Sabtu, 27 September 2008

Lebaran Itu Kesepian...

Jakarta boleh saja berbangga karena menjadi pusat perhatian masyarakat seantero Tanah Air. Banyak mereka yang tinggal di luar Ibu Kota berharap, bahkan bermimpi, untuk datang dan menetap di kota nan sesak ini. Tapi, semua itu sebenarnya semu. Mereka tetap lebih mencintai tanah kelahiran dibandingkan Jakarta.

Lihat saja tatkala Lebaran tiba, semua menghilang. Mobil-mobil yang biasanya memenuhi jalanan kini membawa tuannya mudik. Mereka yang biasanya lalu lalang di trotoar Ibu Kota, buru-buru pulang untuk bersilaturahmi. Maka jadilah Jakarta bak kota mati. Jakarta menjadi kota yang sepi, ditinggal orang-orang yang hanya memiliki cinta semu terhadap Jakarta.


Bagi yang tetap tinggal di Jakarta saat Lebaran, suasana yang ada bisa menjadi sangat menyiksa. Ketika teman, kerabat atau kekasih ikut mudik, tempat bersilaturahmi Lebaran pun menjadi berkurang. Lebih dari itu, mencari tempat makan, nongkrong, bahkan untuk membeli rokok, sulitnya minta ampun.

Kesepian juga dirasakan mereka yang tetap beraktivitas di hari Lebaran. Seperti kru Newsroom yang mendapat giliran masuk tepat saat takbir dikumandangkan pada 1 Oktober lalu. Kantor yang biasanya riuh berubah tenang. Hanya segelintir karyawan yang masuk untuk menjaga kesinambungan program SCTV.


Tapi jangan salah, ternyata ada juga yang memilih untuk ngantor ketimbang makan ketupat bersama keluarga atau bersilaturahmi ke tetangga. Salah seorang teman kami, sebut saja Ika, mengaku lega bisa masuk kantor di hari nan fitri ini. "Kalau tinggal di rumah, pasti bakal ditanyain sama saudara yang terus berdatangan soal kapan married dan siapa calonnya, capek jawabnya," jelas Ika. Sementara di kantor, Ika bisa bebas makan ketupat dan minum sirup tanpa ditanya macam-macam.


Jadi, berbanggalah mereka yang bisa berlebaran dengan orang-orang terdekat. Sedangkan bagi yang tetap ngantor di Newsroom, Lebaran memang berarti kesepian, namun tetap punya makna, bahwa Lebaran itu ada di hati, tak melulu dari riuhnya petasan atau ramainya ruang tamu oleh kerabat.

Selamat Lebaran, Minal Aidzin wal-Faidzin...


[untuk memperbesar gambar silahkah di-klik]


Rabu pagi, hari pertama Lebaran di Jalan Sudirman, Jakarta.


Arus kendaraan dari Blok M menuju Semanggi sepi, persis seperti car free day.


Di halte Transjakarta pun tak terlihat tanda-tanda kehidupan, padahal sudah menjelang siang.


Di jalan depan Ratu Plaza ini biasanya mobil antre untuk lewat, hari ini tumben mobil-mobil itu puasa menyumbang polusi.


Jadi inget film Resident Evil, Vanila Sky, dan I Am Legend, kota tiba-tiba kosong tanpa penghuni.


Sepanjang Jalan Asia Afrika yang setiap hari padat, tumben jadi lengang.


Pada kemana pedagang asongan, gerobak bakso, dan pejalan kaki?


Adakah yang percaya ini salah satu titik keramaian lalu lintas di Jakarta?


Di saat orang lain sibuk bersilaturahmi, ternyata masih ada yang menunggu pintu utama Senayan City dibuka.


Jalanan di hari pertama Lebaran dilihat dari Newsroom.


Buat apa jalan raya dibikin bagus-bagus kalau tak ada yang melewati?


Tak hanya di jalanan, di ruangan Newsroom pun kelengangan itu sangat terasa.


Tak banyak suara tawa dan canda karena ruangan yang besar itu hanya diisi segelintir orang.


Saat makan siang pun tak banyak yang dibicarakan.


Ika, satu-satunya penghuni Newsroom yang merasa beruntung bisa berlebaran di kantor, bercerita di depan para cowok yang sedang menikmati makan siang.



My Review

Sabtu, 06 September 2008

Wakil Jaksa Agung

Rinaldo

Pejabat adalah orang penting. Kalau tidak, mana mungkin dia digaji besar dan diberi kewenangan luas, itu semata-mata karena dia dibutuhkan di posisi yang dia duduki. Misalnya saja, seorang presiden. Siapa yang berani mengatakan posisi sebagai presiden tidak penting?

Jangan melihat ramainya bursa pencalonan presiden atau riuhnya isu tentang money politic yang mengiringi pemilihan presiden kita. Cobalah untuk melihat fungsi yang diemban. Bukan pekerjaan gampang untuk mengelola sebuah negara, apalagi yang penduduknya bejibun serta heterogen seperti Indonesia.

Artinya, posisi sebagai presiden atau jabatan apa pun yang levelnya pimpinan sangat penting dan prestisius. Untuk itu, mereka yang ditempatkan pada posisi pimpinan haruslah orang-orang pilihan, dilihat dari sudut pandang mana pun. Mungkin hanya di Indonesia, orang yang dilihat dari banyak sudut punya kekurangan, masih bisa jadi pejabat.

Di luar itu, posisi wakil pimpinan jarang disorot. Misalnya saja posisi wakil presiden yang semestinya hanya berjarak satu tingkat dengan presiden, tapi dalam kenyataannya kalah jauh dari presiden. Padahal posisi sebagai wakil (tak hanya wakil presiden) sungguh vital.

Di mana pun, posisi sebagai wakil diadakan adalah untuk tugas-tugas khusus. Termasuk menggantikan pimpinan jika berhalangan, baik sementara atau tetap. Lihat saja ketika Presiden Amerika Serikat John F Kennedy tewas tertembak, dalam hitungan menit setelah itu, Wakil Presiden langsung dilantik di atas pesawat kepresidenan. Saking pentingnya seorang pimpinan, sedetik pun diusahakan tak terjadi kekosongan jabatan.

Namun tidak begitu dengan Kejaksaan Agung. Jabatan penting lowong berlama-lama bukanlah sebuah masalah. Hingga kini, posisi Wakil Jaksa Agung masih kosong, sejak ditinggalkan pejabat lamanya, Suparman, yang pensiun sejak 1 Juni tahun lalu. Artinya, sudah setahun lebih Jaksa Agung tak punya wakil, selain pejabat sementara yang juga sudah pensiun.

Anehnya, tak ada yang merasa resah, khawatir atau merasa kurang dengan kosongnya posisi itu. DPR yang seringkali bertemu dengan Jaksa Agung tak pernah bertanya, Presiden pun seperti tak bermasalah dengan itu. Lebih parah lagi sikap Kejaksaan Agung, yang keluar cuma alasan klise, bahwa semuanya sedang dalam proses pengajuan nama.

Entahlah, mungkin kejaksaan menganggap tidak ada di antara Jaksa Agung Muda, sebagaimana disyaratkan UU No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan, yang mampu menempati posisi itu, atau Jaksa Agung yang takut tersaingi. Ketika bulan lalu diumumkan mutasi besar-besaran di lingkungan kejaksaan, tetap saja tak disebut soal siapa yang akan mengisi jabatan Wakil Jaksa Agung.

Berdasarkan Pasal 6 Keppres No.55/1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, dikatakan bahwa tugas seorang Wakil Jaksa Agung adalah membantu Jaksa Agung dalam membina dan mengembangkan organisasi, administrasi sehari-hari, serta tugas-tugas teknis operasional lainnya.

Selain itu, Wakil Jaksa Agung juga berfungsi mengkoordinasikan pelaksanan tugas, wewenang dan fungsi para Jaksa Agung Muda, Pusat dan kejaksaan di daerah. Yang terpenting, mewakili Jaksa Agung jika yang bersangkutan berhalangan.

Lantas, buat apa posisi itu diciptakan kalau kenyataannya tak pernah ditempati dan tidak dianggap penting. Bukankah di tengah kepercayaan yang menipis kepada Jaksa Agung yang belakangan agak malu-malu tampil di depan umum, kejaksaan butuh ‘’orang kedua’’ yang bisa membangkitkan kepercayaan? Atau, posisi itu masih alot oleh tawar-menawar kepentingan politik? Semuanya masih samar-samar, persis seperti proses penegakan hukum yang masih berkabut.***

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 8 Oktober 2003)