Rabu, 22 April 2009

Jaksa Agung Kita

Rinaldo


Ketika Presiden Amerika Serikat Bill Clinton terlibat skandal dengan pegawai Gedung Putih, Monica Lewinsky, konon sang presiden dibuat ketar-ketir. Pernah suatu kali, salah seorang staf kepresidenan memberitahu Clinton bahwa Jaksa Agung AS ketika itu, Janet Reno, akan datang ke Gedung Putih mempertanyakan kebenaran skandal itu. Seketika keringat dingin memenuhi jidat Clinton mendengar nama Janet Reno disebut-sebut.

Mungkin cerita itu berlebihan, tapi tidak salah. Siapa pejabat AS yang tidak takut berhadapan dengan kekuasaan yang dimiliki seorang Jaksa Agung. Dalam skandal Clinton-Lewinsky, Janet Reno yang juga Menteri Kehakiman dalam kabinet Clinton, menugaskan Kenneth Star untuk menyelidiki kasus perselingkuhan itu.

Tak lama kemudian, dengan tanpa beban, Janet Reno mengirim hasil investigasinya kepada House of Representative yang isinya Clinton harus di-impeach, namun akhirnya Senat menyatakan Clinton tidak bersalah dan tetap dalam jabatannya.

Demikian juga dalam kasus Watergate yang melibatkan Richard Nixon, Jaksa Agung melakukan penuntutan tanpa intervensi penguasa. Sebelum kasusnya selesai diungkap, Nixon memutuskan untuk mengundurkan diri.

Dari kedua contoh tersebut, memang Jaksa Agung tidak bisa memenangkan kasusnya. Namun yang perlu dilihat adalah betapa mandirinya seorang Jaksa Agung. Padahal dia dipilih oleh presiden. Di AS Jaksa Agung adalah sekaligus Menteri Kehakiman (Secretary of Justice) yang diangkat oleh Presiden atas persetujuan Senat dan menjadi anggota kabinet.

Di Indonesia pun Jaksa Agung dipilih oleh presiden, namun soal kemandirian nanti dulu. Jaksa Agung kita sama sekali tidak mandiri dari pengaruh kekuasaan, terutama dari pihak eksekutif. Ada kesan, bahwa setelah dipilih dan memangku jabatan, Jaksa Agung tetap saja menganggap dirinya sebagai bagian, bahkan bawahan dari eksekutif.

Padahal, Jaksa Agung atau kejaksaan sebagai lembaga sangat vital dan prestisius. Bayangkan saja, kejaksaan adalah pengendali proses perkara (dominis litis) dan sebagai satu-satunya instansi pelaksana putusan pidana (executive ambtenaar), yang mempunyai posisi sentral di dalam penegakan hukum, karena hanya institusi kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak.

Dengan kekuasaan yang begitu besar, sepantasnya jika seorang pejabat tinggi sekali pun bisa keluar keringat dingin, tatkala namanya muncul dalam daftar panggilan kejaksaan untuk diperiksa. Namun kekuasaan itu ternyata menjadi kontraproduktif, karena tidak difungsikan sebagaimana mestinya. Jangankan menyeret pelaku kejahatan ke meja hijau dan menuntaskan skandal para pejabat, Jaksa Agung sendiri tak bisa berkelit dari skandalnya sendiri.

Bahkan konyolnya, Jaksa Agung kita, yang diharapkan bisa menjaga hukum berjalan di relnya, malah meminta perlindungan hukum pada kepolisian. Merasa tidak nyaman atas kasus yang menimpanya, sebulan lalu kuasa hukum Jaksa Agung M.A. Rachman mengajukan permohonan perlindungan hukum.

Logikanya, bagaimana bisa kita mengharapkan kejaksaan tampil elegan, tangguh dan berwibawa, jika Jaksa Agung saja masih meminta perlindungan. Kalau nasib Jaksa Agung tergantung pada lembaga lain, bagaimana bisa berbicara soal kemandirian, yang tanpa kasus ini pun sebenarnya sudah layak dipertanyakan.

Jadi, mungkin hanya dalam mimpi kita bisa membayangkan M.A. Rachman bisa menyeret aktor intelektual peristiwa Tanjung Priok atau 27 Juli, yang sekarang menjadi pejabat atau mantan pejabat, ke pengadilan. Mungkin nasionalisme saya kurang kental sehingga hanya mengagumi Janet Reno, tapi saya juga tak kunjung bisa menemukan alasan untuk harus mengagumi M.A. Rachman.***

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 19 November 2003)



Janet Reno


M. A. Rachman







Selasa, 07 April 2009

Panggung Musik dari Balik Lensa

Seorang pemirsa SCTV mengirim e-mail kepada saya, belum lama ini. Dia menanyakan kemungkinan hasil jepretannya bisa dimuat di blog ini. Dia mengatakan, foto-foto itu dia ambil dari sebuah acara panggung musik yang disiarkan SCTV secara langsung beberapa waktu lalu. Kebetulan, acara itu digelar di Bekasi, Jawa Barat, yang tak lain tempat tinggalnya.

Setelah melihat beberapa hasil fotonya, saya pun setuju. Tak ada salahnya sesekali menikmati keindahan para penyanyi papan atas Indonesia di atas panggung melalui rekaman lensa kamera. Maka, setelah memilih dari puluhan foto yang dikirim, beberapa di antaranya saya tampilkan di halaman ini. Foto-foto ini diabadikan di kompleks pertokoan Bekasi Square, saat program Hip-Hip Hura ditayangkan secara langsung di SCTV. Selamat Menikmati!


[untuk memperbesar gambar silahkah di-klik]



Andara dan Trio Bajaj siap memandu acara


Panggung pun mulai menghentak di siang yang terik


Ramainya persis seperti kampanye, bedanya yang hadir tidak mengenakan seragam partai


Anang & Krisdayanti siap naik panggung


Yanti menyanyi, Anang menemani...


Irwansyah menunggu giliran tampil


Tanpa harus berpakaian seksi, Pinkan tetap disukai


Slank tak hadir, fansnya tetap datang...


Presiden Republik Cinta mengkoordinir dari belakang panggung


Personel SHE bersiap menghangatkan udara yang mulai dingin


Cowok yang berpakaian layaknya pengamen ini mirip ELLO ya...


Cuaca mulai mendung, tapi panggung makin hangat


Yang muda dan tak kalah gaya


Tata yang tampil menggoda


Duo Mahadewi tampil menarik, vokal dan penampilan


Tak peduli suaranya, yang penting Purie enak dilihat


Maaf kalau foto keduanya terlalu mendominasi halaman ini, soalnya mereka enak dilihat


Sebelum tampil, The Titans diwawancarai dulu


Selepas siang, gerimis mulai turun


Panggung usai, Bekasi diselimuti hujan badai

foto-foto: Anna Karenina