Minggu, 17 November 2013

Sayup-sayup Suara Para Jenderal

Jumat 8 November 2013

Di Kompleks Istana, ada tiga tempat beraktivitas yang kerap dijadikan Presiden untuk melakukan kegiatan yang secara garis besar berbeda, yaitu Kantor Presiden, Istana Negara dan Istana Merdeka. Ketiga tempat ini hanya berjarak puluhan meter dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki, kendati di tangga Istana Negara selalu tersedia mobil golf yang siap mengantarkan Presiden kemana saja berkeliling Kompleks Istana.

Seperti namanya, Kantor Presiden digunakan untuk pertemuan Presiden dengan para menteri, pimpinan lembaga tinggi negara, pimpinan ormas, pengusaha, atau pejabat setingkat menteri dari negara sahabat. Kebanyakan pekerjaan Presiden memang dilakukan di tempat ini, baik itu di ruang kerja Presiden, ruang tamu, atau di ruang rapat paripurna dan ruang rapat terbatas yang berada di lantai dua.

Sedangkan Istana Merdeka, yang menghadap langsung ke Lapangan Monas, sebatas pengalaman saya hanya digunakan untuk menyambut tamu setingkat kepala negara atau kepala pemerintahan negara sahabat. Jangan lupa, di sini pula digelar acara tahunan upacara peringayan HUT Kemerdekaan RI. Boleh dikatakan, Istana Merdeka jarang digunakan untuk aktivitas formal Presiden. Publik kebanyakan lebih mengenal bangunan ini sebagai kediaman Presiden dan tempat presiden melalukan tugasnya sehari-hari, padahal tidak.

Anggapan publik itu lebih tepat disandang oleh Istana Negara. Bangunan yang menghadap ke Jalan Veteran atau berada di belakang Istana Merdeka ini termasuk sering digunakan Presiden. Selain menjadi kediaman resmi keluarga Presiden, Istana Negara juga menjadi lokasi berbagai acara. Mulai dari pelantikan pejabat negara, penyerahan penghargaan, peringatan even khusus, pencanangan program pemerintah, jamuan makan malam, hingga untuk open house Lebaran.

Dari ketiganya, Istana Negara termasuk yang kerap menjadi lokasi kegiatan Presiden. Yang pasti, setiap pelantikan pejabat tinggi negara atau menteri pasti dilakukan di sini. Seperti belakangan ini, Istana Negara menjadi tempat pelantikan pejabat TNI dan Polri secara berurutan. Seperti pada 22 Mei lalu, Letnan Jenderal TNI Moeldoko dilantik Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi KSAD menggantikan Jenderal TNI Pramono Edhie Wibowo di tempat ini.

Lalu, pada 30 Agustus, Presiden SBY melantik Moeldoko sebagai Panglima TNI menggantikan Laksamana TNI Agus Suhartono yang memasuki masa pensiun. Tak hanya Moeldoko, pada saat bersamaan Letnan Jenderal TNI Budiman juga dilantik sebagai KSAD yang baru menggantikan Moeldoko. Terakhir pada 25 Oktober lalu, Komisaris Jenderal Polisi Sutarman diangkat menjadi Kapolri menggantikan Jenderal Polisi Timur Pradopo.

Prosesi pelantikan pejabat di Istana Negara selalu sama dan berlangsung singkat, tak lebih dari 15 menit. Sesaat setelah Presiden SBY memasuki ruangan, Lagu Indonesia Raya akan diperdengarkan. Dilanjutkan dengan pembacaan Keputusan Presiden oleh Sekretaris Militer Presiden tentang pengangkatan si pejabat. Setelah pembacaan sumpah yang dipandu oleh Presiden, acara pelantikan ditutup dengan mendengarkan kembali Lagu Indonesia Raya.

Namun, ada yang berbeda dari pelantikan pejabat militer dan kepolisian. Selain dihadiri lebih banyak tamu undangan dari kalangan militer dan kepolisian, ada yang unik saya rasakan. Pada pelantikan pejabat sipil atau acara lainnya di Istana Negara, sesi Lagu Indonesia Raya hanya mendengarkan alunan musik yang dibawakan Korps Musik Paspampres dari teras depan Istana Negara. Saat lagu kebangsaan itu diperdengarkan, seluruh yang hadir tanpa terkecuali harus berdiri dan mengambil sikap sempurna.

Lain halnya ketika yang dilantik adalah pejabat militer atau kepolisian. Seperti saat Jenderal Moeldoko dan Jenderal Sutarman dilantik, lamat-lamat saya mendengar suara yang melantunkan lagu Indonesia Raya. Awalnya saya mengira itu dari paduan suara, tapi tak mungkin juga karena suaranya terlalu sayup dan pelan. Setelah lirik sana dan sini saya baru tahu kalau suara itu berasal dari deretan tamu undangan yang berseragam.

Ada sekitar 30 orang tamu undangan berseragam yang hadir jika pejabat yang dilantik dari kalangan militer dan kepolisian. Pastilah mereka para petinggi di TNI dan Polri. Di bahu mereka terpasang pangkat jenderal, yang rata-rata berbintang 1 dan 2. Merekalah paduan suara tak resmi di Istana Negara setiap kali ada acara pelantikan. Dengan mengambil sikap sempurna dan menghormat, para jenderal ini mengiringi korps musik dengan melafalkan lirik Indonesia Raya. Tidak terlalu keras, namun bisa didengar dengan jelas. Sementara tamu lainnya saya lihat hanya mengambil sikap sempurna tanpa mengeluarkan suara.

Saya yakin, tak ada keharusan atau kewajiban bagi mereka untuk melafalkan lagu itu. Semuanya semata-mata karena kebiasaan serta nilai-nilai kebangsaan yang sudah ditanamkan sejak para jenderal itu masih menempuh pendidikan di akademi militer atau kepolisian. Dengan itu pula mereka sudah membuat perbedaan. Dari banyak barisan pejabat yang memenuhi Istana Negara, mulai dari menteri, pejabat setingkat menteri, pimpinan lembaga negara, serta sosok penting lainnya, hanya dari barisan para jenderal ini lirik Indonesia Raya bisa didengar.

Karena itu ketika hari ini saya kembali hadir di Istana Negara menyaksikan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada KRT Radjiman Wedyodiningrat, Lambertus Nicodemus Palar, dan Letjen TNI (Purn) Tahi Bonar Simatupang, saya tidak lagi mendengarkan 'paduan suara' itu. Tak ada barisan para jenderal yang dengan sikap sempurna menyanyikan lagu karya WR Supratman itu. Jujur, saya merindukan suara mereka, karena kita kini sudah terlalu malas untuk menyanyikan lagu dengan lirik yang patriotik tersebut.***

 Mendengarkan Lagu Indonesia Raya saat pelantikan Komjen Pol Sutarman sebagai Kapolri

Kapolri baru di depan Presiden SBY usai pelantikan di Istana Negara