Jumat, 06 November 2009

Rindu Polisi Jujur

Rinaldo


Di awal 1956, seorang pria tinggi kurus bersama istrinya tiba di Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatra Utara. Perintah dari atasan membuatnya harus meninggalkan Tanah Jawa dan menjejakkan kaki di kota yang dia tak kenal sama sekali. Ada sedikit kegamangan ketika dia harus mengemban jabatan baru sebagai Kepala Direktorat Reserse Kriminal pada Kantor Polisi Sumut (sekarang Polda Sumut).

Betapa tidak, sebelum berangkat, atasan dan sejumlah koleganya sudah mewanti-wanti. Disebutkan, Kota Medan adalah daerah rawan dan keras. Penyelundupan dan perjudian seolah tak tersentuh. Banyak sudah perwira polisi yang bertekuk lutut karena berutang budi pada pengusaha kakap yang umumnya dikuasai oleh etnis Tionghoa.

Dan, pria kurus ini tak perlu menunggu lama untuk membuktikannya. Saat akan memasuki rumah dinas dengan membawa perlengkapan seadanya, perabotan mewah ternyata sudah memenuhi rumah itu. Mulai dari kulkas, tape recorder, piano dan kursi tamu. Anak buahnya yang diminta untuk menyingkirkan semua barang itu mengaku tak berani. Alhasil, perwira polisi ini mengeluarkan sendiri semua perabot tersebut dan meletakkannya di pinggir jalan.

Kabar ini langsung menggemparkan Kota Medan. Dari kondisi sosial ketika itu, adalah sesuatu yang aneh ketika seorang perwira polisi dari Jakarta berani menolak pemberian cukong Medan. Sejak itu pula, sebuah nama ramai dibicarakan dan terpatri di benak publik: Hoegeng Iman Santoso.

Hoegeng ternyata memang tidak mempan digertak dan disuap. Dalam menjalankan tugas, tak terbilang banyaknya dia membongkar kasus penyelundupan dan perjudian yang dilakukan pengusaha "Cina Medan". Tak jarang pula dia harus menangkap dan menahan perwira Polda Sumut yang ikut terlibat.

Di akhir 1959, Hoegeng ditarik ke Polda Metro Jaya dengan jabatan yang sama. Tak sempat merasakan berdinas di kantor baru, pria kelahiran Pekalongan 14 Oktober 1921 ini dipanggil Menko Hankam/KSAD Jenderal TNI Abdul Haris Nasution. Hoegeng ditawari jabatan sebagai Kepala Jawatan Imigrasi. Pamornya yang mencorong saat bertugas di Medan membuat Hoegeng diusulkan banyak pihak untuk menjabat di tempat baru ini.

Selama bertugas di Jawatan Imigrasi, Hoegeng tetap mengenakan seragam polisi, karena dia hanya mengambil gaji dari kepolisian, sedangkan gaji dan fasilitas dari Imigrasi tak disentuhnya. Dia juga menolak mobil baru pemberian Imigrasi serta upaya merenovasi rumahnya. Hoegeng beralasan, apa yang didapatkan dari kepolisian sudah cukup.

Pertengahan 1965, Hoegeng dilantik Presiden Soekarno menjadi Menteri Iuran Negara (kini Dirjen Pajak). Ada pengalaman menarik saat dia menjabat. Ketika itu seorang calon pegawai baru di lingkup Bea Cukai membawa selembar katabelece dari Wakil Perdana Menteri II Dr. Johannes Leimena. Tujuannya tak lain agar diberi kemudahan. Hoegeng lantas berkirim surat kepada Leimena menyatakan maaf karena tak bisa membantu. Esok harinya Leimena mengontak Hoegeng sambil meminta maaf.

Usai peristiwa G 30-S/PKI, Hoegeng diangkat menjadi Menteri/Sekretaris Kabinet. Namun, pada Juni 1966, Hoegeng diminta menjadi Deputi Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Deputi Kapolri). Meski itu berarti turun pangkat dari menteri menjadi Wakil Kapolri, Hoegeng menerima karena dia merasa kembali ke habitatnya, kepolisian. Pada 1 Mei 1968 pangkat Hoegeng dinaikkan menjadi komisaris jenderal polisi dan dua pekan kemudian dilantik sebagai Panglima Angkatan Kepolisian (Kapolri).

Selama menjadi Kapolri, Hoegeng berusaha selalu datang paling awal dibandingkan staf lainnya. Setiap pagi saat menuju kantor, dia selalu mencari rute yang berbeda dengan tujuan untuk melihat langsung kondisi daerah yang dilaluinya. Tak jarang Hoegeng turun dari mobil sekadar untuk melancarkan arus lalu lintas yang macet. Sesekali waktu dia juga berangkat ke kantor dengan bersepeda. Hoegeng pula yang kemudian mengeluarkan peraturan tentang kewajiban menggunakan helm.

Tak hanya itu, setiap ada perjalanan dinas ke luar negeri, Hoegeng selalu pergi sendiri tanpa istri atau anak. Menurutnya, uang negara harusnya untuk membiayai perjalanan pejabat, bukan keluarga pejabat, karena itu hanya akan menguras keuangan negara.

Semua itu dilakukannya sebagai bentuk kecintaan pada profesi serta pemahaman bahwa setinggi apa pun pangkat atau jabatan, polisi tetaplah seorang pelayan dan pengayom masyarakat, bukan pejabat yang tiap hari sibuk rapat di kantor dan menjauh dari masyarakat. Hal itu pula yang membuat Hoegeng menolak pembangunan gardu jaga di rumahnya serta menolak diberi pengawalan secara berlebihan.

Sayang, karier Hoegeng harus berakhir karena kejujuran dan ketegasannya. Pada Oktober 1971 Hoegeng diberhentikan dengan alasan peremajaan. Padahal, usia Kapolri yang menggantikannya ternyata lebih tua dari dirinya. Majalah TEMPO ketika itu menuliskan bahwa Hoegeng dicopot karena membongkar penyelundupan mobil mewah yang dilakukan Robby Tjahjadi yang dibekingi pejabat tinggi negara.

Selain itu, Hoegeng dianggap terlalu populer dan terlalu dekat dengan pers serta masyarakat, sehingga menimbulkan ketidaksukaan petinggi negara. Tawaran menjadi duta besar untuk Belgia kemudian ditampiknya. "Saya tak biasa berdiplomasi dan minum koktail," ujarnya ketika itu.

Begitu mendapat kabar telah diberhentikan, Hoegeng kemudian mengabarkan pada ibunya. Sang ibu pun berpesan agar si jenderal menyelesaikan tugas dengan kejujuran. "Karena kita masih bisa makan nasi dengan garam," ujar sang ibu Roelani. Hoegeng juga ingat pesan almarhum ayahnya yang seorang jaksa, untuk tidak menggadaikan harga diri dan kehormatan demi kesenangan duniawi.

Usai serah terima jabatan, Hoegeng pun langsung mengembalikan seluruh inventaris milik Polri. Tak pernah terbayangkan, seorang Kapolri pensiun tanpa memiliki rumah dan kendaraan. Yang tertinggal di depan rumah dinas hanya sebuah sepeda butut. Untuk urusan menuju tempat yang agak jauh, Hoegeng pun membiasakan naik bajaj. Bahkan, saking sederhananya rumah dinas di Jalan M. Yamin, Jakarta Pusat itu, seorang pencuri pernah nekat masuk dan mengambil radio transistor milik Hoegeng.

Hoegeng mengaku masa-masa pensiun dini tersebut merupakan saat yang sulit buat dia dan keluarga dari sisi ekonomi. Kendati demikian, dia tetap kukuh menolak semua pemberian pihak lain. Hati Hoegeng baru luluh ketika diberi sebuah mobil bekas jenis Holden Kingswood hasil iuran para kapolda se-Indonesia. Polri pun kemudian membeli rumah dinas Kapolri dan memberikannya pada Hoegeng sebagai penghargaan atas jasa-jasanya. Ketika Hoegeng wafat pada 14 Juli 2004, hilang pula sosok yang menjadi figur polisi teladan itu.

Kini, figur polisi jujur seperti Hoegeng sangat dibutuhkan. Di tengah krisis kepercayaan terhadap Polri, sosok bersih dan teladan begitu dirindukan. Betapa sulitnya saat ini menemukan polisi yang bersahaja, jujur, dan sederhana. Sehari-hari kita lebih banyak melihat polisi yang mengedepankan arogansi, menjungkirbalikkan hukum, dan tak tahan akan godaan materi.

Polri yang mengaku sebagai pelayan dan pelindung masyarakat kini jatuh pamor sebagai pelayan dan pelindung bagi mereka yang berani membayar. Tanpa malu, Polri menafikan akal sehat dan tatanan hukum yang ada hanya untuk melindungi seorang pengusaha yang terbukti telah berbohong dan berencana menjatuhkan lembaga antikorupsi.

Sangat disesalkan, satu dasawarsa setelah Orde Baru tumbang, reformasi ternyata tak menyentuh aparat berbaju cokelat. Gembar-gembor perubahan di awal reformasi ternyata hanya sebatas kulit, tanpa menyentuh substansi. "Kini, kami memberi nilai tinggi kepada polisi yang bisa menembak tepat di kaki daripada kepala," ujar seorang instruktur saat saya mengikuti pelatihan singkat di Pusat Pendidikan Reserse dan Intelijen Polri di Megamendung, Bogor, Jawa Barat, beberapa tahun silam.

Padahal, urusan reformasi tidak sesederhana perubahan kurikulum soal tatacara menembak seorang tersangka pencuri, tapi lebih kepada perubahan sikap dan mental. Tak sulit untuk menakarnya karena sikap dan mental anggota Polri itu sudah digariskan dalam Tribrata. Jika nilai-nilai dalam Tribrata tak lagi menjadi landasan sikap dan mental, berarti anggota Polri telah kehilangan pedoman hidupnya.

Lebih gampangnya, sudahkah polisi menjunjung tinggi kebenaran, keadilan dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum? Sudahkah polisi mengayomi, melindungi dan melayani masyarakat dengan keikhlasan? Dan, sudahkah polisi menjalankan tugasnya dengan penuh ketaqwaan? Melihat cara polisi menangani kasus sangkaan terhadap Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, saya meragukannya.

Saya tidak yakin polisi sudah bertindak adil dan menjunjung tinggi rasa kemanusiaan dengan membiarkan Anggodo Widjojo berkeliling stasiun televisi, sementara hak bicara Bibit dan Chandra dibungkam. Saya juga tidak yakin polisi punya tekad kuat melindungi dan mengayomi masyarakat. Tak bisa dibayangkan apa yang akan terjadi dengan orang biasa seperti saya, jika seorang pejabat setingkat pimpinan KPK bisa ditahan dengan bukti yang lemah dan alasan yang absurd.

Ternyata benar, hanya ada tiga polisi di Indonesia yang tak bisa disuap, yaitu patung polisi, polisi tidur dan polisi Hoegeng. Hingga kini, anekdot itu tetap abadi karena belum ada lagi sosok polisi seperti Hoegeng. Polri layak berduka, dengan usia lebih dari setengah abad, baru seorang polisi yang layak dicatat dengan tinta emas karena kejujuran, ketegasan dan kebersahajaannya.***

(Tulisan ini pernah dimuat di Blog Liputan6.com edisi 5 November 2009)