Senin, 12 Januari 2009

Duel Nixon-Frost yang Menggetarkan

Rinaldo


Tak ada Presiden Amerika Serikat yang bisa mengalahkan pamor Richard Milhous Nixon, jika diukur dari kontroversi yang ditimbulkannya. Tidak oleh Kennedy yang tewas terbunuh, tidak oleh Reagan dengan Irangate-nya, atau oleh George Bush yang salah analisis saat menyerang Irak. Tidak heran kisah di balik kehidupannya paling banyak diangkat ke layar lebar dengan memasang aktor papan atas dan meraih sukses serta mendapat pujian dari para kritikus film.

Film pertama tentulah All the President Men (1976) yang dibintangi dua aktor papan atas Dustin Hoffman yang berperan sebagai Carl Bernstein dan Robert Redford sebagai Bob Woodward. Tak banyak wajah Nixon muncul di film ini, karena fokus cerita lebih kepada upaya dua wartawan The Washington Post, Bernstein dan Woodward, membongkar skandal terbesar dalam sejarah kepresidenan Amerika Serikat, Watergate. Dua wartawan ini yang membuat Nixon mencatat sejarah sebagai presiden AS satu-satunya yang mengundurkan diri di tengah masa jabatannya.

Film kedua adalah Nixon (1995), yang bercerita tentang masa muda Nixon hingga menduduki Gedung Putih dan meninggalkan singgasana dengan muka tertunduk. Peran Nixon diserahkan kepada Anthony Hopkins yang bermain cemerlang di film ini. Kalau All the President Men meraih empat Piala Oscar, Nixon hanya meraih empat nominasi. Namun, secara keseluruhan film ini mendapat pujian.

Film ketiga adalah The Assassination of Richard Nixon (2004), bercerita tentang rencana pembunuhan Nixon di tahun 1974 oleh Samuel Joseph Byck. Peran sebagai pembunuh diserahkan kepada Sean Penn. Sama dengan dua film sebelumnya, di beberapa situs film mancanegara ketiga film ini rata-rata diberi nilai 8 dari skala 1-10.

Agaknya, Nixon masih meninggalkan warisan yang mengguncang publik dunia. Buktinya, Desember 2008 kembali muncul sebuah film berjudul Frost/Nixon. Tak jelas, apakah ada unsur kebetulan atau memang waktu rilisnya disengaja. Yang jelas, pada 19 Desember 2008, mantan Wakil Direktur Federal Bureau of Investigation, W. Mark Felt, meninggal dunia.

Nama ini memang kurang dikenal pada awalnya. Namun, pada 30 Mei 2005, dunia kaget ketika dia mengaku sebagai Deep Throat, nama alias bagi si pembocor rahasia Watergate. Pengungkapan ini mengagetkan Woodward, karena dia kukuh memegang janji tidak akan mengungkapkan jati diri Felt sampai ia meninggal dunia. Tak hanya itu, Woodward juga merasa bersalah karena tak memperkenalkan Felt ke rekan kerjanya, Bernstein, hingga 36 tahun setelah mereka berhasil memecahkan skandal itu. Ketiganya kemudian bertemu sebulan setelah pengungkapan jati diri itu.

Terlepas dari hal itu, Frost/Nixon adalah film yang menarik, mengguncang, dan mencerahkan, dan layak ditonton siapa saja, khususnya para pemimpin agar tak salah langkah. Film ini (lagi-lagi) diangkat dari kisah nyata yang terjadi pada musim panas tahun 1977, tiga tahun setelah Nixon hengkang dari Gedung Putih. Adalah David Frost (diperankan Michael Sheen), jurnalis Inggris yang berusaha mendapat kesempatan untuk mewawancarai Nixon (diperankan Frank Langella) di depan televisi. Melalui perjuangan berat serta rayuan uang segudang, Nixon pun setuju diwawancarai.

Agar wawancara lebih tajam dan fokus, Frost menugaskan dua bawahannya, Bob Zelnick (diperankan Oliver Platt) dan James Reston (diperankan Sam Rockwell), untuk menggali informasi lebih dalam tentang skandal Watergate. Sayang, pada wawancara pertama hingga ketiga, Frost kalah telak. Ia tak berhasil menggali keterlibatan Nixon dalam skandal itu. Nixon pun pulang dari wawancara dengan kepala tegak dan melambaikan tangan sambil tersenyum kepada khalayak di luar gedung.

Menjelang wawancara kali keempat atau hari terakhir, Frost mendapat telepon dari Nixon yang sedang mabuk. Ia mengatakan, bila Frost tak mampu mengungkap keterlibatan dirinya dalam skandal Watergate, wartawan itu (Bernstein dan Woodward) harus membersihkan nama baiknya. Kontan saja Frost kembali bersemangat untuk mencari "amunisi" guna menaklukkan sang mantan presiden.

Benar saja, pada wawancara terakhir itu Nixon menjadi gelapan, emosional, dan berkeringat dingin dicecar pertanyaan tajam oleh Frost dari hasil investigasi yang dia lakukan. Bahkan, wawancara sempat dihentikan Jack Brennan (diperankan Kevin Bacon), ajudan khusus Nixon, karena bosnya terdesak. Namun, Nixon tak bisa lagi mengelak dan bendera putih pun dikibarkan. Dengan nada terbata, Nixon mengakui semua kesalahan dan penyesalannya.

Sungguh menggugah menyaksikan Nixon dengan nada putus asa berkata kepada Frost, "I let them down. I let down my friends. I let down the country. Worst of all, I let down our system of government and the dreams of all those young people that ough to get into government but now think it's too corrupt. I let the American people down, and I have to carry that burden with me for the rest of my life. My political life is over."

Usai wawancara suasana langsung berubah. Anggota tim Frost yang ada di ruangan bersorak tanda kemenangan. Sebaliknya, orang-orang Nixon hanya diam. Kali pertama Nixon keluar tempat wawancara dengan kepala tertunduk dan tanpa melambaikan tangan kepada khalayak yang menunggunya di luar lokasi wawancara.

Tak ada keraguan bahwa film ini adalah salah satu film terbaik tentang Nixon. Ron Howard yang sebelumnya sudah dikenal saat membesut The Da Vinci Code, Cinderella Man, A Beautiful Mind, Apollo 13, dan Far and Away, layak berbangga atas pencapaiannya kali ini. Tak sia-sia dia bersaing dengan Martin Scorsese, Mike Nichols, George Clooney, dan Sam Mendes memperebutkan skenario film ini. Tak sia-sia pula Ron ngotot menggunakan rumah Nixon asli dan kamar hotel tempat Frost dulu menginap untuk seting film ini.

Frost/Nixon sendiri diadaptasi dari drama teater ciptaan Peter Morgan, yang juga menjadi penulis naskah film ini. Reputasi Peter sebagai penulis naskah sudah tidak perlu diragukan lagi. The Other Boleyn Girl, The Last King of Scotland, dan The Queen adalah beberapa judul film yang naskahnya terlahir dari kedua tangannya.

Sayang, film ini agaknya tak akan menghiasi layar bioskop di Indonesia karena menjauh dari mainstream selera penonton kita. Padahal, film ini punya nilai penting untuk pembelajaran politik serta jurnalistik. Tak jauh berbeda dengan All the President Men yang mencuatkan kegigihan dua wartawan mengungkap kabut gelap sebuah konspirasi politik, Frost/Nixon juga sarat pelajaran bagi para jurnalis. Betapa ketersediaan data dan investigasi sangat diperlukan sebelum mengupas sebuah masalah.

Saya sudah empat kali menonton film ini, dan tetap saja terpukau dengan adegan wawancara Nixon dan Frost. Nixon ternyata masih saja menggetarkan, bahkan ketika dia tampil melalui sosok Frank Langella. Sayang, ajang Golden Globe yang berlangsung Minggu, 11 Januari kemarin, tak satu pun memunculkan film ini sebagai pemenang dari lima nominasi yang diraihnya. Slumdog Millionaire, film satire dari India telah merajai Golden Globe tahun ini. Mungkin Frost/Nixon lebih beruntung di ajang Oscar. Kita tunggu saja.



Frost/Nixon trailer




Cuplikan wawancara David Frost dan Richard Nixon tahun 1977 (1)




Cuplikan wawancara David Frost dan Richard Nixon tahun 1977 (2)




Lima menit sebelum Nixon membacakan pidato pengunduran diri, 8 Agustus 1974 di Gedung Putih




Petikan pidato pengunduran diri Nixon, 8 Agustus 1974 di Gedung Putih




All the President Men (1976) trailer




Nixon (1995) trailer




The Assassination of Richard Nixon (2004) trailer





2 komentar:

Arra Araide mengatakan...

belumm. kemaren baru nonton august rush. ha... keren banget itu si august.

iya emang menyedihkan. di 'puncak' pasti seru!

iya, mini cooper nya keren. jadi pengen...

Anonim mengatakan...

perlu di tonton jg nih pak.
Slumdog milionernya belum selesai nih:).

Makasih pak ...