dan dirangkul. Sementara Jokowi mengambil sikap pasrah sembari tetap menebar senyum.

Jokowi akhirnya bisa menaiki mobilnya dengan susah payah. Bahkan, ketika mobil Toyota Kijang Innova bernomor polisi B 1124 BH yang membawa Jokowi meninggalkan pelataran parkir Istana Negara, jepretan kamera dari para penggemar itu tak juga berhenti.

Dari semua itu, saya mencoba membuat kesimpulan sendiri kenapa ribuan guru terhanyut dengan pesona Jokowi dan penduduk di luar Jakarta bisa merasa begitu dekat dengan pengusaha mebel ini. Bagi saya sederhana, Jokowi muncul menawarkan sesuatu yang baru, khususnya dari cara memimpin. 

Jokowi hadir dengan gestur masyarakat biasa dan berusaha tak membuat jarak dengan warganya. Protokoler diterabas, berbahasa layaknya sedang di warung, berpenampilan sederhana, cepat memutuskan kebijakan, tegas ke atas dan lembut ke bawah. Hal yang biasa sebenarnya, tapi hanya Jokowi yang melakukan itu karena dia tahu sosok pemimpin yang bisa membuat dahaga warga Ibu Kota terpenuhi. 

Di atas semuanya, media massa punya peran paling besar dalam memunculkan tepuk tangan itu. Media massalah yang mengabarkan aktivitas Jokowi sejak bangun tidur hingga ke peraduan, sehingga guru di pelosok dan peraih Kalpataru dari penjuru negeri merasa mengenal Jokowi luar dalam.***


Jokowi bersama Menko Kesra Agung Laksono usai pencanangan Hari Lingkungan Hidup Sedunia

Jokowi bersama para pemenang Adipura dan Kalpataru dari berbagai daerah di Indonesia

Hari itu, Istana Negara menjadi panggung khusus buat Jokowi




Minggu, 01 Desember 2013

Pilih-pilih Berita Wartawan Istana


Rabu 20 November 2013

Menurut data yang ada di Buku Wartawan Kepresidenan 2013, terdapat 400 lebih wartawan yang punya izin untuk meliput aktivitas Presiden, baik itu di Istana atau di luar Istana. Mereka berasal dari 116 media, yaitu 21 media televisi, 19 media radio dan online, 34 media cetak, dan 42 media asing. Beda jenis media maka beda pula jumlah wartawan yang bisa mendapatkan tanda pengenal untuk meliput di Istana.

Jumlah terbesar adalah untuk media televisi. Satu media bisa mengutus sampai 8 orang yang terdiri dari kamerawan dan reporter. Bahkan, khusus untuk TVRI ada belasan yang meliput di Istana. Sedangkan media cetak, radio dan online umumnya cuma bisa mengirim 2 sampai 4 orang wartawan atau fotografer. Terkecuali RRI dan Antara yang memang diberi kuota lebih dibandingkan media lainnya.

Dilihat dari jumlah itu, wartawan, kamerawan dan fotografer yang meliput aktivitas Presiden memang cukup besar. Tapi, jangan dibayangkan bahwa setiap kegiatan Presiden diliput oleh ratusan wartawan. Dari pengalaman saya, banyak atau sedikitnya wartawan yang meliput tergantung isu. Makin panas isu yang berkembang, makin ramai wartawan yang datang, demikian pula sebaliknya.

Biasanya, jika agenda Presiden hanya pelantikan menteri atau pejabat tinggi di Istana Negara, bertemu menteri, tokoh, atau pejabat negara sahabat di Kantor Presiden, menyambut kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat di Istana Merdeka, jumlah wartawan yang hadir meliput hanya sekitar 50 orang. Lain halnya kalau ada rapat kabinet paripurna yang dihadiri hampir seluruh menteri kabinet, jumlahnya akan bertambah karena sumber berita semuanya berkumpul di Kantor Presiden.

Sebaliknya, saat agenda Presiden adalah kegiatan internal, hanya belasan wartawan yang menunggu dengan sabar di Bioskop, sebutan untuk ruang wartawan yang ada di samping kanan Istana Negara. Kondisi berbeda akan terlihat ketika ada pemberitaan media massa kompak membahas satu isu hangat berskala nasional. Misalnya ketika skandal impor daging sapi atau naiknya harga daging dan kacang kedelai, dipastikan wartawan akan menumpuk di Istana meminta konfirmasi dari menteri terkait.

Seperti hari ini, media massa tengah menyorot skandal penyadapan telepon seluler milik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono serta 8 pejabat tinggi lainnya. Penyadapan oleh intelijen Australia itu dilakukan pada Agustus 2009, namun baru terungkap sekarang. Sayang, Perdana Menteri Australia Tony Abbott yang mengakui penyadapan itu menolak meminta maaf. Tak pelak, hubungan Indonesia-Australia memanas. Bahkan, Presiden SBY memutuskan untuk memanggil pulang Duta Besar Indonesia untuk Negeri Kanguru, Nadjib Riphat Kesoema.

Dari agenda yang dikirimkan Biro Pers dan Media Istana, ada dua kegiatan besar Presiden hari ini. Pertama pertemuan dengan Dubes Nadjib di Kantor Presiden dan upacara kenegaraan menyambut Perdana Menteri Belanda, Mark Rutte di Istana Merdeka yang disusul dengan jumpa pers dan jamuan makan malam di Istana Negara. Saya bisa membayangkan bahwa Kantor Presiden akan sangat ramai hari ini.

Benar saja, saat tiba di Kantor Presiden siang ini, di pintu masuk ruang wartawan yang juga menjadi akses menuju Kantor Presiden sudah penuh dengan wartawan. Tak biasanya, pertemuan Presiden dan seorang menteri serta duta besar diliput wartawan sebanyak ini. Bahkan, wajah wartawan dari sejumlah kantor berita asing juga meramaikan peliputan hari ini.

Kepala Badan Intelijen Negara Marciano Norman yang terlebih dulu datang dan berbicara banyak soal penyadapan kepada wartawan. Jeda tak berapa lama, di lorong panjang menuju Kantor Presiden terlihat Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa dan Dubes Nadjib Riphat Kesoema berjalan beriringan. Wartawan yang sudah berkumpul langsung mengambil posisi siaga satu.

Baik Marty atau Nadjib tak bicara banyak, karena mereka harus melapor dulu ke Presiden sebelum memberi keterangan kepada pers. Keduanya kemudian menuju ruang tunggu Kantor Presiden. Tak lama kemudian giliran Menko Polhukam Djoko Suyanto yang tiba dan sempat pula memberi sedikit keterangan soal penyadapan serta konflik anggota TNI dan Polri di Karawang. Tak ada yang baru, datar-datar saja keterangannya.

Berbeda pula dari biasanya, ketika wartawan bersiap mengabadikan pertemuan Presiden dengan Menlu dan Dubes Nadjib, pihak protokoler dan biro pers memberitahu bahwa jumlahnya akan dibatasi. Hanya beberapa orang dari wartawan media televisi dan media cetak serta online yang diizinkan masuk sebagai perwakilan. Melihat banyaknya wartawan yang hadir, memang bisa dibayangkan kalau suasananya bakal gaduh jika semuanya diizinkan masuk ke ruang kerja Presiden.

Tidak lama wartawan berada di ruang kerja Presiden untuk mengabadikan pertemuan itu. Presiden duduk di ujung meja dan di hadapannya ada Menko Polhukam Djoko Suyanto, Menlu Marty Natalegawa, Dubes Nadjib, Kepala BIN Marciano Norman, Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, dan Sekretaris Kabinet Dipo Alam. Setelah jepret-jepret dan sedikit mendengarkan obrolan singkat antara Presiden dan Dubes Nadjib, wartawan pun diminta meninggalkan ruangan dan menunggu di ruang wartawan Kantor Presiden.

Satu jam kemudian beredar kabar kalau Presiden akan memberikan keterangan pers secara langsung dari ruang wartawan Kantor Presiden. Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha kemudian memastikan kabar itu. Sejumlah wartawan media televisi dan radio terlihat sibuk merencanakan siaran langsung, sementara yang lainnya mencoba melapor ke kantor media masing-masing soal rencana Presiden untuk bicara langsung terkait skandal penyadapan ini.

Selama bertugas di Istana, baru kali ini pula saya melihat wartawan begitu banyak memenuhi ruangan wartawan Kantor Presiden. Saat Presiden SBY masuk ruangan wartawan, yang terlihat kosong hanya bagian podium. Bagian depan dan samping penuh oleh wartawan, staf kepresidenan serta Paspampres. Mengingat isu yang akan dibicarakan cukup sensitif, kami pun menunggu kalimat-kalimat yang akan keluar dari mulut Presiden.

Intinya, Presiden mengatakan kabar penyadapan ini sangat mengganggu dan menekan harga diri bangsa. Arahnya jelas, apa yang dilakukan intelijen Australia serta keengganan PM Abbott untuk meminta maaf telah menempatkan hubungan kedua negara di titik didih. Presiden mengaku telah menginstruksikan penghentian sejumlah kerja sama untuk sementara waktu dan menunggu balasan dari surat pribadi yang akan dikirim hari ini ke PM Abbott.

Jumpa pers selesai dan Presiden kembali ke ruangan kerjanya. Kerepotan beralih ke Juru Bicara Julian, Menlu Marty, Dubes Nadjib serta Menko Polhukam Djoko yang dicecar wartawan dengan pertanyaan. Senada dengan Presiden, mereka mengaku mendukung langkah-langkah Kepala Negara. Bahkan, Dubes Nadjib menegaskan tak akan kembali ke Canberra sebelum ada sinyal positif dari PM Abbott atas surat Presiden SBY. Bagi wartawan ini berita bagus, meski merenggangnya hubungan Indonesia dan Australia sebenarnya berdampak negatif. Tapi itulah berita.

Selepas siang, suasana mulai sepi. Sebagian wartawan yang tadi memenuhi Kantor Presiden sudah meninggalkan Istana, sedangkan sebagian lagi berkumpul di Bioskop menunggu agenda Presiden berikutnya. Ketika petang harinya Presiden SBY menerima kunjungan PM Belanda Mark Rutte di Istana Merdeka, tak ada lagi keramaian. Jumlah wartawan yang meliput acara ini tak sampai separuh dari tadi siang.

Bisa dimaklumi, penyambutan kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat adalah acara seremonial belaka. Akan ada upacara kenegaraan, pembicaraan bilateral dan penandatanganan sejumlah kesepakatan. Selanjutnya akan ada jumpa pers bersama yang berisi saling memuji kedua negara serta paparan kemajuan kerja sama di berbagai bidang, khususnya ekonomi. Terakhir, akan ada jamuan makan malam di Istana Negara.

Dilihat dari sudut pandang media, ini jelas berita yang sangat biasa, standar, dan tak akan dicari oleh sebagian besar pembaca. Maka, sangat dimaklumi kalau sikap seorang Tony Abbott yang jauh di seberang lautan lebih menarik ketimbang sosok Mark Rutte yang hadir di tangga Istana Merdeka.

Lebih aneh lagi, saat Abbott berkunjung ke Indonesia pada 30 September silam dan diterima Presiden SBY di Istana Negara, wartawan yang meliput tak sebanyak tadi siang. Lucu, ketika dia menginjakkan kaki di negeri ini, tak banyak yang berminat. Saat dia berada jauh di benua lain, namanya jadi buah bibir.

Bahkan, ketika usai upacara kenegaraan menyambut Rutte, sejumlah pejabat seperti Menlu Marty, Panglima TNI Jenderal Moeldoko, Kapolri Jenderal Sutarman, dan Menkominfo Tifatul Sembiring tetap ditanyakan soal perkembangan kerja sama pascapenyadapan oleh Australia. Tak ada pertanyaan menyangkut kerja sama Indonesia-Belanda, seolah yang baru saja diterima Presiden SBY di Istana Merdeka adalah Abbott, bukan Rutte.

Tapi, memang begitulah media, tidak suka dengan yang datar atau biasa. Berita peresmian jembatan tol tak akan ada gaungnya ketika harus berhadapan dengan penangkapan Ketua Mahkamah Konstitusi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Demikian pula dengan berita kunjungan Presiden ke daerah, pastilah akan tenggelam oleh kabar rencana kenaikan harga BBM. Dan, Rutte patut berduka karena kabar kedatangannya ke Indonesia kurang mendapat porsi di media massa karena sikap keras Abbott yang menolak minta maaf. Maafkan kami Meneer Rutte.***


Suasana di awal pertemuan antara Presiden SBY dan Dubes Nadjib di ruang kerja Presiden.


Wartawan sibuk menyimak penjelasan Presiden SBY soal penyadapan oleh intelijen Australia.


Jarang-jarang Presiden bicara di podium ruang wartawan Kantor Presiden, jajaran menteri kabinet lebih kerap menggunakannya.