Selasa, 23 Desember 2008

Belajar Memborgol dari Miranda

Rinaldo


Penggemar film-film aksi Hollywood pasti akrab dengan adegan penangkapan pelaku kejahatan oleh polisi. Biasanya, seorang polisi akan menyuruh tersangka mengangkat tangan sambil membalikkan badan. Pada saat memborgol tangan tersangka, akan meluncur sebuah kalimat panjang dari si polisi. Siapa pun polisinya, selagi masih di Amerika Serikat, pasti kalimatnya sama.

Kalimat itu berbunyi: You have the right to remain silent. Anything you say can and will be used against you in a court of law. You have the right to speak to an attorney, and to have an attorney present during any questioning. If you cannot afford a lawyer, one will be provided for you at government expense.

Jika diindonesiakan, kalimat itu akan menjadi: Anda berhak untuk tetap diam. Apa pun yang Anda katakan bisa dan akan digunakan (sebagai bukti) terhadap Anda di pengadilan. Anda berhak untuk menunjuk pengacara yang hadir saat diperiksa. Jika Anda tidak mampu menghadirkannya, seorang pengacara akan ditunjuk untuk Anda.

Ya kalimat itu adalah Miranda Warning (Peringatan Miranda), sebuah sistem yang diciptakan untuk melindungi hak-hak tersangka serta mencegah kesewenang-wenangan penyidik terhadap tersangka. Dalam kalimat itu terkandung makna bahwa seorang tersangka berhak untuk diam selama pemeriksaan, menolak menjawab pertanyaan jika dirasa menjebak, tidak mendapat perlakuan kasar, dan selama pemeriksaan selalu didampingi pengacara.

Tidak sampai di situ, pada 2004 lalu Mahkamah Agung AS memutuskan bahwa polisi harus mengeluarkan peringatan dulu sebelum mengajukan pertanyaan kepada seseorang yang diduga melakukan kejahatan. Artinya, kewenangan polisi untuk memeriksa seorang tersangka lebih diperketat. Bagi sistem hukum di AS, hal ini terbilang wajar karena pembuktian di pengadilan lebih mengutamakan alat bukti ketimbang keterangan saksi.

Miranda Warning atau kerap juga disebut Miranda Right dan Miranda Rules lahir merujuk pada nama Arturo Ernesto Miranda, pria yang pada 1963 masih berusia 23 tahun. Miranda ditangkap sebagai tersangka penculikan dan pemerkosaan remaja di Phoenix Arizona. Setelah diinterogasi penyidik sekitar dua jam, Miranda akhirnya mengaku sebagai pelaku. Ia menandatangani BAP. Pada bagian akhir BAP tertulis bahwa Miranda menjawab secara sukarela, tanpa paksaan, dan paham akan hak-hak hukumnya. Di pengadilan Arizona, Miranda terancam hukuman 20 tahun penjara. Ia banding.

Kasus Miranda versus Arizona itu akhirnya bergulir ke MA. Pada 1966, MA memutus perkara ini dengan suara 5 berbanding 4. Mayoritas hakim berpendapat pengakuan Miranda diberikan ketika hak-haknya tidak dalam perlindungan. Selain itu, saat pemeriksaan Miranda tidak didampingi pengacara. Miranda kemudian disidang ulang dan didakwa dengan bukti-bukti baru. Dia divonis 11 tahun penjara dan dibebaskan bersyarat pada 1972.

Keluar penjara, Miranda justru tewas dalam perkelahian bersenjata pisau. Ironisnya, kepada tersangka penusuk, polisi membacakan Peringatan Miranda. Lebih ironis lagi, di saku Miranda ditemukan kertas-kertas seukuran kartu nama berisi Peringatan Miranda! Walaupun Miranda mati secara mengenaskan di sebuah bar, putusan kasusnya dianggap sebagai salah satu tonggak sejarah dalam sistem peradilan AS.

Di Indonesia, acuan semacam Miranda Warning tidak ada. Perlindungan terhadap hak tersangka dan bantuan hukum hanya ditemukan pada Pasal 54 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Disebutkan, tersangka atau terdakwa berhak mendapat bantuan hukum di setiap tingkat pemeriksaan guna kepentingan pembelaan dirinya. Kalau ditahan penyidik, seseorang dapat menghubungi penasihat hukum. Kalau tak mampu, negara bisa menyediakan.

Sayang, ketentuan ini jarang dipenuhi. Kerap ditemukan seorang tersangka yang melakukan tindak pidana dengan ancaman di atas lima tahun, diperiksa tanpa didampingi penasihat hukum. Masalah lainnya, kurangnya pengetahuan masyarakat akan hak-hak mereka di depan hukum, sehingga hal itu dianggap biasa.

Ada dua hal yang kemungkinan bisa terjadi jika ketentuan ini tak dipenuhi aparat penegak hukum. Pertama, besar kemungkinan tersangka yang tertekan atau ditekan karena diperiksa tanpa penasihat hukum akan memberi pengakuan sesuai keinginan polisi atau jaksa. Jika ini terjadi dan tersangka kemudia dihukum, berarti telah terjadi peradilan sesat. Sejarah hukum di Indonesia mencatat nama-nama Sengkon dan Karta, Paeran dan Ponirin, Taliso Goa, dan terakhir trio Kemat, David dan Sugik, yang menjadi korban peradilan sesat.

Kedua, jika dalam pemeriksaan di pengadilan diketahui terdakwa tidak mendapatkan hak-haknya selama penyidikan, bukan tak mungkin terdakwa akan lolos dari jerat hukum. Salah satu yurisprudensi terkait hal ini adalah putusan No.367 K/Pid/1998.

Register perkara ini merujuk pada kasus pembunuhan sadis La Makka, warga Dusun Tanatemparee, Palippu, Wajo, Sulawesi Selatan. Diduga pelakunya adalah La Noki bin La Kede, warga setempat yang tak lain adalah saudara kandung korban. Pengadilan Negeri Wajo menghukum terdakwa 12 tahun penjara lantaran terbukti melakukan pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP). Lantaran dihukum lebih berat dari tuntutan jaksa, terdakwa La Noki mengajukan banding. Namun, Pengadilan Tinggi Ujung Pandang menguatkan hukuman semula, bahkan memerintahkan terdakwa tetap dalam tahanan.

Nasib La Noki berubah seratus delapan puluh derajat di tingkat kasasi. Majelis hakim agung yang beranggotakan H. Kahardiman, H. Tjung Abdul Muthalib, dan H. Achmad Kowi membatalkan putusan banding. Permohonan kasasi jaksa dinyatakan tidak dapat diterima. Hakim memerintahkan La Noki segera dibebaskan dari tahanan.

Dalam pertimbangannya, majelis hakim agung menyitir fakta yang terungkap bahwa selama tiga kali penyidikan di kepolisian dan satu kali di kejaksaan, terdakwa tak pernah didampingi penasihat hukum. Walaupun di pengadilan La Noki didampingi pengacara, hakim agung menilai ada kesalahan dalam penyidikan. Tersangka yang tidak didampingi penasihat hukum selama penyidikan, dinilai majelis bertentangan dengan Pasal 56 KUHAP, sehingga Berita Acara Penyidik dan Penuntut Umum batal demi hukum.

Seandainya sejak awal seorang tersangka sudah diberitahu tentang hak-hak yang dimilikinya, tentu semua itu tak akan terjadi. Sayang, kita tak pernah belajar dari kesalahan. Alih-alih untuk belajar, kesalahan demi kesalahan yang terus dilakukan tak kunjung membuat kita sadar, bahwa urusan hukum adalah persoalan hidup dan mati seseorang.

Setiap kali akan memeriksa seorang tersangka, sejatinya seorang polisi mengingat nasib Sengkon dan Karta. Setiap kali akan menulis BAP, tak ada salahnya penyidik merasakan penderitaan Paeran dan Ponirin. Tatkala menyidik seorang tersangka, alangkah bijaknya jika jaksa menjadikan kesalahan penanganan kasus pembunuhan Asrori sebagai pegangan. Ironisnya, aparat penegak hukum kita lebih suka mencari kepuasan dengan mempermainkan hidup seseorang ketimbang memenuhi hak-haknya selaku manusia.




Sejarah Miranda Warning (1)




Sejarah Miranda Warning (2)




Penjelasan tentang Miranda Warning




Kampanye bagi hak-hak tersangka



2 komentar:

Frozty Freeze mengatakan...

darinal,,
mampir kek ke blog iqbal...
tinggalkan komen gitu...
okehh..??

nih alamatnya kalo lupa,
frozty-freeze.blogspot.com

David Pangemanan mengatakan...

PERADILAN IINDONESIA AMBURADUL : INI BUKTINYA

Putusan PN. Jakarta Pusat No. 551/Put.G/2000/PN.Jkt.Pst membatalkan

demi hukum atas Klausula Baku yang digunakan Pelaku Usaha. Putusan ini

telah dijadikan yurisprudensi.
Sebaliknya, putusan PN Surakarta No. 13/Pdt.G/2006/PN.Ska justru

menggunakan Klausula Baku untuk menolak gugatan (karena terindikasi

gratifikasi di Polda Jateng serta pelanggaran fidusia oleh Pelaku

Usaha). Inilah bukti inkonsistensi Penegakan Hukum di Indonesia.
Quo vadis hukum Indonesia ??

David Pangemanan,
(0274)9345675