Rabu, 29 September 2010

Perang

Rinaldo

Ketika itu sedang berlangsung Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York, Amerika Serikat. Presiden Soekarno termasuk kepala negara yang hadir dalam sidang dengan agenda mendengarkan pandangan umum tiap negara anggota PBB itu. Silang pendapat terus terjadi di antara wakil negara yang hadir dan tak kunjung menunjukkan titik temu. Sebelum tiba giliran wakil Indonesia untuk menyampaikan pandangannya, Bung Karno dengan enteng berjalan ke kursi utusan negara India.

Ini jelas bukan pemandangan yang biasa terjadi dalam ruang sidang di markas PBB sehingga langsung menjadi pusat perhatian. Ditatap oleh puluhan wakil dari negara lain, Bung Karno berbisik pada Jawaharlal Nehru. Entah apa yang dibisikkan, hanya mereka berdua yang tahu. Yang jelas, Nehru kemudian mengangguk-angguk sembari tersenyum kepada koleganya itu.

Dalam jeda tidak terlalu lama, dari kursinya Bung Karno kemudian berjalan ke arah Gamal Abdul Nasser, wakil dari Mesir. Lagi-lagi “ulah” Proklamator RI ini menjadi pusat perhatian. Sama seperti sebelumnya, kembali Bung Karno berbisik yang disambut anggukan senang Nasser.

Tak pelak aksi lalu-lalang Bung Karno ini menimbulkan bisik-bisik di kalangan wakil-wakil negara Asia dan Afrika yang hadir. Seperti kita ketahui, ketika itu tiga orang ini, Nehru, Nasser, dan Soekarno adalah pemimpin bangsa Asia dan Afrika yang sangat berpengaruh. Ucapan, pandangan, dan gagasan mereka biasanya juga menjadi ide bagi bangsa-bangsa di Asia dan Afrika.

Dan ketika Bung Karno menyampaikan pandangannya dengan mengusulkan diselenggarakannya Konferensi Asia-Afrika, hampir seluruh perwakilan dari Asia dan Afrika melakukan standing ovation memberikan aplaus tanda setuju atas gagasan Bung Karno. Pasalnya, mereka menganggap usulan tersebut telah diamini oleh Nehru dan Nasser. Buktinya, ketika Bung Karno berbisik, kedua tokoh besar itu mengangguk tanda setuju.

Di kamar hotel tempat delegasi Indonesia menginap, Muhammad Guntur Soekarno Putra, putra sulung Presiden RI pertama ini dengan rasa penasaran bertanya tentang apa gerangan yang dibisikkan ayahnya kepada kedua tokoh besar itu. Guntur memang paling sering diajak Bung Karno jika melawat ke luar negeri, termasuk saat berpidato di Markas Besar PBB. Rupanya Bung Karno mengatakan hal yang sama kepada Nehru dan Nasser.

Seperti dituliskan oleh Guntur dalam bukunya yang kini terbilang langka, Bung Karno Bapakku-Kawanku-Guruku, dia berbisik seperti ini: Yang Mulia, sepertinya sidang hari ini sangat melelahkan, bagaimana kalau nanti kita bertemu untuk makan malam bersama? Tentu saja kedua tokoh yang dibisiki tidak berani menolak dan akhirnya mengangguk, yang oleh wakil dari negara lain ditafsirkan sebagai sikap setuju atas gagasan Bung Karno.

Jujur, saya betul-betul terkesima dengan kecerdasan Bung Karno dalam berpolitik. Selain memang dikenal pintar berpidato, beliau ternyata juga lihai dalam berdiplomasi. Tak heran kalau di masanya Bung Karno begitu disegani oleh pemimpin-pemimpin negara besar di dunia. Dia tahu kapan harus “keras” dan kapan harus “lembut”. Mungkin situasinya jauh berbeda dengan sekarang, ketika negara tetangga tak malu-malu lagi menantang harga diri kita.

Saya sangat bisa mengerti dengan kemarahan yang muncul di tengah masyarakat dengan kasus terakhir, ditangkapnya tiga orang pegawai Dinas Kelautan dan Perikanan oleh pemerintah Malaysia. Saya juga bisa memaklumi munculnya keinginan untuk berperang dengan negara tetangga itu ketika pejabat negara tersebut mengeluarkan pernyataan yang kurang santun. Sudah tak terhitung masalah muncul di antara kedua negara, yang sebagian besar menempatkan Indonesia dalam posisi sebagai inferior. Ini jelas sangat mengganggu sentimen kebanggaan berbangsa dan bernegara.

Kendati demikian, saya tidak pernah percaya akan terjadinya perang antara Indonesia dan Malaysia. Terlalu banyak ikatan yang saling membutuhkan, baik dari segi ekonomi, sejarah, dan budaya. Selain itu, perang tak pernah menjadi solusi yang populer karena kerugian yang ditimbulkan, tidak peduli bagi mereka yang menang, apalagi bagi pihak yang kalah. Lantas, kenapa gairah untuk berperang itu begitu meledak-ledak, sementara di negeri seberang konflik yang ada ditanggapi dingin?

Saya merasa ini lebih kepada suasana batin masyarakat Indonesia. Sebagai sebuah negara yang disebut-sebut kaya akan hasil bumi, wilayahnya luas tak terkira, dan penduduknya yang besar tak terhitung, ternyata kita belum apa-apa. Dengan semua kekayaan itu, sebagian masyarakat kita sulit untuk beranjak dari kemiskinan ketika sebagian lainnya sibuk menumpuk kekayaan. Begitu juga ketika pencuri mangga dihukum lebih lama ketimbang koruptor. Semuanya menimbulkan frustrasi.

Ketika suasana batin masyarakat sedang tak bagus, tiba-tiba Malaysia melakukan manuver politik yang tak perlu. Mereka yang tadinya jengkel dengan kondisi ekonomi, hukum, dan politik, menemukan musuh bersama untuk penyaluran akan kejengkelan itu. Marah-marah atau berunjuk rasa menuding pemerintah sendiri bisa jadi Anda akan berhadapan dengan pentungan polisi, tapi kalau memaki-maki pemerintah negara lain, siapa yang peduli? Maka jadilah sumpah serapah, membakar bendera, bahkan genderang perang ditabuh terhadap negara serumpun kita itu.

Dari literatur-literatur yang saya baca, tak sekalipun Indonesia dikenal sebagai negara yang haus perang. Alih-alih menjadi “jagoan”, Indonesia adalah negara bekas jajahan yang berhasil bangkit dari kekejaman bangsa lain. Jadi, sejatinya bangsa kita paham betul betapa perang tak akan pernah membawa kemaslahatan, sebagaimana negara-negara yang kalah dalam Perang Dunia II juga tak pernah lagi memunculkan opsi perang dalam penyelesaian konflik politik luar negerinya.

Saya tidak mengatakan bahwa Indonesia adalah negara yang lemah, karena sejarah telah membuktikan kita tak pernah surut di gelanggang pertempuran saat mengusir pendudukan bangsa lain. Tapi, mestinya kita tak boleh gelap mata, emosional, dan gegabah dalam mengambil sikap untuk berperang atau tidak. Bagaimanapun, dunia sudah berubah, perang sudah tak lagi menjadi bukti kehandalan suatu bangsa. Tolok ukur kehebatan dan kebesaran sebuah bangsa kini tak lagi dinilai oleh semangat perang, kekuatan fisik, atau mutakhirnya mesin tempur.

Lihat saja negara-negara maju di Eropa dan di Asia, tak lagi memiliki sinyal untuk berperang. Sebaliknya, peperangan justru menjadi trend di negara-negara miskin di Afrika, Asia dan Amerika. Jadi, kalau perang saat ini menjadi prioritas kita, itu sama saja dengan langkah mundur. Sama dengan langkah mundur yang dilakukan Amerika Serikat saat menyerang Irak dengan segala keunggulannya. Kini, ketika Barack Obama memutuskan untuk keluar secara permanen dari Negeri 1001 Malam itu, tak ada yang berani mengatakan bahwa mereka telah memenangkan perang. Ribuan tentara yang tewas dan kemerosotan ekonomi menjadi ganjaran atas semangat perang Sang Adidaya.

Di lain sisi, membiarkan negara tetangga merendahkan kehormatan kita jelas tak bisa diterima. Pemerintah harus punya sikap dan bahasa yang jelas menyikapi masalah ini. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya di Mabes TNI di Cilangkap mengatakan bahwa pemerintah menginginkan penyelesaian yang cepat, tegas dan tepat. Tapi, kita tidak berharap itu hanya ada tertulis di teks pidato, melainkan berada pada tataran tindakan. Bukti inilah yang belum dilihat oleh masyarakat.

Cukup sudah pemerintah terlihat lemah selama ini. Tak berdaya pada koruptor, takluk dengan pengemplang pajak, dan menutup mata terhadap pembalak hutan. Saatnya pemerintah memperlihatkan bahwa mereka berdaulat dan memegang amanat Konstitusi untuk menjaga kedaulatan serta kehormatan bangsa ini. Kita tentu tak mau harga diri bangsa menjadi tergadai hanya karena rakyat kita banyak mencari makan di negara lain lantaran ketidakberdayaan pemerintah menyediakan lapangan kerja di negeri sendiri.

Pada konteks inilah ketegasan itu diperlukan. Kita tak harus mengajak negara lain untuk berperang sebagai bentuk ketegasan itu. Kita hanya perlu menjelaskan tanpa harus berputar-putar tentang apa yang kita mau secara terukur dan masuk akal. Setelah itu biarlah diplomasi berjalan sembari melihat sejauh mana kedekatan dua bangsa serumpun yang diagung-agungkan itu bisa menyelesaikan masalahnya tanpa harus menarik picu bedil.

Kembali kepada Bung Karno, sebagai seorang pemimpin besar bukannya dia tak pernah gagal. Ketika menentang penggabungan Kalimantan Utara (Sabah, Serawak dan Brunei) dengan Kerajaan Malaysia, Soekarno langsung mengobarkan semangat “Ganyang Malaysia” dan menyatakan perang. Namun, perang itu sendiri tak begitu serius dan pertempuran skala kecil itu akhirnya terhenti setelah banyak pasukan Indonesia yang tertangkap atau tewas dalam penyusupan ke Kalimantan utara. Yang jelas, ini membuktikan bahwa perang tetap dimungkinan, meski itu adalah pilihan yang berat.

Seorang teman mengatakan kepada saya, bagaimana mungkin kita mampu berperang dengan bangsa lain kalau menghadapi kelompok kecil seperti Gerakan Aceh Merdeka atau pemberontak Timor Timur saja kita sudah kewalahan. Saya yakin, teman ini tak bermaksud untuk mengecilkan kemampuan kita, tapi lebih kepada harapan untuk mengedepankan otak sebelum otot, mendahulukan logika ketimbang perasaan.

Contohnya, saat baru tiba di AS dalam sebuah lawatan kenegaraan, Presiden Kennedy memperkenalkan tim pengawal khusus yang akan mendampingi Presiden Soekarno selama berada di negara itu. Ketika berada di kamar hotel, Bung Karno memanggil komandan pengawalnya. Sang pengawal ditanya tentang senjata yang mereka gunakan. Tak pelak Bung Karno pun terkagum-kagum melihat senjata sang pengawal. “Kalah jauh pengawal presiden di Indonesia soal kecanggihan senjatanya,” ujar Bung Karno. Perbincangan terus berlanjut.

Saat Bung Karno menanyakan apakah sang komandan pengawal itu pernah membunuh orang selama berdinas, yang bersangkutan mengatakan belum pernah. Jawaban itu kontan membuat Proklamator RI ini terkekeh. “Kalau untuk yang ini pengawal Presiden Indonesia lebih hebat, rata-rata mereka sudah pernah membunuh belasan tentara Belanda,” ucap Bung Karno. Kita memang harus tahu kapan saatnya merendah dan kapan membusungkan dada.***

(Tulisan ini pernah dimuat di Blog Liputan 6 Edisi 3 September 2010)

Jumat, 24 September 2010

JFC-DSLR-SCTV Wannabee

Di luar acara Jember Fashion Carnaval 2010, ada beberapa catatan menarik. Di antaranya adalah hadirnya sekitar seratusan fotografer yang menenteng peralatan canggih mereka. Para fotografer ini terbagi dua, antara jurnalis dan fotografer profesional. Tapi, di lapangan mereka agak sulit dibedakan lantaran gaya yang sama. Yang jelas, mereka cukup menyita perhatian di ajang ini. selain karena jumlah yang banyak, mereka juga menempati posisi yang strategis saat acara dibuka di Alun-alun Kota Jember, Jawa Timur.

Hal menarik lainnya adalah soal fans. Jika yang terbayang selama ini oleh saya cuma para selebriti (bintang sinetron atau grup band) yang bakal diincar fansnya, ternyata tidak. Reporter SCTV Riko Anggara ternyata cukup kewalahan melayani permintaan foto bareng dari gadis-gadis Jember yang ayu-ayu tenan itu. Kami bangga, masih ada anak muda negeri ini yang peduli dengan kualitas dibandingkan popularitas.

Kami bahkan sempat berharap lebih ketika balik ke hotel malam usai JFC 2010, pintu masuk hotel sudah dipenuhi para anak baru gede yang bergerombol. Riko pun pucat. Seperti kami juga duga, jangan-jangan ini bagian lain dari fans Riko yang berusaha menyasar ke hotel tempat kami menginap untuk mencari sang presenter. Ternyata oh ternyata, mereka adalah fans dari sebuah grup band dari Jakarta yang kebetulan baru saja check in di hotel tempat kami menginap selama sepekan terakhir. Dan, tawa kami pun meledak...



Kelompok paling menyolok dalam ajang Jember Fashion Carnaval 2010 adalah kehadiran puluhan fotografer.


Mereka mengambil posisi tepat di ujung parade JFC di Alun-alun Kota Jember.


Fotografer ini umumnya berasal dari jurnalis media asing dan lokal serta fotografer profesional....


Setiap kali peserta karnaval lewat, kamera mereka pun beraksi...


Mereka akan berteriak riuh jika ada yang merusak pemandangan atau tiba-tiba melintas di depan barisan juru potret ini....


Tak cukup satu panggung untuk menampung seluruh fotografer yang hadir di JFC 2010.


Beragam gaya setiap fotografer menjadi tontonan tersendiri di luar peserta karnaval....


Berbeda latar belakang dan institusi, tapi mereka tetap kompak dalam persaingan menghasilkan jepretan terbaik....


Beragam jenis kamera, lensa, dan tripod bisa dilihat di sini...


Dari peralatan yang dibawa bisa diduga kalau hasilnya tak akan mengecewakan


Untuk menghasilkan foto yang baik harus mendapat posisi yang baik pula....


Nah, ini dia fotografer paling asyik dilihat, membuat panas Kota Jember jadi sejuk jika menatapnya....


Sampai peserta karnaval terakhir beraksi, barisan fotografer tak beranjak dari posisinya....


Ini dia pria yang tak pernah mau melepas kacamata, tidur pun harus dikenakan, katanya biar gaya pas bermimpi.....


Berusaha beristirahat di sela-sela liputan.....


Syukur mobil SNG yang besar bisa menjadi tempat berteduh dari terik matahari......


Salah seorang SCTV wannabee from Jember.....


Boleh juga untuk dipajang dengan pigura besar di ruang tamu.....


Rokok pun diantar sampai ke pintu mobil SNG...


Pura-pura cuek menunggu ditawari rokok.....


Rokok boleh gratis, soal gaya gak jauh beda dengan yang baru beli pabrik rokok......


Dimana ada perempuan pasti ada Yanto Rayban....


Yang di tengah lebih mirip tukang pijet daripada karyawan televisi swasta......


Kelompok para gadis yang menyejukkan mata


Mereka betah berlama-lama berada dekat kru News SCTV yang sudah bermandi keringat.....


Gayanya seperti sedang kasting untuk pemain sinetron....


Tapi tetap ada gaya malu-malunya....


Bahaya, dari belakang Yanto mulai mendekat.....


Pria berkacamata ini mulai mengeluarkan jurus-jurus lama untuk menarik perhatian....


Tapi agaknya jurus itu tak mempan, sekadar menoleh pun mereka tak sudi.....


Foto ini pun ikut rusak karena keberadaan Yanto di latar belakang.....


Bahkan, difoto dari belakang pun tetap saja ada bayang-bayang pria berkacamata hitam....


Usai karnaval Riko kedatangan para fans asal Jember....


Ternyata Bang Riko lebih ganteng dari Mas Ariel, ujar gadis ini membatin....


Dari senyumnya pasangan ini tampaknya serasi....


Para fans datang silih berganti.....


Riko memang gak ada matinya.....


Panitia JFC pun tak ketinggalan mejeng di sampang mobil SNG....


Kamis, 16 September 2010

Jember Fashion Carnaval 2010

Minggu siang adalah acara puncak Jember Fashion Carnaval. Sulit dibayangkan memang, di kota seperti Jember ada ajang berkelas seperti ini. Diawali dengan penampilan marching band serta Tim Dream Sky, ajang Jember Fashion Carnaval (JFC) berhasil mendapat aplaus meriah dari penonton yang memadati pelataran Kantor Bupati Jember, Jawa Timur. Dengan kostum yang didominasi warna biru dan putih, peserta parade ini tak ubahnya burung-burung yang sedang beterbangan di langit biru.

Selanjutnya tampil parade Tim Toraja yang tak kalah memukau. Diperkuat empat orang mahasiswa dari Universitas Negeri Makassar, Sulawesi Selatan, tim ini cukup membuat takjub. Beberapa peserta bahkan mengenakan topi berupa replika rumah adat Tanah Toraja.

Lain halnya dengan Tim Butterfly, para pesertanya mengenakan kostum yang cukup lebar guna menggambarkan sayap kupu-kupu. Maka jadilah mereka menjadi santapan empuk puluhan fotografer jurnalis dan fotografer profesional yang memenuhi panggung khusus untuk pers.

Berturut-turut kemudian tampil tim parade Thailand, Cactus, Kabuki, dan Mongol. Peserta terlihat bereksplorasi dengan budaya asing. Seperti Kabuki, mereka tampil layaknya boneka Jepang serta Mongol yang tampil sangar dengan pedang panjang layaknya pasukan Genghis Khan.

Dua tim terakhir adalah Apocalypse dan Voyage. Keduanya tampil kontras, Apocalypse dengan paduan beragam warna nan sangar serta gelap, sedangkan Voyage tampil indah dengan kostum yang diadaptasi dari biota laut. Dua tim ini berhasil mengakhiri penampilan mereka dengan manis di depan para tamu dan undangan yang hadir.

Keseluruhan dari 600 peserta parade berhasil menampilkan kreasi yang indah. Baik itu dari segi kostum, tata rias, koreografi, tata warna, dan teatrikal, semuanya layak mendapatkan pujian. Jember layak berbangga dengan ajang tahunan yang telah memacu kreativitas generasi mudanya untuk berkarya.



Siang yang terik, Minggu (8/8/10) lalu, di Alun-alun Kota Jember....


Persiapan JFC-9 sudah mencapai tahap akhir....


Mumpung masih sepi ya foto-foto dulu....


Eh, ada yang pingin difoto juga, buat oleh-oleh katanya....


Gaya sih emang lebay, tapi doi yang punya SNG SCTV lho.....


Warga Jember asli pun ternyata tak kuat menahan panas. "Sepertinya Jember sudah terkena imbas pemanasan global," ucap Radit sok tahu....


Kru liputan pun mulai bersiap untuk tayangan langsung


Sebelum turun ke gelanggang, pimpinan tim memberi arahan seluruh personel. "Kalau tayangan langsung kita nanti gagal, kalian pulang naik getek ke Jakarta," tegas Tanto kepada krunya mengancam.....


Para undangan mulai berdatangan dan berhak duduk di bagian dalam Alun-alun yang sudah disiapkan...


Mereka yang tidak kebagian undangan hanya bisa melihat dari balik pagar pembatas...


Meski karnaval belum dimulai, penampilan sejumlah tamu dan undangan cukup menyegarkan mata.....


Kursi tamu dan undangn sudah penuh, tanda-tanda puncak acara segera dimulai.....


Diawali oleh tim Dream Sky, JFC berhasil dibuka dengan semarak.....


Kostumnya indah, pesertanya juga cantik.....


Hingga Dream Sky keluar dari alun-alun, suasana masih rapi dan terkendali......


Saking membludaknya penonton, kubah masijd pun dijadikan lokasi menyaksikan JFC....


Duh, apalagi sih Ja...., kerja dong, begaya melulu......


Ini atraksi tim Toraja, pesertanya juga ada yang datang dari Makassar, Sulsel....


Tahun lalu Minangkabau, sekarang Toraja, JFC-10 tahun depan daerah mana lagi ya......


Panas terik tak menyurutkan animo penonton.....


Barisan tim Toraja memanjang dari tribun depan hingga ke belakang.....


Sebagian kostum harus diperbaiki karena lepas saat show di depan tamu dan fotografer.....


Akhirnya, pertujunkan tim Toraja pun berakhir......


Selanjutnya tim Butterfly masuk ke Alun-alun.....


Yang paling kentara tentu saja kostum mereka yang begitu lebar ibarat sayap kupu-kupu.....


Selanjutnya tim Thailand yang unjuk gigi....


Kerumunan penonton mulai merapat dan membuat sempit jalan keluar para peserta.....


Kostum yang lebar-lebar, sementara jalan sempit, membuat akses keluar terhalang......


Penampilan dilanjutkan tim Cactus yang serba hijau......


Lagi-lagi peserta karnaval tak mulus menuju jalan keluar yang makin dipadati penonton......


Yang ini tim Kabuki, bergaya bak boneka Jepang semuanya....


Serasa gak di Jember kalau melihat mereka......


Jadi inget tentang film-film Jepang klasik.....


Hebat memang kreasi para peserta dalam merancang kostumnya.......


Meski terkesan mewah, banyak di antara bahan kostum ini menggunakan barang bekas dan bahan daur ulang.....


Tim selanjutnya Mongol, yang tampil lumayan sangar.....


Lagi-lagi tim ini menampilkan kostum berukuran besar yang mengundang decak kagum....


Hmmmm, pasukan Jengis Khan tampil menawan sekaligus mematikan......


Kesulitan kembali muncul ketika peserta akan beraksi di jalanan Kota Jember lantaran pintu keluar Alun-alun dipenuhi penonton.....


Hmmmmm, kostum ribet dan menimbulkan decak kagum....


Lagi-lagi gaya peserta menjadi santapan fotografer


Tak kalah garang, tim Apocalypse menghentak di depan penonton.....


Ini dia kostum paling ribet, berat, dan lebar dalam JFC 2010.......


Tim Voyage tampil warna-warni......


Parade ini menggambarkan flora dan fauna di lautan.....


Ada gerombolan bajak laut juga di tim ini......


Akhirnya parade di Alun-alun usai dan kemeriahan beralih ke jalan-jalan di sepanjang Kota Jember.....