Minggu, 25 Agustus 2013

Saat-saat Bersentuhan dengan Presiden


Kamis 8 Agustus 2013

Meski hampir setiap hari bertemu Presiden, tak mudah bagi wartawan Istana untuk bisa menyentuh sang Kepala Negara dalam pengertian harfiah. Kalau untuk urusan berdekatan, dalam banyak kesempatan meliput agenda Presiden, wartawan Istana bisa dikatakan berada sangat dekat secara fisik dengan Presiden.

Ambil contoh misalnya saat Presiden akan menerima tamu-tamunya di ruang tamu Kantor Presiden, pastilah wartawan berada pada posisi terdekat dengan Presiden dibandingkan anggota Paspampres yang di ring 1 sekalipun.

Saat Presiden berdiri di pintu masuk dengan Wakil Presiden atau jajaran menteri kabinet menunggu kedatangan sang tamu, para wartawan berdiri berjejer di samping atau di depan Presiden. Sementara pengawal Presiden berada di belakang para jurnalis, dengan sikap waspada.

Wartawan Istana juga sudah sangat terbiasa menyaksikan Presiden dan para pengawalnya melintas dari Istana Negara menuju Kantor Presiden, atau dari Kantor Presiden menuju Wisma Negara. Sesekali Presiden melambaikan tangan atau menyapa wartawan yang tengah berkumpul di teras pintu masuk ruang wartawan yang juga menjadi akses ke Kantor Presiden.

Posisi wartawan Istana menjadi tak istimewa adalah ketika meliput kegiatan Presiden di luar Kompleks Istana. Saat itu, hanya Paspampres yang bisa berdekatan dengan Kepala Negara. Hal ini bisa dimaklumi, karena pengamanan untuk Presiden di luar Istana tentu tak semudah ketika beliau berada di ruang publik.

Intinya, interaksi antara Presiden dengan wartawan saat berada di Istana boleh dikatakan tak berjarak secara fisik. Namun, itu tak bisa dijadikan alasan untuk bisa seenaknya menyentuh atau mencolek bagian tubuh Presiden. Kalau itu dilakukan, bisa-bisa jatuhnya jadi penyerangan terhadap Kepala Negara, tindakan makar, atau pelecehan terhadap Presiden.

Namun, itu bukan berarti wartawan tak boleh sama sekali bersentuhan dengan sosok yang selalu diberitakannya. Masalahnya cuma pada kesempatan dan waktu yang tepat. Nah, saat yang tepat dilihat dari sisi waktu dan kesempatan adalah ketika perayaan Idul Fitri yang terhitung hanya sekali dalam setahun.

Dilihat dari sisi waktu, Lebaran adalah saatnya untuk bersalaman dan bermaaf-maafan dengan siapa pun tanpa pandang jabatan, jumlah kekayaan, atau merek pakaian yang dikenakan. Untuk alasan ini, tentu tak mungkin bagi Presiden sekalipun menolak ucapan selamat Lebaran serta bermaaf-maafan dari rakyatnya. Namun, itu baru satu soal.

Alasan kedua yaitu kesempatan. Kebetulan, sejak mulai menghuni Istana, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selalu membuka kesempatan bagi rakyat jelata untuk mendatangi Istana guna mengucapkan selamat Lebaran saat Idul Fitri. Nah, dengan dua alasan itu, lengkaplah sudah syarat bagi wartawan Istana untuk bisa menyentuh Presiden tanpa harus berurusan dengan Paspampres atau pasal-pasal dalam KUHP.

Kebetulan pula pada 1 Syawal tahun ini saya mendapat tugas untuk meliput agenda Presiden yang menggelar open house di Istana Negara. Demi tugas, saya memutuskan untuk berangkat pagi-pagi ke Istana dan tak sungkeman dulu dengan istri serta orangtua lantaran acara sudah dimulai sesaat setelah Presiden usai shalat Id di Masjid Istiqlal.

Karena acaranya di Istana, bukan di lingkungan RT tempat saya tinggal, saya tidak mengenakan baju koko sebagaimana galibnya dilakukan banyak orang. Saya mengenakan baju batik seharga Rp 80 ribu yang saya beli sepekan sebelum Lebaran di Pasar Grosir Cipulir, Jakarta Selatan. Saya cuek, sebab yakin harga batik yang saya kenakan tak akan dipertanyakan Paspampres saat bersalaman dengan Presiden.

Agenda Presiden dimulai pukul 09.00 WIB dengan silaturahmi di antara keluarga inti Presiden. Setengah jam berikutnya dilanjutkan dengan silaturahmi antara keluarga Presiden dengan keluarga Wakil Presiden Boediono. Berikutnya adalah dengan pejabat tinggi negara, duta besar negara sahabat, handai taulan, serta staf kepresidenan.

Selepas siang, silaturahmi dilanjutkan dengan masyarakat. Ribuan warga yang sudah berkumpul di area parkir Kompleks Sekretariat Negara mulai antre memasuki Kompleks Istana Kepresidenan, dengan pemeriksaan ketat tentunya. Yang jelas, tak banyak syarat untuk bisa masuk, tak perlu perlihatkan KTP atau surat izin kelurahan. Syaratnya cuma satu, tidak mengenakan sandal karet atau sandal hotel. Selebihnya terserah Anda.

Warga yang datang tidak sekaligus diarahkan ke Istana, namun bertahap serta bergelombang. Di antara tahapan-tahapan itu, pegawai Istana dan wartawan Istana punya kesempatan untuk membuat rombongan sendiri. Maka, ketika Paspampres dan staf Biro Pers Istana memberitahu sudah boleh masuk, wartawan Istana yang sejak awal memang sudah berkumpul di pintu masuk Istana Negara, mulai membuat barisan.

Berbeda dari hari-hari biasa di Istana, untuk bisa berhadap-hadapan dengan Presiden kali ini, kiri dan kanan ada pengawal yang berjejer rapi dengan tatapan tajam. Saya yakin, Paspampres bisa bernapas sedikit lega setelah melihat identitas yang terpampang jelas di dada kami, meski kewaspadaan tak pernah kendor.

Maka, momen menyentuh Presiden itu pun akhirnya terjadi. Presiden SBY menerima uluran tangan saya sambil tersenyum, seperti juga dilakukan kepada yang lainnya. Tak hanya Presiden, di samping beliau juga berdiri Ibu Negara yang ikut bersalaman dengan kami. Tak lebih dari tiga detik prosesi bersalaman itu, tapi hanya bisa terjadi sekali dalam setahun.

Di lain sisi, Presiden harusnya juga berterima kasih kepada saya, karena mendahulukan untuk bermaaf-maafan dengan beliau ketimbang dengan istri dan orangtua saya yang menunggu di rumah. Saya berharap masih diberi kesempatan merayakan Idul Fitri tahun depan. Istri dan orangtua saya akan mendapat giliran menjadi yang pertama bermaaf-maafan dengan saya. Tak sabar rasanya.

Antrean warga yang akan bersilaturahmi Lebaran dengan Presiden SBY di Istana Negara.



Senin, 12 Agustus 2013

Surat Sakti Pak DJ Tundukkan Menteri Agama


Selasa, 2 April 2013

Siang ini, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerima Panitia Nasional Perayaan Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1935 yang dipimpin ketuanya Gde Pradnyana. Dalam pertemuan di Kantor Presiden itu turut hadir Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi, Menteri Agama Suryadharma Ali, Menteri ESDM Jero Wacik, dan Sekretaris Kabinet Dipo Alam.

Pertemuan ini tergolong singkat, tak lebih dari satu jam, karena pukul 14.00 WIB akan ada agenda lain, yaitu rapat terbatas untuk membahas kurikulum pendidikan tahun 2013. Karena itu, sebelum pertemuan usai, menteri-menteri yang akan mengikuti rapat terbatas sudah berdatangan dan menuju ruang rapat terbatas.

Usai pertemuan, Menag Suryadharma Ali sempat diwawancarai wartawan seputar rangkap jabatan antara menteri dan ketua partai politik. Selesai diwawancarai, Surya tiba-tiba menuju podium di ruangan pers sehingga membuat wartawan gelagapan karena tak diberitahu akan ada jumpa pers. Sejumlah kamerawan televisi terlihat sibuk dan terburu-buru menyiapkan peralatan mereka.

Tak ada yang baru sebenarnya dalam jumpa pers ini. Surya hanya mengulang apa yang sudah menjadi kesepakatan antara pemerintah dan Komisi VIII DPR sehari sebelumnya tentang besaran biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) alias ongkos naik haji yang katanya tahun ini turun sekitar US$ 90 dari tahun sebelumnya.

Jam ketika itu sudah menunjukkan pukul 14.05 WIB yang artinya rapat terbatas harusnya sudah dimulai. Rekan-rekan wartawan mulai terlihat heran karena belum ada arahan dari staf Biro Pers dan Media Istana (BPMI) untuk segera menuju ruang rapat. Galibnya, sesaat sebelum Presiden memasuki ruangan rapat, wartawan sudah berjejer di depan pintu ruang rapat terbatas untuk mendengarkan pidato pengantar sebelum masuk pada pembahasan materi rapat.

Tapi, Surya tetap santai dan terus memaparkan angka-angka BPIH. Sementara pada saat bersamaan terlihat staf presiden mendekati staf sang menteri. Tak jelas apa yang dibicarakan. Yang pasti, staf menteri ini diberi secarik kertas. Dengan sikap ragu-ragu, dia mendekat ke podium dan meletakkan kertas tersebut di podium dengan harapan bisa dibaca Surya.

Dia memang melirik kertas itu, tapi tak ada pengaruh apa-apa. Surya meneruskan membolak-balik dokumen yang dia bawa dan melanjutkan penjelasannya di depan sorotan kamera wartawan. Ketika itulah terasa ada sesuatu yang tak beres. Wartawan pun mulai saling lirik seolah bertanya ada apa sebenarnya.

Tak lama kemudian, Kepala Biro Pers Istana, DJ Nachrowi, terlihat menulis di secarik kertas dan menyerahkan kepada staf sang menteri. Untuk kedua kalinya dia mendekat ke podium dan meletakkan kertas itu di hadapan sang menteri. Kali ini kertas itu agaknya membawa dampak. Surya mulai membereskan dokumennya dan menyudahi jumpa pers.

"Maaf rekan-rekan wartawan, saya sudah ditunggu untuk ikut rapat terbatas. Jadi nanti kita lanjutkan kalau ada pertanyaan," ujar Surya seraya meninggalkan podium. Para wartawan hanya tersenyum simpul. Ketika itu jam menunjukkan pukul 14.10 WIB.

Ternyata, Surya hadir di Kantor Presiden tak hanya untuk menemani Presiden bertemu Panitia Nasional Perayaan Nyepi, tapi juga untuk menghadiri rapat terbatas. Tidak jelas, apakah Surya memang lupa atau tak melihat jam sehingga nekat menggelar jumpa pers di saat rapat akan dimulai.

Syukur secarik kertas dari Pak Nachrowi lumayan ampuh untuk menahan laju Surya berbicara di depan wartawan. Rapat akhirnya memang terlambat dimulai dan Surya menjadi menteri terakhir yang memasuki ruangan rapat terbatas, meski dia lebih dulu datang di Kantor Presiden dibandingkan menteri lainnya yang ikut membahas kurikulum pendidikan itu. Ada-ada saja Pak Menteri ini.

Ajudan Menag menyerahkan surat sakti Pak DJ



Sabtu, 10 Agustus 2013

Blusukan di Tengah Kebakaran Gedung Setneg


Kamis, 21 Maret 2013

Di akhir agenda Presiden yang padat pada Kamis ini, sebuah kebakaran hebat melanda kompleks Sekretariat Negara. Gedung Utama Setneg terbakar saat Presiden masih bersama sejumlah menteri membahas masalah ekonomi di Kantor Presiden. Meski kebakaran tak terjadi di kompleks Istana, tetap saja kejadian ini mengejutkan karena sangat dekat dengan Istana Negara, hanya berjarak sekitar 30 meter.

Ada kepanikan dan semuanya berlangsung cepat. Pintu masuk Setneg langsung ditutup dan dijaga ketat petugas bersenjata lengkap. Kawasan seputar Istana dan Setneg dengan cepat 'dikepung' mobil patroli kepolisian. Jalan Veteran yang berada di bagian belakang kompleks Istana dan Setneg ditutup untuk kendaraan umum. Tak terkecuali di dalam kompleks Istana, sejumlah petugas Paspampres berpakaian tempur menjaga tangga Istana Negara. Presiden dan keluarga pun diungsikan ke Wisma Negara.

Karena kebakaran terjadi di lokasi yang menjadi simbol negara, upaya pemadaman pun berlangsung cepat. Hanya 5 menit sejak kebakaran mulai berkobar, mobil pemadam sudah berdatangan. Sebanyak 37 mobil pemadam mengepung kompleks Setneg. Meski pompa hidran di depan gedung yang terbakar tak berfungsi, api yang menjilat seluruh atap lantai 3 Gedung Utama Setneg bisa cepat padam. Seiring dengan bergantinya sore menjadi malam, kobaran api pun berhasil dipadamkan.

Dengan padamnya api, pihak Setneg dan Istana segera menggelar jumpa pers. Tak banyak keterangan berarti yang bisa didapat dari penjelasan Sekretaris Menteri Sekretaris Negara, Lambock V Nahattands dan Juru Bicara Presiden Julian Aldrin Pasha. Kebakaran diduga karena korsleting listrik. Tak ada korban jiwa dan seluruh dokumen penting bisa diselamatkan. Lambock sempat pula mengucapkan terima kasih dan penghargaan atas langkah cepat tanggap Pemprov DKI Jakarta dan Suku Dinas Pemadam Kebakaran menangani musibah ini.

Kendati api tak lagi menyala, suasana di kompleks Setneg makin ramai. Petugas pemadam terus bekerja melakukan pendinginan dan polisi memasang garis polisi di sekitar pintu masuk gedung yang terbakar. Pegawai Setneg, petugas pemadam, polisi, petugas keamanan internal, serta wartawan, memenuhi halaman depan Gedung Utama Setneg. Dalam kondisi yang lumayan gelap, sejumlah media elektronik melakukan siaran langsung.

Waktu sudah menunjukkan pukul 20.00 WIB saat saya masih berdiri di bagian samping kanan gedung yang terbakar. Tak jauh dari saya, Lambock dan stafnya terlihat memantau aktivitas anggota pemadam. Tiba-tiba, dari arah belakang saya berdiri, terasa ada pergerakan sejumlah orang yang berjalan cepat ke arah pintu masuk kompleks Istana. Karena gelap, agak susah mengidentifikasi mereka. Yang jelas salah seorang di antaranya mengenakan pakaian lengkap petugas pemadam. Kostum berwarna oranye masih terlihat jelas meski gelap.

Pada saat kelompok ini bergerak menuju pintu masuk kompleks Istana, Lambock dan stafnya ternyata juga melihat dan berteriak mencegah orang-orang yang berjalan terburu-buru itu. Terlambat, mereka tak menuju akses satu-satunya bagi pejalan kaki memasuki Istana, tapi berbelok ke pintu samping gedung yang terbakar. Teriakan Lambock pun makin kencang. Wajar saja, seluruh Gedung Utama Setneg saat ini sudah diberi garis polisi dan menjadi kawasan terlarang untuk dimasuki.

Tapi, entah tak mendengar atau apa, rombongan itu tetap masuk dan Lambock beserta beberapa staf pengamanan internal Setneg terus mengejar mereka. Saking semangatnya mengejar, Lambock pun terjatuh di anak tangga pintu samping Gedung Utama Setneg. Sementara Lambock menunggu di pintu masuk, petugas keamanan merangsek ke dalam dan menaiki tangga mencegah rombongan itu melanjutkan niatnya.

Tak jelas apa yang terjadi di dalam gedung itu. Karena selain gelap gulita, saya juga dilarang masuk ke ruangan. Tak banyak yang melihat insiden ini, hanya saya dan beberapa orang yang menunggu di luar. Terlihat ada cahaya lampu sorot di dalam ruangan dan pembicaraan beberapa orang, meski tak jelas itu siapa. Pak Lambock pun setelah diberitahu oleh stafnya terlihat mulai tenang dan tetap menunggu di depan pintu masuk.

Tak lama kemudian, rombongan 'penerobos' itu menampakkan diri. Dia adalah Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta, Subejo, yang sejak sore mengawal pemadaman api di Gedung Setneg. Tak aneh bagi saya, yang membuat kaget adalah munculnya sosok lain di belakang Subejo, yaitu Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi. Lambock pun langsung memeluk Jokowi sembari mengucapkan terima kasih atas bantuan Pemprov DKI Jakarta.

Marah Lambock agaknya sudah sirna dan keduanya terlibat perbincangan hangat kendati diganggu oleh wartawan yang makin ramai berdatangan setelah mengetahui kehadiran Jokowi. Sesuatu yang sudah menjadi pemandangan umum sejak Jakarta dipimpin sosok bersahaja ini. Di mana ada Jokowi pasti ada keramaian dan banyak yang bisa dikabarkan.

Ini pertama kali saya bertemu langsung dengan Jokowi dan melihat aksinya saat memasuki sebuah kawasan tanpa kabar. Tak ada yang tahu kedatangan Jokowi sampai terjadinya insiden tadi. Sayang, aksi blusukan kali ini menabrak garis polisi dan berlokasi di wilayah yang dijaga ketat sehingga tak berjalan mulus. Di atas semua itu, kharisma Jokowi membuat semua itu bisa dimaafkan dan dimaklumi. Entah kalau itu dilakukan orang lain, pastilah bakal banyak pertanyaan yang diajukan. Jadi, selamat Pak Jokowi!

Lambock, Jokowi, dan Subejo


Senin, 05 Agustus 2013

Kartu Identitas Super Sakti


Kamis, 21 Maret 2013

Hari ini salah satu agenda Presiden SBY adalah menghadiri penyerahan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT) pajak penghasilan (PPh) orang pribadi tahun 2012 di Gedung Kementerian Keuangan, Jalan Dokter Wahidin, Jakarta Pusat. Saya pun ikut meliput acara yang dimulai pukul 11 siang itu.

Naik bus patas AC dari rumah, kebetulan tak perlu menyambung dengan TransJakarta untuk sampai di kawasan Lapangan Banteng, tempat Menteri Keuangan Agus Martowardojo berkantor itu. Namun, tetap saja saya keringetan ketika turun bus. Selain karena sulitnya merasa sejuk di bus yang katanya berpenyejuk udara itu, cuaca siang ini juga lumayan terik.

Ketika tiba di Gedung Juanda I, saya diarahkan ke tempat para wartawan yang tengah berkumpul. Hampir semuanya mengenakan tanda pengenal yang cukup besar dan dikalungkan di leher. Melihat besarnya ukuran identitas wartawan yang diberikan pelaksana acara dari Kementerian Keuangan ini, saya jadi ingat masa-masa jadi panitia seminar atau Opspek saat masih kuliah dulu.

Yang jelas banyak sekali wartawan yang berkumpul dan menantikan kedatangan Presiden. Ini wajar, karena hari ini acara juga akan dihadiri oleh Wakil Presiden RI, pimpinan lembaga tinggi negara, hingga menteri kabinet. Bisa dibayangkan, hari ini wartawan yang biasa ngepos di berbagai instansi, berkumpul di Kemenkeu sehingga jumlahnya lumayan banyak. Namun, sangat sedikit wajah-wajah wartawan Istana yang saya temui.

Seperti wartawan lainnya, saya pun menuju meja registrasi di dekat tangga menuju lokasi acara, Aula Mezzanine. Saya menuliskan nama dan identitas lainnya di buku tamu dan kemudian salah seorang dari dua wanita yang bertugas di meja registrasi dengan senyum manis menyerahkan kotak yang saya bisa pastikan isinya makanan kecil.

Namun, saya tak diberi identitas berkalung pita kuning seperti wartawan lainnya. Ketika saya bertanya dan meminta tanda pengenal itu, wanita ini malah bertanya, "Mas ini wartawan Istana kan?" Dia bertanya sambil melirik ke tanda pengenal yang tergantung di dada saya.

"Benar," jawab saya masih belum mengerti.

"Nah, kartu identitas punya Mas lebih sakti dari punya kami, bisa kemana-mana, jadi tak usah memakai identitas dari kami," ujarnya tetap sambil tersenyum. Saya mengalah dan tak melanjutkan meminta kertas berpita kuning itu.

Yang dia ucapkan sebenarnya tak salah. Jangankan tanda pengenal wartawan Istana, tanda pengenal dari kantor saya pun sudah cukup sakti. Buktinya, banyak sudah teman-teman yang terbebas dari razia lalu-lintas atau dipermudah saat berurusan di sebuah instansi.

Hanya saja, baru kali ini saya mendengar langsung ada yang mengucapkan tentang "kesaktian" tanda pengenal wartawan Istana. Dan dia juga tak bohong. Terbukti ketika akan memasuki ruangan tempat acara, saya tak berlama-lama melewati pemeriksaan petugas dari Paspampres. 

Kalau cukup sakti dimata Paspampres, mungkin layak pula dicobakan di tempat lain. Jangan-jangan tanda pengenal ini jago kandang, hanya sakti saat berurusan dengan Paspampres. Tapi, pikiran nakal itu saya singkirkan jauh-jauh. Tak boleh ada noda sepanjang saya menekuni profesi ini.