Senin, 09 Desember 2013

Jokowi Tak Ada Lawan

Rabu 27 November 2013

Petang ini saya berada di Istora Senayan untuk menghadiri peringatan Hari Guru Nasional dan HUT ke-68 Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Menurut rilis dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada sekitar 9.000 guru dan pengurus PGRI dari seluruh Indonesia yang hadir dalam acara ini. Wajar saja kalau semua kursi di Istora penuh terisi dan tak tersisa lagi untuk wartawan yang akan meliput aktivitas Presiden.

Tak banyak pejabat yang akan hadir dalam acara ini. Selain Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Ibu Negara Ani Yudhoyono, akan hadir pula mendampingi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhammad Nuh, Menteri Agama Suryadharma Ali, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo. Pejabat yang hadir tentu saja mereka yang punya keterkaitan secara fungsional maupun administrasi dengan guru. Kecuali Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo, dia hadir sebagai representasi tuan rumah tempat digelarnya acara.

Tepat pukul 15.00 WIB, pembawa acara mengumumkan bahwa Presiden dan pejabat lainnya akan memasuki ruangan. Dari dua layar besar yang berada di samping kanan dan kiri panggung terlihat Presiden SBY dan jajarannya memasuki Istora dari pintu depan. Setelah Presiden dan pejabat lainnya duduk, pembawa acara mengucapkan selamat datang kepada Presiden dan para menteri serta undangan lainnya.

Setiap kali pembawa acara menyebutkan nama, maka layar lebar di depan panggung akan memperlihatkan wajah sang pejabat dimaksud. Dimulai dengan ucapan selamat datang kepada Presiden SBY dan Ibu Negara, yang dilanjutkan dengan jajaran menteri yang tampak tersenyum di layar lebar saat namanya disebutkan. Para guru yang hadir tampak takzim melihat para pejabat itu.

Pada bagian akhir, pembawa acara mengucapkan, "Selamat datang juga kepada Gubernur DKI Jakarta...." Belum sempat pembawa acara menyebutkan nama sang gubernur, tepuk tangan meriah langsung terdengar di Istora. Di layar lebar terlihat wajah Joko Widodo yang akrab disapa Jokowi tanpa ekspresi. Setelah Jokowi, terakhir pembawa acara mengucapkan selamat datang kepada Ketua Umum PGRI Sulistiyo. Tapi suasana kembali hening, tak ada tepuk tangan.

Dari sekian banyak pejabat yang hadir, mulai dari Presiden sampai Ketua Umum PGRI, hanya saat nama Jokowi disebut para guru bertepuk tangan. Tak ada yang memberi komando, semuanya terjadi secara spontan. Peristiwa petang ini membuat saya deja vu. Saya seperti pernah mengalami hal serupa sebelumnya. Sama persis. Tapi cerita tentang tepuk tangan hari ini ternyata belum berhenti dan terus berlanjut.

Acara pertama adalah sambutan dari Ketua Umum PGRI. Galibnya sambutan dalam acara formal, sebelum bicara panjang lebar, Sulistiyo pun mengucapkan terima kasih kepada para pejabat yang hadir dengan urutan yang sama dengan yang dibacakan pembawa acara tadi. Dan peristiwa itu terulang kembali. "Terima kasih juga kepada Gubernur DKI Jakarta...." Tepuk tangan langsung membahana menutupi saat nama Joko Widodo disebutkan. 

Kejutan itu juga belum selesai karena kembali terulang saat giliran Menteri Nuh memberikan sambutan dan mengucapkan selamat datang kepada para pejabat yang hadir. Bedanya, tepuk tangan yang ketiga kali ini diakhiri dengan tawa tertahan para guru yang agaknya menyadari bahwa mereka sudah bersikap diskriminatif terhadap pejabat lainnya yang hadir di ruangan itu. Sedangkan bagi saya, momen itu melengkapi perasaan deja vu tadi.

Setelah saya pikir-pikir, sebenarnya itu bukan deja vu, karena saya memang pernah mengalami kejadian yang sama sebelumnya. Peristiwa itu terjadi juga di Istora Senayan pada 3 Juli 2013 saat pembukaan Kongres XXI PGRI dan Kongres Guru Indonesia. Jumlah guru-guru yang hadir dari seluruh Indonesia juga sama, sekitar 9.000 orang. Demikian pula dengan tamu undangan, tak jauh berbeda. Tambahannya, ada Ketua DPD Irman Gusman dan Menteri Pendayaguaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Azwar Abubakar.

Saya masih ingat, ketika itu Ketua Umum PGRI Sulistiyo memberikan sambutannya dan tepuk tangan dari para guru begitu keras terdengar saat nama Jokowi disebutkan sebagai salah satu undangan yang hadir. Tak ada yang aneh sebenarnya ketika itu, yang menjadi pertanyaan lagi-lagi kenapa hanya ketika nama Jokowi disebutkan ada tepuk tangan, sedangkan ketika nama pejabat lainnya disebut, para guru bungkam.

Ini memang bisa dibilang aneh. Kalaupun dicari alasan, sulit menemukannya. Jokowi bukan seorang guru atau dosen. Bukan pula mantan Mendikbud. Dari yang saya tahu, semasa sekolah atau kuliah dulu, Jokowi tak pernah menyebutkan bercita-cita jadi guru. Dalam perjalanan hidupnya, Jokowi juga tak pernah menulis buku atau novel yang bercerita tentang kehidupan guru. Saya mungkin masih bisa maklum jika yang mendapat tepuk tangan itu adalah Andrea Hirata si penulis Laskar Pelangi, tapi ini Jokowi.  

Fenomena Jokowiholic ini tak hanya terjadi di Istora Senayan atau di pasar-pasar, gang sempit, serta di jalanan. Di tempat seperti Istana Negara pun, Jokowi tak tertandingi. Bukan hanya soal tepuk tangan, tapi bagaimana euforia banyak orang ketika bertemu, melihat, dan menyentuh Jokowi. Ada beberapa momen saat Jokowi menghadiri acara di Istana Negara, namun hanya satu yang saya ingat bagaimana kewalahannya Jokowi melayani para 'fans' dari berbagai daerah.

Hari itu, Senin 10 Juni 2013. Di Istana Negara dilangsungkan pencanangan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Seperti biasa, banyak menteri Kabinet Indonesia Bersatu II yang hadir. Yang istimewa, puluhan pemenang penghargaan Adipura, Kalpataru dan Adiwiyata Mandiri yang berasal dari seluruh Indonesia juga diundang. Termasuk Jokowi yang hadir untuk menerima penghargaan pada kategori Penyusunan Buku Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD) terbaik yang diraih Provinsi DKI Jakarta.

Seperti acara seremonial pada umumnya, ada sambutan dari Menteri Lingkungan Hidup Balthazar Kambuaya yang disambung dengan sambutan Presiden SBY. Yang menarik tentu saja saat Presiden menyerahkan piala Adipura kepada wali kota dan bupati yang daerahnya mendapat predikat terbersih. Begitu juga penyerahan piala Kalpataru bagi pribadi atau kelompok penggiat lingkungan hidup. Satu per satu mereka menerima piala diselingi dengan tepuk tangan yang hadir.

Lagi-lagi Jokowi membuat perbedaan. Ketika DKI Jakarta disebut sebagai peraih penghargaan pada kategori Penyusunan Buku Status Lingkungan Hidup Daerah terbaik dan Jokowi maju menerima penghargaan dari Presiden, tepuk tangan terdengar lebih meriah dari yang lainnya. 

Itu juga belum seberapa, karena setelah acara usai dan Presiden meninggalkan ruangan, sikap malu-malu para penerima penghargaan berubah menjadi agresif. Semuanya berusaha menyalami Jokowi dan mengajak berfoto. Dengan tetap menampilkan senyum khasnya, mantan Wali Kota Surakarta itu memenuhi permintaan penggemarnya. Ketika jajaran menteri dan pejabat lainnya sudah meninggalkan Istana Negara, Jokowi masih saja tersandera oleh ajakan berfoto. Meski kemudian terbebas dari kerumunan yang tak ada habisnya itu, 'penderitaan' Jokowi belum berakhir.

Saat menuju tempat parkir kendaraan di belakang Istana Negara, massa yang lebih besar sudah siap menghadang. Mereka adalah anggota rombongan penerima penghargaan dari berbagai daerah yang tak bisa masuk ke Istana Negara. Meski terlihat lelah, Jokowi kembali melayani permintaan berfoto. Tak hanya difoto, suami dari Iriana ini juga ditarik ke sana ke mari, dicubit dan dirangkul. Sementara Jokowi mengambil sikap pasrah sembari tetap menebar senyum.

Jokowi akhirnya bisa menaiki mobilnya dengan susah payah. Bahkan, ketika mobil Toyota Kijang Innova bernomor polisi B 1124 BH yang membawa Jokowi meninggalkan pelataran parkir Istana Negara, jepretan kamera dari para penggemar itu tak juga berhenti.

Dari semua itu, saya mencoba membuat kesimpulan sendiri kenapa ribuan guru terhanyut dengan pesona Jokowi dan penduduk di luar Jakarta bisa merasa begitu dekat dengan pengusaha mebel ini. Bagi saya sederhana, Jokowi muncul menawarkan sesuatu yang baru, khususnya dari cara memimpin. 

Jokowi hadir dengan gestur masyarakat biasa dan berusaha tak membuat jarak dengan warganya. Protokoler diterabas, berbahasa layaknya sedang di warung, berpenampilan sederhana, cepat memutuskan kebijakan, tegas ke atas dan lembut ke bawah. Hal yang biasa sebenarnya, tapi hanya Jokowi yang melakukan itu karena dia tahu sosok pemimpin yang bisa membuat dahaga warga Ibu Kota terpenuhi. 

Di atas semuanya, media massa punya peran paling besar dalam memunculkan tepuk tangan itu. Media massalah yang mengabarkan aktivitas Jokowi sejak bangun tidur hingga ke peraduan, sehingga guru di pelosok dan peraih Kalpataru dari penjuru negeri merasa mengenal Jokowi luar dalam.***


Jokowi bersama Menko Kesra Agung Laksono usai pencanangan Hari Lingkungan Hidup Sedunia

Jokowi bersama para pemenang Adipura dan Kalpataru dari berbagai daerah di Indonesia

Hari itu, Istana Negara menjadi panggung khusus buat Jokowi




Tidak ada komentar: