Selasa, 23 Desember 2008

Belajar Memborgol dari Miranda

Rinaldo


Penggemar film-film aksi Hollywood pasti akrab dengan adegan penangkapan pelaku kejahatan oleh polisi. Biasanya, seorang polisi akan menyuruh tersangka mengangkat tangan sambil membalikkan badan. Pada saat memborgol tangan tersangka, akan meluncur sebuah kalimat panjang dari si polisi. Siapa pun polisinya, selagi masih di Amerika Serikat, pasti kalimatnya sama.

Kalimat itu berbunyi: You have the right to remain silent. Anything you say can and will be used against you in a court of law. You have the right to speak to an attorney, and to have an attorney present during any questioning. If you cannot afford a lawyer, one will be provided for you at government expense.

Jika diindonesiakan, kalimat itu akan menjadi: Anda berhak untuk tetap diam. Apa pun yang Anda katakan bisa dan akan digunakan (sebagai bukti) terhadap Anda di pengadilan. Anda berhak untuk menunjuk pengacara yang hadir saat diperiksa. Jika Anda tidak mampu menghadirkannya, seorang pengacara akan ditunjuk untuk Anda.

Ya kalimat itu adalah Miranda Warning (Peringatan Miranda), sebuah sistem yang diciptakan untuk melindungi hak-hak tersangka serta mencegah kesewenang-wenangan penyidik terhadap tersangka. Dalam kalimat itu terkandung makna bahwa seorang tersangka berhak untuk diam selama pemeriksaan, menolak menjawab pertanyaan jika dirasa menjebak, tidak mendapat perlakuan kasar, dan selama pemeriksaan selalu didampingi pengacara.

Tidak sampai di situ, pada 2004 lalu Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa polisi harus mengeluarkan peringatan dulu sebelum mengajukan pertanyaan kepada seseorang yang diduga melakukan kejahatan. Artinya, kewenangan polisi untuk memeriksa seorang tersangka lebih diperketat. Bagi sistem hukum di AS, hal ini terbilang wajar karena pembuktian di pengadilan lebih mengutamakan alat bukti ketimbang keterangan saksi.

Miranda Warning atau kerap juga disebut Miranda Right dan Miranda Rules lahir merujuk pada nama Arturo Ernesto Miranda, pria yang pada 1963 masih berusia 23 tahun. Miranda ditangkap sebagai tersangka penculikan dan pemerkosaan remaja di Phoenix Arizona. Setelah diinterogasi penyidik sekitar dua jam, Miranda akhirnya mengaku sebagai pelaku. Ia menandatangani BAP. Pada bagian akhir BAP tertulis bahwa Miranda menjawab secara sukarela, tanpa paksaan, dan paham akan hak-hak hukumnya. Di pengadilan Arizona, Miranda terancam hukuman 20 tahun penjara. Ia banding.

Kasus Miranda versus Arizona itu akhirnya bergulir ke MA. Pada 1966, MA memutus perkara ini dengan suara 5 berbanding 4. Mayoritas hakim berpendapat pengakuan Miranda diberikan ketika hak-haknya tidak dalam perlindungan. Selain itu, saat pemeriksaan Miranda tidak didampingi pengacara. Miranda kemudian disidang ulang dan didakwa dengan bukti-bukti baru. Dia divonis 11 tahun penjara dan dibebaskan bersyarat pada 1972.

Keluar penjara, Miranda justru tewas dalam perkelahian bersenjata pisau. Ironisnya, kepada tersangka penusuk, polisi membacakan Peringatan Miranda. Lebih ironis lagi, di saku Miranda ditemukan kertas-kertas seukuran kartu nama berisi Peringatan Miranda! Walaupun Miranda mati secara mengenaskan di sebuah bar, putusan kasusnya dianggap sebagai salah satu tonggak sejarah dalam sistem peradilan AS.

Di Indonesia, acuan semacam Miranda Warning tidak ada. Perlindungan terhadap hak tersangka dan bantuan hukum hanya ditemukan pada Pasal 54 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Disebutkan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum di setiap tingkat pemeriksaan guna kepentingan pembelaan dirinya. Kalau ditahan penyidik, seseorang dapat menghubungi penasihat hukum. Kalau tak mampu, negara bisa menyediakan.

Sayang, ketentuan ini jarang dipenuhi. Kerap ditemukan seorang tersangka yang melakukan tindak pidana dengan ancaman di atas lima tahun, diperiksa tanpa didampingi penasihat hukum. Masalah lainnya, kurangnya pengetahuan masyarakat akan hak-hak mereka di depan hukum, sehingga hal itu dianggap biasa.

Ada dua hal yang kemungkinan bisa terjadi jika ketentuan ini tak dipenuhi aparat penegak hukum. Pertama, besar kemungkinan tersangka yang tertekan atau ditekan karena diperiksa tanpa penasihat hukum akan memberi pengakuan sesuai keinginan polisi atau jaksa. Jika ini terjadi dan tersangka kemudia dihukum, berarti telah terjadi peradilan sesat. Sejarah hukum di Indonesia mencatat nama-nama Sengkon dan Karta, Paeran dan Ponirin, Taliso Goa, dan terakhir trio Kemat, David dan Sugik, yang menjadi korban peradilan sesat.

Kedua, jika dalam pemeriksaan di pengadilan diketahui terdakwa tidak mendapatkan hak-haknya selama penyidikan, bukan tak mungkin terdakwa akan lolos dari jerat hukum. Salah satu yurisprudensi terkait hal ini adalah putusan No.367 K/Pid/1998.

Register perkara ini merujuk pada kasus pembunuhan sadis La Makka, warga Dusun Tanatemparee, Palippu, Wajo, Sulawesi Selatan. Diduga pelakunya adalah La Noki bin La Kede, warga setempat yang tak lain adalah saudara kandung korban. Pengadilan Negeri Wajo menghukum terdakwa 12 tahun penjara lantaran terbukti melakukan pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP). Lantaran dihukum lebih berat dari tuntutan jaksa, terdakwa La Noki mengajukan banding. Namun, Pengadilan Tinggi Ujung Pandang menguatkan hukuman semula, bahkan memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan.

Nasib La Noki berubah seratus delapan puluh derajat di tingkat kasasi. Majelis hakim agung yang beranggotakan H. Kahardiman, H. Tjung Abdul Muthalib, dan H. Achmad Kowi membatalkan putusan banding. Permohonan kasasi jaksa dinyatakan tidak dapat diterima. Hakim memerintahkan La Noki segera dibebaskan dari tahanan.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim agung menyitir fakta yang terungkap bahwa selama tiga kali penyidikan di kepolisian dan satu kali di kejaksaan, terdakwa tak pernah didampingi penasihat hukum. Walaupun di pengadilan La Noki didampingi pengacara, hakim agung menilai ada kesalahan dalam penyidikan. Tersangka yang tidak didampingi penasihat hukum selama penyidikan, dinilai majelis bertentangan dengan Pasal 56 KUHAP, sehingga Berita Acara Penyidik dan Penuntut Umum batal demi hukum.

Seandainya sejak awal seorang tersangka sudah diberitahu tentang hak-hak yang dimilikinya, tentu semua itu tak akan terjadi. Sayang, kita tak pernah belajar dari kesalahan. Alih-alih untuk belajar, kesalahan demi kesalahan yang terus dilakukan tak kunjung membuat kita sadar, bahwa urusan hukum adalah persoalan hidup dan mati seseorang.

Setiap kali akan memeriksa seorang tersangka, sejatinya seorang polisi mengingat nasib Sengkon dan Karta. Setiap kali akan menulis BAP, tak ada salahnya penyidik merasakan penderitaan Paeran dan Ponirin. Tatkala menyidik seorang tersangka, alangkah bijaknya jika jaksa menjadikan kesalahan penanganan kasus pembunuhan Asrori sebagai pegangan. Ironisnya, aparat penegak hukum kita lebih suka mencari kepuasan dengan mempermainkan hidup seseorang ketimbang memenuhi hak-haknya selaku manusia.




Sejarah Miranda Warning (1)




Sejarah Miranda Warning (2)




Penjelasan tentang Miranda Warning




Kampanye bagi hak-hak tersangka



Rabu, 03 Desember 2008

Funtwo, Canon, dan YouTube

Pria berkacamata itu duduk di antara meja dan ranjang di kamar tidurnya. Di tangannya ada sebuah gitar listrik. Topi bisbol yang dipakainya tak bisa menutupi sosoknya yang masih muda. Intro lagu klasik era barok bertajuk Canon in D Mayor kemudian terdengar. Berbarengan dengan itu, jari-jari si pemuda gesit menggerayangi seluruh leher gitar. Raungan gitar ala rockers lantas menyerbu Canon yang klasik. Canon yang biasanya diperdengarkan dalam upacara pernikahan di gereja itu mendadak sontak berubah menjadi lagu rock.

Tayangan itu hanya berlangsung 5 menit 20 detik. Tapi, waktu sesingkat itu sudah cukup membuat penontonnya di kanal YouTube kaget dan penasaran. Pemuda yang menamakan dirinya Funtwo itu kemudian menjadi terkenal. Bayangkan, dalam tempo enam bulan, hampir 9 juta kali videonya diklik. Dan saat ini, memasuki tahun ketiga video itu dipublikasikan, tercatat hampir 53 juta kali video itu ditonton. Maka, sosok misterius yang selalu menyembunyikan wajahnya itu pun mulai dicari identitasnya dan mendadak menjadi selebritis.

Adalah koran terkemuka di Amerika Serikat, The New York Times, yang kemudian berusaha melacak keberadaan Funtwo yang dijuluki sebagai Most Watched Videos of All Time itu. Investigasi itu tak sia-sia. Koran itu mendapat hasilnya, Funtwo adalah pemuda Korea Selatan bernama asli Lim Jeong-Hyun, berusia 23 tahun.

Lim mengaku sejak videonya tampil di YouTube banyak yang mencoba menghubungi. "Telepon dan email datang tak pernah berhenti," ujarnya saat diwawancarai Reuters. Sejak itu pula dia mulai rutin didatangi berbagai media untuk keperluan wawancara, termasuk CNN. Tapi, Lim tetap rendah hati. "Saya terkenal bukan karena permainan gitar, tapi karena aransemen lagu Canon-nya Pachelbel yang diaransemen ulang oleh Jerry Chang yang sebelumnya sudah sangat populer," jelasnya.

Lim benar sekali. Canon in D Mayor adalah gubahan Johann Pachelbel, komposer kelahiran 1 September 1653 di Nuremberg, Jerman. Pachelbel merupakan maestro dari masa Barouque. Canon yang dibuka dengan cello atau bass, biola dan harpa dengan total 28 variasi komposisi memang sudah lebih dulu terkenal. Gubahan ini diakui sebagai salah satu karya masterpiece di dunia musik. Tak heran jika kemudian gubahan ini kerap diaransemen ulang grup musik lain.

Namun, yang sangat luar biasa tentulah aransemen Canon Rock oleh Jerry C, musisi dan aranjer kelahiran Taiwan 31 Agustus 1981 dan bernama lengkap Jerry Chang. Ia menggubah Canon in D Mayor menjadi progresif rock. Hasil karyanya dipamerkan melalui website pribadinya. Dari tablature di website inilah, seorang musisi misterius yang menyebut dirinya Funtwo memainkan aransemen JerryC dan ditampilkan di YouTube.

Kendati Jerry yang menggubahnya, permainan gitar Funtwo lebih dikenal saat membawakan Canon Rock. Di tangannya, Canon Rock berubah sangat liar, namun harmonisasi tetap terjaga dan nada yang dihasilkan sangat bersih. Funtwo menggabungkan semua tehnik gitar sweep-picking, bendding, partikular harmonik, harmonisasi suara satu, dua, tiga pada gitar, serta distorsi disajikan super cepat, menjelajah kesemua grip gitar.

Di pertengahan musik ia memasukkan beat Hip-Hop, sementara pada versi klasiknya menggunakan harpa. Pemilihan suara dan efek juga sangat membuat yang mendengar tidak bosan apalagi pada nada ”outside” nya. Bahkan, Funtwo tidak kehilangan satu nada pun dari versi aslinya. Tak heran, The New York Times menjuluki Funtwo sebagai The New Jimmy Hendrix.





Video Canon Rock dari Funtwo yang menggetarkan itu





Penampilan Funtwo di kediaman Dubes Korsel di Washington





Tampil bareng dengan Joe Satriani dalam YouTube Live





Jerry Chang, si penggubah Canon Rock di kamar butut





Canon in D Mayor versi asli Johann Pachelbel


Minggu, 09 November 2008

Teks Pidato Kemenangan Obama

[Berikut adalah terjemahan oleh Arya Nasoetion dari pidato Senator Barack Obama di Grant Park, Chicago, Illinois, setelah memenangkan Pemilihan Presiden AS pada Selasa 4 November 2008. Obama terpilih menjadi Presiden AS ke-44, juga menjadi orang Afro-Amerika pertama dalam sejarah AS yang menempati posisi puncak dengan cepat dari seorang senator ke Gedung Putih. Mendengar serta membaca pidato Obama, tak heran jika banyak warga AS, bahkan warga dunia, menitikkan air mata. Sebuah orasi yang sangat memukau, rendah hati, jujur, dan santun, sebagaimana awal mula publik AS mengenal sosoknya saat berpidato pada Konvensi Nasional Partai Demokrat tahun 2004]



Halo Chicago,

Jika masih ada yang meragukan Amerika adalah sebuah tempat di mana segala sesuatu mungkin untuk terjadi, yang masih bertanya-tanya apakah impian para pendiri negara ini masih hidup sampai saat ini, yang masih meragukan kekuatan dari demokrasi kita, malam ini adalah jawaban untukmu.

Jawaban ini berasal dari antrian yang terbentang di sekolah-sekolah dan gereja-gereja, dalam jumlah yang tidak pernah dilihat bangsa ini sebelumnya, oleh orang yang menunggu selama tiga jam, empat jam, banyak di antara mereka yang melakukannya untuk pertama kali dalam hidup mereka, karena mereka percaya bahwa sekarang pasti berbeda, bahwa suara-suara mereka bisa menjadi perbedaan itu.

Jawaban ini diucapkan oleh tua dan muda, kaya dan miskin, demokrat dan republiken, kulit hitam-putih, hispanik-asia, Amerika asli, gay, normal, cacat maupun tidak, orang-orang Amerika yang mengirimkan pesan pada dunia bahwa kita tidak pernah hanya berupa sekumpulan individual atau sekumpulan negara-negara bagian merah dan biru, kita selalu
menjadi dan akan tetap menjadi Amerika Serikat.

Jawaban ini diberikan oleh mereka yang selalu dipandang dengan sinis oleh banyak orang, dianggap penakut, dan peragu tentang apa yang bisa kita raih, untuk meletakkan tangan mereka di atas gerbang sejarah dan sekali lagi menuju harapan hari yang lebih baik.

Sudah sangat lama sekali. Tapi malam ini, dikarenakan apa yang sudah kita lakukan hari ini, dalam pemilu ini, dalam saat yang menentukan ini, perubahan telah datang ke Amerika.

Beberapa saat yang lalu malam ini, saya menerima sebuah telepon yang luar biasa rendah hatinya dari Senator McCain. Senator McCain telah berjuang dengan gigih dan lama di kampanye ini, dan dia bahkan telah berjuang lebih gigih dan lebih lama lagi untuk negara yang dia cintai. Dia telah bertahan menghadapi cobaan-cobaan untuk Amerika, yang bahkan tidak bisa dibayangkan oleh kebanyakan dari kita. Kita menjadi lebih baik karena jasa yang diberikan oleh pemimpin yang berani dan tidak egois ini.

Saya mengucapkan selamat padanya, saya ucapkan selamat pada Gubernur Palin, atas segala pencapaian mereka, dan saya sangat menantikan untuk bekerja sama dengan mereka, untuk memperbaharui janji-janji bangsa ini dalam bulan-bulan mendatang.

Saya ingin berterima kasih rekan saya dalam perjalanan ini, seseorang yang berkampanye dari dalam hatinya, dan berbicara untuk pria dan wanita yang tumbuh besar bersamanya di jalanan Scranton dan teman seperjalanan pulang di kereta ke rumahnya di Delaware. Wakil Presiden Terpilih Amerika Serikat, Joe Biden.

Dan saya tidak akan berdiri di sini malam hari ini tanpa dukungan yang tak kenal lelah dari sahabat saya selama 16 tahun terakhir ini, kekuatan dalam keluarga kami, cinta dalam hidup saya, Ibu Negara bangsa ini yang berikutnya, Michelle Obama.

Sasha dan Malia, saya mencintai kalian berdua lebih dari yang bisa kalian bayangkan, dan kalian berhak mendapatkan anak anjing baru yang akan ikut kita ke Gedung Putih.

Dan meski pun dia tidak lagi bersama kita, saya tahu nenek saya sedang menyaksikan bersama keluarga yang telah menjadikan saya seperti sekarang ini, saya merindukan mereka malam ini, saya tahu hutang saya pada mereka tak terhingga jumlahnya. Kepada saudari saya Maya, saudari saya Auma, dan semua saudara dan saudari saya yang lain, terima kasih banyak atas dukungan yang telah kalian berikan pada saya. Saya sangat berterima kasih pada mereka.

Kepada manajer kampanye saya, David Plouffe, pahlawan tak dikenal dari kampanye ini, yang telah membangun kampanye politik, yang saya rasa, terbaik sepanjang sejarah Amerika. Kepada ketua strategi saya, David Axelrod yang telah menjadi rekan saya sepanjang jalan ini. Kepada tim kampanye terbaik yang pernah dibentuk dalam sejarah politik, kalianlah yang memungkinkan ini terjadi, dan saya selamanya berterima kasih atas segala pengorbanan kalian untuk mewujudkan hal ini.

Tapi di atas semua, saya tidak pernah melupakan pemilik sesungguhnya dari kemenangan ini. Kemenangan ini adalah milik Anda, kemenangan ini adalah milik Anda. Saya tidak pernah menjadi kandidat yang paling mungkin untuk jabatan ini. Kita tidak memulai dengan banyak uang dan dukungan. Kampanye kita tidak terpusat di aula-aula di Washington. Kampanye ini dimulai di halaman belakang rumah, di ruang keluarga, di teras depan. Kampanye ini dibangun oleh pria dan wanita pekerja keras yang menggali tabungan mereka yang hanya sedikit dan menyumbangkan 5 dolar, 10 dolar, 20 dolar untuk tujuan ini. Kampanye ini mendapatkan kekuatan dari orang-orang muda yang menolak mitos bahwa generasi mereka tidak mampu, yang mencintai rumah mereka, dan keluarga mereka untuk sebuah pekerjaan yang bergaji kecil dan waktu kerja yang panjang. Kampanye ini mendapatkan kekuatan dari orang-orang yang tidak begitu muda lagi, yang menantang dingin yang menggigit dan panas yang membara untuk mengetuk pintu orang-orang asing, dan dari jutaan orang Amerika yang secara sukarela mengorganisir dan membuktikan pada kita bahwa dua abad kemudian sebuah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat belumlah musnah dari muka bumi. Ini adalah kemenangan kalian.

Dan saya tahu Anda melakukan ini tidak hanya untuk memenangkan sebuah pemilu. Saya tahu Anda tidak melakukan ini untuk saya. Anda melakukannya karena Anda paham beratnya tugas-tugas yang ada di masa depan. Karena bahkan ketika kita merayakan malam ini, kita tahu tantangan yang akan dibawa oleh masa depan, adalah yang terberat sepanjang hidup kita. Dua perang, sebuah planet yang terancam hancur, krisis finansial yang terparah selama seabad terakhir.

Bahkan pada saat kita berdiri di sini malam ini, kita tahu ada warga negara Amerika yang berani baru terbangun dari tidurnya di padang pasir Irak, di pegunungan Afghanistan untuk mempertaruhkan nyawa mereka untuk kita. Ada orangtua yang tetap terjaga setelah anak-anak mereka tertidur dan bertanya bagaimana cara membayar hipotek rumah, atau membayar tagihan kesehatan, atau menabung agar dapat menyekolahkan anak-anak mereka ke perguruan tinggi.

Ada energi baru untuk dimanfaatkan, pekerjaan baru untuk diciptakan, sekolah-sekolah baru untuk dibangun, juga ancaman-ancaman untuk dihadapi, persekutuan untuk diperbaiki. Jalan ke depan akan panjang. Kita harus mendaki gunung tinggi. Kita mungkin tidak akan berhasil dalam setahun atau bahkan dalam satu masa jabatan. Tapi, Amerika, belum pernah saya memiliki harapan sebesar malam ini bahwa kita akan berhasil mencapainya. Saya berjanji pada Anda, kita sebagai sebuah bangsa akan mencapainya.

Akan ada langkah mundur, dan awal yang salah. Akan ada banyak di antara kalian yang tidak sependapat dengan tiap kebijakan yang saya keluarkan sebagai presiden. Dan kita tahu pemerintah tidak bisa menyelesaikan setiap masalah. Tapi saya akan selalu jujur pada Anda tentang tantangan yang kita hadapi. Saya akan mendengarkan Anda, terutama pada saat kita tidak sependapat. Dan di atas semua itu saya akan minta Anda untuk bergabung dalam pekerjaan untuk membangun kembali bangsa ini, dengan satu-satunya cara yang telah dilakukan selama 221 tahun di Amerika. Blok per blok, bata per bata, ruang per ruang.

Apa yang dimulai 21 bulan yang lalu di sebuah malam musim dingin tidak bisa berakhir pada malam musim gugur ini. Kemenangan ini sendiri bukanlah perubahan yang kita cari. Ini hanyalah sebuah kesempatan untuk membuat perubahan itu. Dan itu tidak bisa terjadi bila kita kembali ke saat-saat sebelumnya. Perubahan itu tidak bisa terjadi tanpa Anda. Tanpa semangat melayani yang baru, semangat berkorban yang baru. Jadi marilah kita menciptakan sebuah semangat yang baru, semangat patriotisme, rasa tanggung jawab, di mana masing-masing dari kita menjadi patriot dan bekerja lebih keras serta tidak hanya menjaga diri sendiri tapi saling menjaga.

Marilah kita mengingat bila ada pelajaran yang bisa dipetik dari krisis finansial ini, adalah kita tidak bisa memiliki sebuah “Wall Street” yang jaya tapi jalan yang lain menderita. Dalam bangsa ini, kita bangkit dan jatuh sebagai satu kesatuan. Mari kita menolak untuk kembali ke budaya partisan dan kelompok, dan ketidakdewasaan yang telah mencemari politik kita sekian lamanya. Marilah kita ingat bahwa seorang pria dari negara bagian ini yang pertama kali membawa bendera Partai Republik di Gedung Putih, sebuah partai yang didirikan dengan nilai-nilai kemandirian, dan kebebasan individu dan persatuan nasional. Semua itu adalah nilai-nilai yang kita semua yakini. Dan meskipun Partai Demokrat mendapatkan kemenangan besar malam ini, kita melakukannya dengan segala kerendahan hati, dan kegigihan yang telah mengobati apapun yang selama ini menghambat kemajuan kita.

Seperti yang pernah Lincoln katakan ke sebuah bangsa yang jauh lebih terkotak-kotak dibandingkan kita, kita bukanlah musuh tapi teman. Meskipun nafsu bisa membuat hubungan kita tegang, tapi tidak boleh memutuskan ikatan kasih sayang di antara kita. Kepada warga negara Amerika yang dukungannya belum saya dapatkan, saya mungkin tidak mendapatkan suara Anda malam ini, tapi saya mendengar suara-suara Anda. Saya membutuhkan bantuan kalian. Dan saya akan menjadi presiden Anda juga.

Dan untuk semua yang malam ini menyaksikan dari luar pantai-pantai kita, dari gedung-gedung parlemen dan istana-istana, bagi mereka yang mendengarkan dari radio di sudut dunia yang terlupakan, cerita kita satu dan nasib kita saling terhubung. Fajar baru kepemimpinan Amerika sedang menyingsing. Kepada kalian yang meruntuhkan dunia, kami akan mengalahkan kalian. Kepada kalian yang mencari perdamaian dan keamanan, kami mendukung kalian. Dan untuk mereka yang masih bertanya-tanya apakah pemancar-pemancar Amerika masih menyala terang, malam ini kita kembali membuktikan bahwa kekuatan sesungguhnya dari bangsa kita bukan datang dari letusan senjata kita atau dari kekuatan ekonomi kita tapi dari kekuatan ide-ide kita yang terus bertahan, demokrasi, kebebasan, kesempatan, dan harapan yang tak tergoyahkan.

Itulah arti Amerika yang sesungguhnya. Bahwa Amerika bisa berubah. Persatuan kita bisa disempurnakan. Apa yang telah kita capai memberikan harapan tentang apa yang bisa dan harus kita capai besok. Pemilu ini mencatat banyak pertama kali-pertama kali dan banyak cerita yang akan diceritakan selama beberapa generasi, tapi satu yang ada di kepala saya malam ini adalah tentang seorang wanita yang menggunakan hak pilihnya di Atlanta. Dia sama seperti warga negara lain yang mengantre dan menyuarakan pendapatnya di pemilu ini kecuali untuk satu hal, Anne Nixon-Cooper berusia 106 tahun. Dia dilahirkan hanya selang satu generasi setelah perbudakan dihapuskan, sebuah masa di mana tidak ada mobil di jalanan dan pesawat di angkasa, di mana seseorang sepertinya tidak bisa memilih karena dua alasan yaitu karena dia wanita dan warna kulitnya. Dan malam ini, saya berpikir tentang apa saja yang telah dilihatnya dalam seabad kehidupannya di Amerika. Masa sulit dan harapan, perjuangan dan kemajuan, masa-masa di mana kita diberitahu bahwa kita tidak bisa, dan orang-orang yang terus melawan dengan nilai Amerika itu, “Ya, kita bisa.”

Masa di mana suara wanita dibungkam dan harapan mereka diabaikan. Dia hidup untuk melihat mereka bangkit, bersuara dan menuju tempat pemungutan suara, “Ya, kita bisa.”

Ketika keputusasaan menyebar dan debu berjatuhan, depresi di seluruh negeri, dia melihat sebuah negeri menaklukkan rasa takutnya dengan perjanjian baru, pekerjaan baru, rasa tujuan bersama yang baru, “Ya, kita bisa.”

Ketika bom berjatuhan di pelabuhan kita, dan tirani mengancam dunia, dia ada untuk menyaksikan sebuah generasi bangkit menuju kejayaan dan demokrasi diselamatkan. “Ya, kita bisa.”

Dia ada untuk bus-bus di Montgomery, rumah-rumah di Birmingham, jembatan-jembatan di Selma, dan pendakwah dari Atlanta yang memberitahu orang-orang bahwa kita akan bertahan, “Ya, kita bisa.”

Seorang pria menjajakkan kaki di bulan, sebuah tembok runtuh di Berlin, sebuah dunia terhubung oleh ilmu pengetahuan dan imajinasi kita sendiri, dan tahun ini di pemilu ini, dia menyentuhkan jarinya ke sebuah layar, dan menentukan pilihannya, karena setelah 106 tahun hidupnya di Amerika, melalui masa-masa senang maupun susah, dia tahu bagaimana Amerika bisa berubah, “Ya, kita bisa.”

Amerika, kita sudah berjalan begitu jauh, kita sudah melihat begitu banyak hal, tapi masih banyak lagi yang harus dilakukan. Jadi malam ini mari kita tanyakan pada diri kita sendiri, jika anak perempuan saya bisa hidup untuk melihat abad berikutnya, jika anak saya begitu beruntung untuk bisa hidup selama Anne Nixon-Cooper, perubahan apa yang akan mereka lihat? Kemajuan apa yang telah kita buat? Inilah kesempatan kita untuk menjawab pertanyaan itu. Inilah saat kita.

Inilah waktu kita untuk kembali menempatkan rakyat kita dalam pekerjaan, membuka pintu-pintu kesempatan bagi anak-anak kita. Untuk mengembalikan kesejahteraan dan menciptakan tujuan-tujuan perdamaian, untuk kembali meng-klaim impian Amerika dan kembali memastikan kenyataan yang mendasar bahwa meski berbeda-beda kita adalah satu. Bahwa pada saat kita bernafas kita juga berharap dan ketika kita berhadapan dengan sinisme dan keraguan dan mereka yang menyatakan bahwa kita tidak bisa, kita akan membalas dengan nilai yang tidak berujung waktu itu yang merupakan inti dari semangat rakyat, “Ya, kita bisa.”

Terima kasih. Tuhan memberkati Anda dan semoga Tuhan memberkati Amerika Serikat.[]




Video Pidato Kemenangan Obama




Anne Nixon-Cooper




Reaksi Dunia Atas Kemenangan Obama




Liputan Al Jazeera dari Menteng



Catt: Akan lebih seru membaca terjemahan pidato Obama sambil menyaksikan videonya. Ada juga video tentang Anne Nixon-Cooper, sosok yang cukup panjang dibahas Obama dalam pidatonya.


Kamis, 06 November 2008

Adam Malik Agen CIA?

Rinaldo

Seperti biasa, awal Oktober lalu saya memasuki sebuah toko buku di Mal Ambasador, Kuningan, Jakarta Selatan. Tujuannya tak lain untuk membeli majalah F1 Racing dan Cinemags. Majalah F1 Racing edisi Oktober tampil dengan laporan balapan F1 malam hari yang pertama kali digelar di Singapura. Sedangkan Cinemags mengupas Quantum of Solace, sekuel film James Bond, Casino Royale.

Sebelum menuju kasir, mata saya tiba-tiba terpikat pada sebuah buku yang cukup tebal dengan sampul berwarna merah. Judulnya Membongkar Kegagalan CIA: Spionase Amatiran Sebuah Negara Adi Daya. Tanpa pikir panjang saya langsung ambil dan bawa ke kasir.

Sudah cukup lama rasanya saya tidak membaca buku yang bagus tentang spionase. Terakhir adalah Spy Catcher, buku yang sempat menghebohkan karena ditulis oleh mantan Deputi Direktur Dinas Rahasia Inggris MI5, Peter Wright. Namun, itu sudah lama saya beli, sekitar dua dasawarsa silam, ketika masih duduk di bangku SMA.

Kini saya berharap buku ini bisa memberi kepuasan serupa. Harapan itu agaknya tak berlebihan. Penulisnya, Tim Weiner, bukanlah penulis kacangan. Dia pernah meraih penghargaan Pulitzer untuk kategori National Reporting atas laporan berseri yang dimuat di harian The Philadelphia Inquirer tentang rahasia anggaran untuk Pentagon.

Sejak awal buku ini sudah menawarkan fakta kelam tentang perjalanan dinas rahasia yang kondang itu. Ditulis di buku ini, sejak mulai berkuasa di Kuba, Fidel Castro sudah menjadi incaran CIA. Berbagai cara untuk membunuhnya dilakukan dengan seizin Presiden AS. Diracun, ditembak, serta dikudeta. Kenyataannya, hingga kini Castro tetap berkuasa, sementara Presiden AS yang merencanakan pembunuhan sudah pada mangkat.

Tidak hanya itu, dari puluhan ribu dokumen serta wawancara dengan agen, Weiner juga menuliskan satu per satu negara yang menjadi target kudeta CIA. Beberapa sukses, tapi lebih banyak yang gagal. Termasuk kegagalan CIA mendeteksi insiden Teluk Babi, mengendus pembunuh Presiden Kennedy, skandal Watergate, sampai informasi bohong dari dinas ini yang membuat AS menyerang Irak.

Namun, yang paling mengagetkan tentu saja fakta keterlibatan CIA dalam peta politik di Indonesia. Semuanya diawali saat Indonesia memasuki masa pergolakan di tahun 1958. Sudah umum diketahui bahwa AS (melalui agen-agen CIA) turut membantu kaum pemberontak yang terlibat dalam Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) di Sumatra dan Sulawesi. Untuk yang ini, AS mengaku gagal.

Yang masih menjadi pertanyaan, apakah AS ikut terlibat dalam tragedi berdarah pada tanggal 1 Oktober 1965? Dalam buku ini, rahasianya mulai terkuak dan cukup membuat saya tercengang. Di halaman 331 buku ini, disebutkan bahwa Adam Malik, tokoh yang banyak memegang jabatan penting di republik ini, adalah agen bentukan CIA.

"Saya merekrut dan mengontrol Adam Malik. Dia adalah pejabat Indonesia tertinggi yang pernah kami rekrut," ujar perwira CIA di Jakarta waktu itu, Clyde McAvoy, dalam wawancara dengan penulis buku ini. Tidak sampai di situ kekagetan saya. Konon, melalui Adam Malik pula kemudian CIA mengonsolidasikan tokoh yang disebut Tiga Serangkai, yaitu Adam Malik, Mayjen Soeharto, dan Sultan yang berkuasa di Jawa Tengah (mungkin maksudnya Sri Sultan Hamengku Buwono IX).

Selama era peralihan kekuasaan itu, Adam Malik disebutkan beberapa kali bertemu dengan Duta Besar AS untuk Indonesia, Marshall Green, di tempat yang dirahasiakan. Adam Malik yang selalu bertindak sebagai penghubung Tiga Serangkai juga disebutkan menerima bantuan ribuan dolar serta daftar nama puluhan orang yang terindikasi sebagai anggota PKI.

Entah kebetulan atau tidak, di awal Orde Baru, ketiganya menjabat di posisi terpenting negeri ini. Soeharto menjadi Presiden RI, Sri Sultan menjabat Wakil Presiden RI, dan Adam Malik sebagai Menteri Luar Negeri RI. Hebatnya lagi, sesaat setelah dilantik sebagai Menlu RI, Adam Malik diundang ke Gedung Putih dan sempat berbicara selama 20 menit dengan Presiden AS Lyndon Baines Johnson.

Konon, atas dukungan AS pula Adam Malik kemudian terpilih menjadi Ketua Sidang Umum PBB, sebelum kemudian menjadi orang nomor dua menggantikan Sri Sultan sebagai Wakil Presiden RI. CIA sendiri menegaskan tak terlibat dalam peristiwa G-30/S PKI, namun membenarkan telah menunggangi tragedi itu untuk kepentingan AS.

Sulit untuk membantah fakta ini. Pertama, data yang dibeberkan berasal dari dokumen rahasia CIA yang belum lama ini dibuka. Untuk menulis buku ini, Weiner telah melahap sekitar 50 ribu dokumen dan mewawancarai belasan mantan Direktur CIA serta ratusan perwira lapangan lembaga itu.

Kedua, kita tak bisa mengonfirmasi kebenaran cerita itu kepada nama-nama yang disebutkan Weiner karena mereka sudah meninggal. Namun, sulit untuk dibantah adanya campur tangan AS dalam peristiwa berdarah itu. Banyak sudah buku yang ditulis untuk membongkar konspirasi AS dan petinggi TNI AD, meski semuanya sulit dibuktikan.

Terlepas dari benar atau tidaknya Adam Malik Connection tersebut, buku Weiner ini sangat layak dibaca penggemar spionase. Banyak kasus-kasus besar di dunia sejak berakhirnya Perang Dunia II ternyata tak lepas dari campur tangan intelijen AS. Dan, tak sedikit pula yang berakhir tragis.

Melalui buku ini kita jadi tahu, AS tak sebesar nama yang disandangnya, dan CIA juga tak ubahnya tempat berkumpul intel-intel Melayu yang hanya menang pamor, namun kalah di lapangan.***


Markas Besar CIA di Langley, Virginia.


Adam Malik dan Bukunya


Fakta Sejarah Kelam CIA


"Saya merekrut dan mengontrol Adam Malik. Dia adalah pejabat Indonesia tertinggi yang pernah kami rekrut," ujar perwira CIA di Jakarta waktu itu, Clyde McAvoy.


Sesaat setelah dilantik sebagai Menlu RI, Adam Malik diundang ke Gedung Putih dan sempat berbicara selama 20 menit dengan Presiden AS Lyndon Baines Johnson.


Untuk menulis buku ini, Weiner telah melahap sekitar 50 ribu dokumen dan mewawancarai belasan mantan Direktur CIA serta ratusan perwira lapangan lembaga itu.


Melalui buku ini kita jadi tahu, CIA tak ubahnya tempat berkumpul intel-intel Melayu yang hanya menang pamor, namun kalah di lapangan.





Selasa, 28 Oktober 2008

Empat Menguak Takdir

Mungkin tak banyak yang tahu kalau Newsroom di lantai 9 SCTV Tower terdiri dari beberapa divisi. Salah satunya adalah Divisi Website, yang bertugas menjaga kesinambungan content situs Liputan6.com. Personel di divisi ini sekitar 20 orang, yang dibagi menjadi bagian naskah dan grafis.

Ada yang unik dari divisi ini pada awalnya. Di antara personel yang ikut pindah dari kantor di Jalan Gatot Subroto ke Senayan City, hanya ada satu perempuan. Bayangkan, hanya satu wanita mungil di antara belasan pria berbadan besar. Ibarat kata orang, tak ubahnya perawan di sarang penyamun.

Namun, seiring berjalannya waktu, anggapan itu tak lagi tepat. Bahkan, berhadapan dengan wanita ini, personel Website yang lain malah seperti perjaka di sarang penyamun. Ya, selain bertubuh mungil, Yeni-demikian dia biasa dipanggil- bukan tipe wanita lembek. Sebaliknya, dia bisa garang dan menempatkan diri sebagai primadona di tengah keringnya suara perempuan di Website.

Tapi, satu kembang di tengah kerumunan kumbang jelas bukan padanan yang pas. Tidak heran, saat bekerja para kru dotcom ini kerap curi-curi pandang ke barisan meja di bagian paling depan, tepatnya ke bagian Sekretariat Redaksi Liputan 6. Kondisi keduanya memang jauh berbeda, kalau di Website penuh dengan pria-pria berwajah sangar, di Sekred Liputan 6 semuanya berisi para wanita imut dan elok dipandang. Nasib agaknya memang tak berpihak pada pria-pria ini.

Mungkin berkat sabar dan rajin berdoa, pelan tapi pasti berkah itu datang juga. Awalnya divisi ini kedatangan Ika, gadis yang awalnya terlihat pemalu dan penakut, ternyata seorang militan dan siap begadang di kantor jika dibutuhkan.

Selang beberapa bulan kemudian, nongol gadis imut lainnya bernama Naomi (tanpa Campbell tentunya). Kesan pertama seperti Ika, tapi ternyata dia lebih mirip Yeni kalo soal narsis-narsisan.

Masih belum cukup, tak lama setelah Naomi, datang muka baru dengan nama cuma pake inisial, PJ. Gadis yang masih tercatat sebagai mahasiswi London School ini memang tak bakal lama menghuni deretan kursi di Divisi Website, tapi PJ telah ikut memberi warna.

Yang jelas, kehadiran bidadari-bidadari (sekadar untuk membuat mereka senang) ini cukup membuat perubahan. Kalau kru dotcom dulunya suka ngepas datang ke kantor, kini satu jam sebelum bertugas sudah nongol di pintu lift. Yang dulunya suka pulang cepat bak penumpang ketinggalan bus, kini jadi betah di kantor dan tak peduli hari sudah malam, atau bahkan sudah pagi. Semoga saja, dengan kehadiran mereka kinerja Divisi Website makin oke.***


[untuk memperbesar gambar silahkah di-klik]


Yeni, yang paling senior di antara mereka, sehingga digelari Si Ratu Lebah. Paling narsis dan reseh.


Ika, tengah tersenyum berharap ada yang kepincut dengan lekukan bibirnya yang tak manis itu.


Naomi, dari hasil polling di Website, dia adalah wanita paling tampan.


PJ, sejak dia datang, lagu Hijrah ke London dari The Changcuters langsung ngetop di kantor.


Lihat di mejanya Yeni, mulai dari gelas, gentong air hingga kosmetik, tak boleh jauh-jauh.


Kalau Ika tak mau jauh-jauh dari sisir.


Sulit menemukan perempuan di antara tiga orang ini.


Yuniornya Tukul alias koperboi dan kopergil dadakan sedang berpose di perayaan ultahnya Ika.


Benar, menjual susu kambing adalah pekerjaan sampingan mereka.


Empat wanita yang menguak takdir di Website Liputan 6.


Ika paling kalem karena lagi ulang tahun, dia lagi mikir berapa isi rekening yang akan terkuras untuk mentraktir monster-monster omnivora dari dotcom.


Komposisi yang pas antara senior dan yunior di dotcom.


"Semoga di ulang tahun yang akan datang Kak Ika tak sendiri lagi," harap Naomi si rambut merah.


Ketika yang lain masih terlelap di pagi hari, keriuhan sudah terasa di Divisi Website.



Minggu, 05 Oktober 2008

Laskar Pelangi, Cermin Retak Dunia Pendidikan

Sepanjang Ramadhan silam, Laskar Pelangi menjadi topik hangat di antara beberapa teman di Newsroom. Bahasannya tak lain rasa penasaran akan kehadiran film yang diangkat dari novel laris karya Andrea Hirata itu. Jauh sebelumnya, prediksi bahwa novel ini akan difilmkan sudah mengemuka. Bahkan, beberapa teman sudah menebak-nebak sutradara yang akan mengangkat pengalaman hidup Ikal dan kawan-kawan ini ke layar lebar.

Misalnya, andai novel ini dibesut seorang sutradara spesialis film horor, tentulah sosok Tuk Bayan Tula yang akan mengemuka. Begitu pula jika Laskar Pelangi ditukangi sutradara film roman remaja, bisa dipastikan kisah asmara Ikal-Aling yang akan menjadi jualan. Syukurlah belakangan ternyata Riri Riza yang mendapat berkah itu, sehingga dipastikan nilai-nilai baik dalam novel ini tak akan hilang, khususnya pesan moral soal pendidikan.


Laskar Pelangi bukanlah novel pertama tentang pendidikan yang menguras perhatian saya. Jauh sebelumnya saya sudah dibuat terpesona oleh novel Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, buah karya Tetsuko Kuroyanagi. Satu tahun sejak diterbitkan pertama kali pada 1981, di Jepang saja novel ini sudah terjual 4,5 juta kopi. Entah berapa lagi yang terjual setelah Gramedia menerbitkannya dalam edisi bahasa Indonesia di tahun 1985.

Novel ini berkisah tentang pengalaman penulis yang akrab disapa Totto-chan saat bersekolah di Sekolah Dasar Tomoe Gakuen menjelang Perang Dunia II. Kalau dalam Laskar Pelangi penulisnya memuja Ibu Guru Muslimah, dalam buku ini si penulis memperlihatkan kekaguman pada sang Kepala Sekolah sekaligus gurunya Sosaku Kobayashi. Sang guru ini punya metode berbeda dalam mendidik murid-muridnya di sekolah tak resmi di gerbong kereta api yang tak lagi terpakai.


Menggugah memang, tapi buat saya, Laskar Pelangi jauh di atas itu. Selain cara penceritaan yang datar, Totto-chan tak banyak mengalami penderitaan saat bersekolah. Yang menonjol adalah uniknya sistem pendidikan yang diberikan Tuan Kobayashi. Sedangkan membaca Laskar Pelangi, batin saya langsung tertohok. Ada amarah, sakit hati, dan kegundahan membayangkan runyamnya pendidikan di negeri ini.


Jadi, ada harapan yang meluap bahwa filmnya juga akan memberi kepuasan kedua setelah membaca novelnya. Karena itu, dengan beberapa orang teman, di hari pertama pemutaran film ini pada 25 September lalu, sejak siang tiket sudah dipesan untuk jam penayangan malam hari. Berjubel dengan penonton lainnya, studio satu Plaza Senayan XXI pun penuh sesak Kamis malam itu.

Harapan tersebut tak berlebihan. Kendati ada beberapa segmen yang dirasa kuat di dalam novel tak tertuang di filmnya, Laskar Pelangi: The Movie tetap saja sebuah karya hebat. Segala kekurangan dan keluhan tertutup oleh akting luar biasa tiga bocah tokoh sentral cerita ini serta menawannya Cut Mini dan Ikranagara dalam bertutur.

Kekaguman itu pula yang membuat saya langsung mengangguk ketika dua adik saya yang masih duduk di bangku sekolah memaksa untuk menemani mereka menyaksikan film ini, dua hari setelah Lebaran di Hollywood KC 21. Bahkan, saat menonton untuk kedua kalinya, kekaguman, keharuan serta tawa kecil masih saja menyertai saya menonton film ini.


Semuanya menjadi terasa lengkap, ketika Minggu pagi kemarin Riri Riza dan Ikranagara hadir di Newsroom untuk berdialog dalam Liputan 6 Pagi. Dan entah kenapa, saya tak kaget ketika mendengar Riri mengatakan Laskar Pelangi sudah disaksikan hampir setengah juta penonton pada empat hari pertama penayangannya. Buat saya itu angka yang sangat wajar dan sudah bisa diprediksi.


Belum selesai di situ, Rabu (8/10) petang silam Riri datang lagi ke Newsroom. Kali ini agak ramai. Ada Andrea Hirata, Slamet Rahardjo, Kak Seto, Komarudin Hidayat, Ade Armando, Giring, dan beberapa pengamat sastra. Mereka masuk ke studio untuk rekaman perdana program Barometer, acara dialog pengganti Topik Minggu Ini. Puja dan puji untuk film ini kembali terlontar dari seluruh peserta dialog.


Saya percaya, film bisa mengubah cara berpikir dan bersikap seseorang. Tapi, saya skeptis mereka yang mengelola pendidikan di negeri ini akan tergugah usai menyaksikan Laskar Pelangi. Pasalnya, kisah Ikal bukan cerita masa lalu, tapi identik dengan saat ini. Cerita Ikal dengan sekolah reyot dan atap bocor tak sulit kita temukan saat ini. Itulah sebenarnya yang lebih menyakitkan.


Setelah lebih dari setengah abad UUD 1945 mengamanatkan kepada negara untuk menjadikan pendidikan sebagai hak setiap warga negara, pungutan ternyata makin menggila. Ketika pemerintah menaikkan anggaran pendidikan, berita tentang sekolah yang rubuh susul menyusul. Alih-alih menjadi tempat mendidik calon pemimpin bangsa, tak sedikit sekolah yang berubah menjadi lumbung uang bagi para guru yang memaksa murid membeli buku titipan penerbit.

Intinya, Laskar Pelangi bukan kisah buramnya dunia pendidikan di masa lalu, tapi bukti bahwa dunia pendidikan kita jalan di tempat. Selain menteri pendidikan, warna seragam, dan kurikulum, tak ada yang berubah dengan sistem pendidikan di negeri ini.


Jadi, kalau tertawa terlalu keras saat menonton Laskar Pelangi, Anda sama saja menertawakan diri sendiri. Kita lebih pantas untuk bersedih, karena mereka yang mengurusi pendidikan di negeri ini belum tentu mengerti maksud di balik film Laskar Pelangi.***


[untuk memperbesar gambar silahkah di-klik]


Beberapa hari sebelum nonton, bersama rekan-rekan di Newsroom menyaksikan liputan dari pemutaran premier Laskar Pelangi di Hollywood KC 21.


Sambil menyaksikan hasil liputan, diskusi jalan terus.


Newsroom seperti tersihir menyaksikan potongan adegan demi adegan.


Sesekali ada juga gelak tawa.


Pada hari penayangan perdana, siang-siang tiket sudah dipesan untuk pertunjukan malam.


Jauh sebelum filmnya dirilis, wallpaper Laskar Pelangi sudah menghiasi layar komputer.


Sayangnya tak bisa mengabadikan keramaian di Plaza Senayan XXI karena terus menerus dipelototin petugas security.


Usai Lebaran, antrean Laskar Pelangi di Hollywood KC 21 masih panjang, kendati ditayangkan di dua studio.


"Tiket ini akan Putri simpan untuk bukti ke teman-teman di sekolah," ujar cewek ini bangga.


Mudah-mudahan generasi penerus bangsa ini bisa berkaca dari film yang baru saja mereka tonton.


Juanita Wiraatmaja bersiap untuk mewawancarai Riri Riza dan Ikranagara di Liputan 6 Pagi.


"Empat hari pertama penayangan, Laskar Pelangi sudah disaksikan setengah juta penonton," ujar Riri.


"Untuk peran ini saya juga mencari sosok guru ideal semasa sekolah dulu agar bisa mengekplorasi peran," ujar Pak Harfan, nama Ikranagara kalau sedang berada di Pulau Belitung.


Rekaman tayangan dialog Barometer pun usai.


Ariyo Ardi, presenter SCTV, tengah merayu Giring agar bisa jadi additional vocal Nidji.


Andrea yang pertama ngacir karena tengah ditunggu Presiden Yudhoyono di Blitz Megaplex, Grand Indonesia, untuk nonton bareng.


Slamet Rahardjo dan yang slamet berfoto bareng aktor senior ini.


Sutradara Laskar Pelangi dan sutradara blog ini mejeng.


Kalau wartawan infotainment melihat foto ini, bakal jadi gosip di Halo Selebriti.


"Giring itu wangi lho," kata Syamsul, penikmat sastra dari Newsroom.


Malamnya, rekaman dialog itu pun ditayangkan SCTV.


Laskar Pelangi dan Totto-chan, ungkapan cinta dua orang murid terhadap sang guru.


Sabtu, 27 September 2008

Lebaran Itu Kesepian...

Jakarta boleh saja berbangga karena menjadi pusat perhatian masyarakat seantero Tanah Air. Banyak mereka yang tinggal di luar Ibu Kota berharap, bahkan bermimpi, untuk datang dan menetap di kota nan sesak ini. Tapi, semua itu sebenarnya semu. Mereka tetap lebih mencintai tanah kelahiran dibandingkan Jakarta.

Lihat saja tatkala Lebaran tiba, semua menghilang. Mobil-mobil yang biasanya memenuhi jalanan kini membawa tuannya mudik. Mereka yang biasanya lalu lalang di trotoar Ibu Kota, buru-buru pulang untuk bersilaturahmi. Maka jadilah Jakarta bak kota mati. Jakarta menjadi kota yang sepi, ditinggal orang-orang yang hanya memiliki cinta semu terhadap Jakarta.


Bagi yang tetap tinggal di Jakarta saat Lebaran, suasana yang ada bisa menjadi sangat menyiksa. Ketika teman, kerabat atau kekasih ikut mudik, tempat bersilaturahmi Lebaran pun menjadi berkurang. Lebih dari itu, mencari tempat makan, nongkrong, bahkan untuk membeli rokok, sulitnya minta ampun.

Kesepian juga dirasakan mereka yang tetap beraktivitas di hari Lebaran. Seperti kru Newsroom yang mendapat giliran masuk tepat saat takbir dikumandangkan pada 1 Oktober lalu. Kantor yang biasanya riuh berubah tenang. Hanya segelintir karyawan yang masuk untuk menjaga kesinambungan program SCTV.


Tapi jangan salah, ternyata ada juga yang memilih untuk ngantor ketimbang makan ketupat bersama keluarga atau bersilaturahmi ke tetangga. Salah seorang teman kami, sebut saja Ika, mengaku lega bisa masuk kantor di hari nan fitri ini. "Kalau tinggal di rumah, pasti bakal ditanyain sama saudara yang terus berdatangan soal kapan married dan siapa calonnya, capek jawabnya," jelas Ika. Sementara di kantor, Ika bisa bebas makan ketupat dan minum sirup tanpa ditanya macam-macam.


Jadi, berbanggalah mereka yang bisa berlebaran dengan orang-orang terdekat. Sedangkan bagi yang tetap ngantor di Newsroom, Lebaran memang berarti kesepian, namun tetap punya makna, bahwa Lebaran itu ada di hati, tak melulu dari riuhnya petasan atau ramainya ruang tamu oleh kerabat.

Selamat Lebaran, Minal Aidzin wal-Faidzin...


[untuk memperbesar gambar silahkah di-klik]


Rabu pagi, hari pertama Lebaran di Jalan Sudirman, Jakarta.


Arus kendaraan dari Blok M menuju Semanggi sepi, persis seperti car free day.


Di halte Transjakarta pun tak terlihat tanda-tanda kehidupan, padahal sudah menjelang siang.


Di jalan depan Ratu Plaza ini biasanya mobil antre untuk lewat, hari ini tumben mobil-mobil itu puasa menyumbang polusi.


Jadi inget film Resident Evil, Vanila Sky, dan I Am Legend, kota tiba-tiba kosong tanpa penghuni.


Sepanjang Jalan Asia Afrika yang setiap hari padat, tumben jadi lengang.


Pada kemana pedagang asongan, gerobak bakso, dan pejalan kaki?


Adakah yang percaya ini salah satu titik keramaian lalu lintas di Jakarta?


Di saat orang lain sibuk bersilaturahmi, ternyata masih ada yang menunggu pintu utama Senayan City dibuka.


Jalanan di hari pertama Lebaran dilihat dari Newsroom.


Buat apa jalan raya dibikin bagus-bagus kalau tak ada yang melewati?


Tak hanya di jalanan, di ruangan Newsroom pun kelengangan itu sangat terasa.


Tak banyak suara tawa dan canda karena ruangan yang besar itu hanya diisi segelintir orang.


Saat makan siang pun tak banyak yang dibicarakan.


Ika, satu-satunya penghuni Newsroom yang merasa beruntung bisa berlebaran di kantor, bercerita di depan para cowok yang sedang menikmati makan siang.