Jumat, 27 Maret 2009

Berkaca pada Rachel Corrie

Rinaldo

Pada tanggal 16 Maret lalu, sebuah peristiwa besar luput dari perhatian dunia. Hari itu, Rachel Corrie, seorang wanita berusia 23 tahun menjadi tumbal bagi sebuah perjuangan hak asasi manusia dalam memperoleh perumahan yang layak. Ketika itu dia berjuang sendirian, berhadapan dengan kekuatan raksasa yang menakutkan dunia.

Pada hari nahas itu, Rachel mengambil posisi telentang di antara rumah warga Palestina dan deretan buldozer milik Israel, di kawasan Rafah, Jalur Gaza. Wanita ini melakukan aksinya untuk menentang penggusuran ilegal yang dilakukan Israel atas rumah-rumah milik warga Palestina.

Tapi sebagaimana kita tahu, Israel bukanlah sebuah rezim yang bisa luluh oleh sikap Rachel. Maka, tanpa pikir panjang, buldozer-buldozer itu pun akhirnya melindas tubuh Rachel menuju rumah-rumah warga Palestina, yang menjadi sasaran utamanya.

Seketika nyawa meregang dari tubuh Rachel, sosoknya pun kemudian menjadi sulit dikenali. Tapi tak banyak yang tahu, apalagi peduli. Kuatnya kekuasaan yang dimiliki Israel dengan back up dari Amerika Serikat, menjadikan nama Rachel hilang dari sejarah.

Namun tidak semuanya lupa, karena beberapa waktu lalu, sebuah lembaga bernama The Centre On Housing Rights and Eviction (COHRE) memberikan penghargaan Pembela Hak-hak Perumahan 2003 kepadanya. Rachel dianggap sebagai ikon dari sebuah penentangan terhadap ketidakadilan yang masih saja subur di muka bumi ini.

Sebagaimana dikatakan pihak COHRE, penghargaan itu diberikan sebagai penghormatan atas kekuatan, dedikasi dan keberanian Rachel yang telah menempuh risiko maksimal untuk sebuah perjuangan HAM.

Tidak cuma Israel yang menjadi sasaran sumpah serapah COHRE. Bersama Guatemala dan Serbia & Montenegro, Indonesia dinyatakan berhak mendapatkan penghargaan Housing Rights Violator Award. Artinya, Indonesia bersama dua negara lainnya itu, menempati urutan teratas sebagai pelanggar hak-hak perumahan.

Ketiga negara itu dipilih karena dianggap melakukan pelanggaran yang tidak dapat dibenarkan terhadap hak-hak perumahan secara terus menerus dan sistematis. Tiga negara tersebut juga dianggap gagal mengikuti standar hak asasi manusia nasional maupun internasional.

Menurut lembaga ini, Indonesia terus melanggar hak untuk mendapat perumahan dengan tiga cara, yaitu penggusuran warga secara massal dan dengan kekerasan, pelanggaran hak perumahan dalam konflik di Aceh dan Papua Barat serta tidak menyelesaikan pelanggaran hak perumahan di Timor-Timur.

Menurut data COHRE, di tahun 2001 lebih dari 50 ribu orang digusur secara paksa di Jakarta. Pada Agustus sampai Oktober 2003 lebih dari 15 ribu orang juga digusur secara paksa di Jakarta dan kota-kota lain oleh pemerintah daerah. Bahkan, buldozer dengan kekerasan menggusur ratusan orang dari rumahnya, menghancurkan beberapa bangunan, ketika masih ada orang di dalamnya.

Seperti biasanya, mungkin kita tidak akan begitu peduli dengan penilaian lembaga asing, yang juga pernah menempatkan negara kita sebagai negara terkorup, negara pembajak, dan negara kampiun pornografi. Tapi, karena ini menyangkut masalah kemanusiaan, sosial, hukum dan ekonomi, layaklah kita sedikit melakukan kontemplasi.

Kebijakan penggusuran di Ibu Kota mungkin bisa diterima atas nama untuk penataan wajah kota yang lebih baik. Tapi, tentu tidak adil jika penggusuran dilakukan tanpa memikirkan nasib korban pascagusuran. Apalagi kalau kemudian, lahan gusuran berubah bentuk menjadi pusat perbelanjaan atau gedung bertingkat.

Kepentingan ekonomi mestinya tidak boleh melanggar hak-hak dasar warga negara, untuk memperoleh ruang hidup yang layak. Dan itu dijamin secara jelas dan tegas dalam UUD 1945, di mana hidup matinya negara ini diatur dari sana.***

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 12 November 2003)


Rachel Corrie


Kronologi tewasnya Rachel oleh buldozer milik Israel


Rachel saat meregang nyawa


Jangan pernah lupakan Rachel Corrie





Rachel Corrie sesaat sebelum tewas




Buldozer itu melindasnya dan dunia bereaksi




Penggusuran di Indonesia (1)




Penggusuran di Indonesia (2)




Penggusuran di Indonesia (3)




Penggusuran di Indonesia (4)




Minggu, 15 Maret 2009

Keenan yang Menembus Batas

Suatu malam, akhir Februari lalu, aktivitas membaca saya agak terganggu karena televisi yang tetap menyala saat saya memelototi sebuah buku sayup-sayup memperdengarkan sebuah nada dan lirik yang pernah akrab dengan kuping saya. Perhatian teralihkan dari buku ke layar kaca, seorang pemuda terlihat tengah bernyanyi dengan gaya santai. Namanya terbilang asing buat saya, Vidi Aldiano.

dirimu nuansa-nuansa ilham
hamparan laut tiada bertepi


Demikian antara lain bait-bait lirik lagu itu. Ingatan saya langsung terkoneksi dengan masa lalu, tepatnya puluhan tahun silam, saat masih menjadi seorang bocah yang gemar main kelereng dan layangan. Ketika itulah tembang Nuansa Bening dari Keenan Nasution akrab menyapa dari radio milik penduduk di kampung saya. Beragam penyanyi yang kemudian silih berganti datang, bak musim yang selalu berganti, tak pernah bisa memupus keindahan lagu ini.

Sebaliknya, Keenan seolah sudah membuat tonggak prasasti, bahwa lagu ini akan abadi, tak terlupakan, dan tetap indah didengar dalam suasana apa pun, paling tidak untuk saya sendiri. Nuansa Bening, buat saya, lahir terlalu cepat sebelum masanya. Ketika di tahun 1979, saat lagu ini dirilis, genre musik yang ditawarkan Keenan terbilang aneh. Ketika itu, Rinto Harahap dan Pance Pondaag sedang menjadi mainstream, sedangkan Keenan nyaris tak banyak yang mengenal.

Bahkan ketika Obbie Messakh, Dedy Dhukun, dan deretan pencipta lagu serta penyanyi lainnya menyerbu di kurun 90-an, musik yang mereka tawarkan tetap saja terkesan biasa, datar, dan gampang dilupakan. Mungkin hanya Iwan Fals ketika itu yang bisa membuat perbedaan, musiknya baru sekaligus digemari. Ketika itu, Keenan tetap saja jauh dari popularitas. Selain karena terbilang "pelit" berkarya, musik Keenan ketika itu dianggap terlalu "elite" untuk masanya.

Tahun 1989, Keenan lagi-lagi membuat saya terhenyak. Bergabung dengan Gank Pegangsaan, vokal dia kembali menyengat kuping saya lewat lagu Dirimu. Musik yang ditawarkan serta liriknya lagi-lagi tidak mengikuti mainstream. Tapi, sulit untuk menipu diri sendiri bahwa lagu ini sangat empuk di kuping.

buram kaca jendela
semuram waktu yang berlalu

sedang kumasih menunggu

Liriknya yang tentang cinta tak jatuh menjadi cengeng, musiknya yang sebenarnya sederhana pun terasa sangat berbeda dari lagu-lagu Indonesia kebanyakan. Karena itulah saya menjadikan kedua lagu Keenan tersebut masuk ke dalam jajaran mahakarya musisi Indonesia.

Rada Krishnan Nasution, demikian nama lengkap Keenan, jelas bukan musisi serba jadi. Dunia musik secara serius digelutinya ketika baru duduk di bangku SMP. Lagu-lagu The Features dan The Shadow merupakan santapan sehari-hari yang dimainkan Keenan bersama kawan-kawannya. Satu hal yang mengagumkan adalah kemampuan Keenan memainkan alat musik yang tergolong multiinstrumen. Kemampuan ini dimilikinya dengan cara belajar secara otodidak, ditambah dengan berlatih secara rutin untuk meningkatkan kemampuan.

Bahkan, sebelum Nuansa Bening dirilis, Keenan dan teman-temannya di tahun 1972 sudah menjajal tanah yang menjadi pusat musik dunia, Amerika Serikat. Dia tampil dari panggung ke panggung di New York sebelum pulang ke Tanah Air di tahun 1975. Selain itu, Keenan juga dikenal sebagai musisi yang kerap diajak bekerja sama oleh musisi papan atas Indonesia.

Kini, ketika Nuansa Bening kembali dipopulerkan oleh Vidi, tetap saja auranya hilang. Logis memang, karena versi Keenan sudah lebih dulu mencuri perhatian. Juga, lewat vokal Vidi, Nuansa Bening jatuh menjadi lagu yang "ringan" dan "manis". Padahal, lagu ini begitu serius dan monumental melalui vokal Keenan.

Ketika adik saya yang masih duduk di bangku SMA mendengar Nuansa Bening versi Vidi, dia berkomentar, "Enak juga lagunya ya," ujarnya. Saya hanya tersenyum. Saya yakin dia akan kaget kalau saya katakan bahwa lagu ini sudah menjadi teman tidur saya saat dia masih berada di surga.[]




Nuansa Bening ver. Vidi Aldiano (2008)


Nuansa Bening ver. Keenan Nasution (1979)


Dirimu - Gank Pegangsaan (1989)





Video klip Nuansa Bening ver. Vidi Aldiano




Video klip Nuansa Bening ver. Keenan Nasution




Nuansa Bening

Oh tiada yang hebat
dan mempesona

ketika kau lewat
di hadapanku

biasa saja


Waktu pertalian
terjalin sudah

ada yang menarik
pancaran diri

terus mengganggu

Mendengar cerita sehari-hari
yang wajar tapi tetap mengasyikkan


Oh tiada kejutan
pesona diri

pertama kujabat
jemari tanganmu

biasa saja


Masa perkenalan
lewatlah sudah

ada yang menarik
bayang-bayangmu

tak mau pergi

Dirimu nuansa-nuansa ilham
hamparan laut tiada bertepi


Kini terasa sungguh

semakin engkau jauh

semakin terasa dekat


Akan tumbuh kembangkan

kasih yang engkau tanam

di dalam hatiku


Menatap nuansa-nuansa bening

tulusnya doa bercinta




Dirimu

Di bening malam ini
Resah rintik gerimis datang

Menghanyutkan sinar rembulan


Buram kaca jendela

Semuram waktu yang berlalu

Sedang kumasih menunggu


Ungkapan rasa
dari keinginan baikku

Untuk bersama

menempuh jalan hidup

Tak usahlah kauingat

bayangan gelap kenyataan

diri tanpa sutradara


Relakan niat tangan

menghapus noda kehidupan

dirimu di hadapanku


Tetaplah putih

Demi keinginan baikku

Untuk bersama

menempuh jalan hidup


Reff.

Kuingin s'lalu dekatmu

Sepanjang hidupku

Membawamu
ke puncak bahagia

Kuingin s'lalu dekatmu

Nikmati mentari

Mendekapmu
di bawah cahayanya

Bagimu raihlah kehidupan



Kamis, 05 Maret 2009

Machu Picchu, Kota Inca yang Hilang

Hiram Bingham, seorang profesor muda dari Yale University, memang tipe orang yang tak bisa diam. Daripada berkutat di kampus, dia lebih suka menjelajah ke tempat-tempat terpencil. Begitu pula ketika dia memutuskan untuk menggelar ekspedisi ilmiah untuk menjelajahi vegetasi liar di Gunung Andes, Peru, saat usianya menginjak 36 tahun.


Ditemani seorang pemandu, Bingham memasuki wilayah yang sangat asing bagi dirinya. Dia melewati pepohonan yang tinggi menjulang dan menerobos semak belukar yang sangat lebat dengan bantuan kedua tangannya. Tiba-tiba, secara samar dari kejauhan dia melihat bangunan kuno super megah yang terkubur oleh tingginya ilalang. Ketika itu dia sempat berpikir bahwa itu hanya fatamorgana. Namun tidak, semua itu memang nyata. Bingham langsung mencatat tanggal bersejarah itu, 24 Juli 1911.


Bingham bukanlah sosok seperti Indiana Jones yang suka berpetualang mencari benda keramat, namun dia adalah sosok sebenarnya dari Indiana Jones di alam nyata. Pada hari itu dia menemukan bangunan paling bersejarah di dunia yang menunjukkan betapa majunya pengetahuan akan teknik rancang bangun peradaban-peradaban masa lalu. Ya, hari itu dia menemukan situs yang kemudian dikenal dunia dengan nama Machu Picchu (Gunung Tua) atau kerap juga disebut Kota Inca yang Hilang. Terletak di atas lembah Urubamba, sekitar 70 kilometer barat laut Cusco, Peru.


Bingham mengatakan, bisa menemukan Machu Picchu sama halnya dengan menemukan sebuah peradaban baru dimuka bumi. Salah satu Media Amerika Serikat menyatakan bahwa Machu Picchu merupakan bangunan yang paling penting dan yang paling terpelihara di dunia. Tempat ini memang sangat tersembunyi dan tertutup oleh lebatnya vegetasi tumbuh-tumbuhan disekitarnya. Terletak pada ketinggian 8.000 kaki di atas permukaan laut, bangunan menakjubkan ini selama beratus-ratus tahun tidak pernah terusik oleh kehadiran manusia.


Machu Picchu merupakan simbol Kerajaan Inca yang paling terkenal. Dibangun pada sekitar tahun 1450, tetapi ditinggalkan seratus tahun kemudian, ketika bangsa Spanyol berhasil menaklukkan Kerajaan Inca. Namun para ahli lainnya menduga wabah cacarlah yang menyebabkan Machu Picchu ditinggalkan. Lebih dari 50 persen populasinya terbunuh akibat wabah itu pada tahun 1527. Pemerintahan Inca pun jatuh, perang saudara berkecamuk. Ketika penakluk Spanyol, Pizzaro, tiba di Cuzco pada tahun 1532, Machu Picchu keburu menjadi kota hantu di atas awan.


Machu Picchu dibangun dengan gaya Inca kuno dengan batu tembok berpelitur. Bangunan utamanya adalah Intihuatana, Kuil Matahari, dan Ruangan Tiga Jendela. Tempat-tempat ini disebut sebagai Distrik Sakral dari Machu Picchu. Beberapa peneliti percaya Machu Picchu adalah makam Pachacutec Yupanqui, pendiri Kerajaan Inca, karena terdapat bangunan yang dilapisi emas. Beberapa peneliti lain berteori Machu Picchu adalah vila para pembesar Inca, sekaligus sebagai tempat upacara pengamatan musim dan astrologi.


Bangunan di Machu Picchu bertingkat-tingkat, semakin tinggi tingkatannya, semakin tinggi tingkat kekuasaan orang yang menempatinya. Di tempat tertinggilah para pendeta Inca mengadakan upacara menghormati matahari setiap harinya. Di wilayah itu terdapat sebuah batu seukuran piano yang disebut sebagai Intihuatana' (tempat tambatan matahari). Batu ini sebagai jam matahari. Machu Picchu juga memiliki lahan pertanian yang luas untuk ditanami jagung, koka, dan mawar.


Bingham sendiri percaya tempat ini mempunyai arti yang sangat besar akan kelahiran suatu peradaban paling legendaris di dunia, Kerajaan Inca. Suatu peradaban besar asli dari Benua Amerika yang telah menghilang. Setidaknya terdapat ribuan artifak yang sangat tinggi nilainya di Machu Picchu. Kini sebagian besar artifak-artifak tersebut sedang menjadi bahan penelitian untuk menggali lebih dalam lagi sejarah dari peradaban suku Inca.


Rakyat Peru boleh berbangga karena peninggalan sejarahnya ditetapkan sebagai salah satu dari tujuh keajaiban dunia versi Swiss Foundation yang mengadakan poling lewat internet dan layanan pesan singkat yang diikuti sekitar 100 juta orang di seluruh dunia pada 7 Juli 2007. Situs tersebut juga telah ditunjuk sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO sejak tahun 1983.


Kini, setelah lebih dari setengah abad meninggalnya Bingham (1875-1956), hampir sekitar 2.500 wisatawan berkunjung ke Machu Picchu setiap harinya. Hampir seabad setelah Bingham menemukan Machu Picchu, kekaguman penduduk dunia akan temuannya tak kunjung habis. Untuk mengenangnya, kereta yang menjadi sarana transportasi wisatawan menuju pegunungan Andes diberi nama Hiram Bingham. Sebuah penghargaan yang sangat layak.***





Machu Picchu (1)




Machu Picchu (2)




Machu Picchu (3)




Machu Picchu (4)