Selasa, 17 Februari 2009

Mencari Musashi di Tanah Persilatan

Ketika masih menempuh pendidikan di sebuah SMP di Kota Padangpanjang, Sumatra Barat, bertandang ke tempat penyewaan buku sepulang sekolah kerap saya lakukan. Saya biasanya membaca komik atau cerita bergambar. Umumnya bacaan itu saya bawa pulang, karena sangat tidak nyaman membaca sambil duduk di kursi papan yang disediakan si empunya penyewaan buku. Siksaan itu masih ditambah lagi dengan kepulan asap rokok dan kepadatan pengunjung yang bisa mengganggu konsentrasi.

Ketika itu, komik favorit saya antara lain karya Ganes TH, Jan Mintaraga, Djair, dan Teguh Santosa. Sedangkan untuk cerita bergambar, apalagi kalau bukan petualangan gila Asterix & Obelix, si koboi nyentrik Lucky Luke, dan dua pilot tangguh Tanguy & Laverdure. Sekali-sekali saya sempatkan pula ketika itu meminjam novelnya Agatha Christie, pengarang asing paling ngetop ketika itu, lantaran hanya novel dia yang dipajang di taman bacaan tersebut.


Suatu hari saya melihat ada novel baru yang dipajang, judulnya Musashi, dan dibagi dalam tujuh jilid. Ada keinginan kuat untuk membaca novel ini, namun yang harus dilakukan terlebih dahulu adalah menghitung kecukupan finansial. Jilid pertama pun dipinjam hingga berlanjut ke jilid terakhir. Mungkin ini kali pertama bagi saya bersentuhan dengan budaya Jepang, lengkap dengan istilah samurai, bushido, ronin, Shogun, dan seppuku.

Bertahun-tahun kemudian saya kembali menemukan novel yang juga berlatar sejarah Jepang, judulnya Taiko. Dikarang oleh penulis yang sama, Eiji Yoshikawa, novel ini betul-betul membuat saya terkagum-kagum. Dari sisi detail, filosofi, dan bahasa, Taiko buat saya setingkat di atas Musashi, mengingat rumitnya penceritaan tentang konflik antarpenguasa yang ada di Jepang ketika itu.


Kedua novel ini sama-sama mengambil kisah sekitar akhir abad 16 dan awal abad 17 Masehi. Zaman di mana klan Tokugawa mencapai kejayaannya dan memerintah hingga lebih dari 2,5 abad (1603-1867). Dalam Taiko diceritakan, menjelang abad 16 merupakan masa-masa yang buruk bagi Jepang. Pemerintahan yang rapuh, Keshogunan kacau balau, perang dimana-mana, dan kesejahteraan rakyat terbengkalaikan. Jepang waktu itu sedang diperebutkan oleh panglima-panglima perang yang rakus akan kekuasaaan.

Sampai muncullah tiga orang yang mempunyai keinginan mempersatukan Jepang, Oda Nobunaga, Tokugawa Ieyasu, dan Toyotomi Hideyoshi. Ketiga orang tersebut walaupun punya cita-cita yang sama, punya karateristik yang berbeda. Nobunaga sangat ekstrem, Ieyasu tenang dan bijaksana, sedangkan Hideyoshi cerdas.

Dari ketiga nama tersebutlah Jepang akan mencapai masa kejayaannya. Tapi, yang menjadi penentu adalah Hideyoshi, yang awal mulanya merupakan anak petani bertubuh kurus dan berwajah seperti monyet, yang mencoba mengubah nasib tanpa bekal apa pun dengan menjadi pembawa sandal Nobunaga. Ia menjadi penyelamat Jepang setelah akhirnya berhasil mengubah musuh-musuhnya menjadi teman. Dengan kecerdasannya, ia mampu menjadi Taiko, sebuah gelar yang diberikan sang Kaisar untuk sang penguasa mutlak Kekaisaran Jepang.

Di bawah asuhan Nobunaga, Hideyoshi banyak belajar dan akhirnya mempu menjadi sang Taiko setelah melewati pertempuran-pertempuran. Kecerdasannya dalam membaca situasi dikagumi semua orang. Seperti pemikiran zaman modern, apabila dengan diplomasi Hideyoshi mampu mencegah perang, maka itu lebih baik dari pada memimpin pasukannya ke peperangan. Buku ini menceritakan secara rinci perjalanan Hideyoshi, dari sebagai anak petani sampai menjadi penguasa Jepang.


Di buku Taiko ini juga dibuat peta Jepang ketika itu, dimana setiap daerah mempunyai penguasanya sendiri, dan setiap Hideyoshi melakukan misi militer kita dapat mengetahui siapa penguasanya dan berada dimana daerah tersebut. Nama tokoh dan tempat juga dijelaskan ditiap awal buku, karena awalnya buku ini ada 10 jilid yang kemudian digabungkan menjadi satu.

Membaca Taiko sungguh mengasyikkan, meski kita agak kesulitan menghapal nama-nama tokoh yang tampil saking banyaknya. Tak sekadar ceritanya yang berliku dan penuh dengan peperangan, tanpa terasa kita sebenarnya sedang membaca sebuah sejarah kebangkitan bangsa Jepang.

Konon, Taiko adalah bacaan wajib sekolah-sekolah di Jepang, sehingga murid-murid di sana sangat paham dengan sosok ketiga tokoh besar itu. Penggambaran tentang karakter mereka yang umum dikenal adalah sebagai berikut:

Bagaimana jika seekor burung tak mau berkicau?
Nobunaga menjawab, “Bunuh saja!”

Ieyasu menjawab, “Tunggu.”

Hideyoshi menjawab, “Buat burung itu ingin berkicau.”


Hingga kini, Hideyoshi masih dikenal sebagai laki-laki yang membuat burung itu ingin berkicau.


Sedangkan dalam Musashi, diceritakan periode awal kehidupan Musashi hingga usia 28 tahun. Novel ini diawali ketika Takezo (kemudian beralih jadi Musashi setelah mendpat pencerahan) dan sahabatnya bangkit dari pingsan di padang perang Sekigahara. Perang ini yang menentukan kemenangan klan Tokugawa atas klan Hashiba (Hideyoshi) dan menjadikan klan Tokugawa sebagai keshogunan paling terkenal dan terlama di Jepang.

Takezo yang prajurit rendahan dari klan Hashiba kembali ke desanya dan menjadi perusuh. Dia akhirnya bisa dijinakkan oleh pendeta Takuan. Ia dikucilkan di sebuah ruang oleh Takuan selama tiga tahun untuk meditasi dan belajar. Di sinilah ia menemukan pencerahan. Dan ia memutuskan menjadi shugyosha, samurai pengembara. Maka petualangan panjang pun dimulai.

Kyoto, kota pertama yang ditujunya. Ia menentang aliran termasyur saat itu, Yoshioka. Sendirian ia berhasil membunuh 70 lawannya. Sementara itu, ia terus mengembara untuk mematangkan teknik pedangnya dan juga filsafatnya. Sedikit demi sedikit ia sadar bahwa 'pejuang terbaik tidak lagi berkelahi', dan ia pun mulai beralih mencari seni damai: membantu petani mengolah tanah, serta mengorganisir mereka melawan bandit-bandit. Kisah berakhir dengan duel melawan musuh setimpalnya, Sasaki Kojiro.

Sesudah itu, Musashi mengundurkan diri dari kehidupan ramai dan menulis banyak buku yang kini digandrungi orang Amerika karena dianggap sebagai kunci pemahaman akan manusia dan manajemen Jepang. Padahal, buku itu berisi uraian Musashi tentang permainan samurai. Judul buku itu Gorin no sho atau Buku tentang Lima Cincin.


Kedua novel ini sudah diterbitkan Gramedia sejak tahun 1980-an. Bahkan, Musashi pernah dimuat bersambung di harian Kompas. Awalnya, serial Musashi dan Taiko diterbitkan dalam versi tipis berjilid-jilid. Musashi tercatat tujuh jilid dan Taiko sepuluh jilid. Belakangan, Gramedia menerbitkan ulang novel Musashi dalam bentuk hard cover pada 2001 dan Taiko pada 2003. Langkah ini terbilang jitu. Sejak penerbitan edisi hard cover itu, Musashi sudah cetak ulang lima kali dan Taiko empat kali.

Bagi yang suka cerita dengan latar belakang sejarah Jepang, kedua novel ini wajib dibaca agaknya. Tak bisa disangkal, Hideyoshi dan Musashi adalah dua tokoh besar yang ikut membentuk karakter bangsa Jepang yang kemudian populer ke seluruh dunia. Apalagi tak banyak novel Jepang yang berangkat dari sejarah terbit di Indonesia. Untuk menyebut beberapa novel lain berlatar belakang sejarah Jepang yang layak dimiliki adalah The Lone Samurai dan 47 Ronin.

The Lone Samurai yang ditulis William Scott Wilson adalah biografi Miyamoto Musashi. Salah satu fakta menarik dalam buku ini bahwa Musashi tidak pernah mandi selama hidupnya, kecuali hanya membasuhkan handuk dingin ke sekujur tubuh dan wajahnya.


Sedangkan 47 Ronin karya John Allyn bercerita tentang pembalasan dendam 47 orang ronin terhadap Kira Yoshinaka, pejabat istana yang korup serta telah membunuh daimyo mereka. Kisah ini kerap dianggap sebagai penyerangan paling berdarah dalam sejarah feodal Jepang. Peristiwanya terjadi pada 14 Desember 1702 di Edo (sekarang Tokyo) yang tengah memasuki musim dingin.


Selain novel yang benar-benar menuliskan sejarah Jepang, tak sedikit pula novel Jepang yang menggabungkan antara fiksi dan sejarah. Biasanya, cerita fiksi itu diset pada zaman tertentu. Cara ini membuat sang penulis dengan mudah meminjam situasi pada zaman itu untuk disesuaikan dengan ceritanya.

Yang masuk kategori ini di antaranya tetralogi Klan Otori yang terdiri dari Across the Nightingale Floor, Grass For His Pillow, Brilliance of the Moon, dan The Harsh Cry of The Heron. Novel ini ditulis oleh penulis asal Australia, Lian Hearn.


Akhir 2008 lalu, saya membeli novel The Last Concubine, karya Lesley Downer. Novel ini bercerita tentang seorang gadis petani yang menjadi selir terakhir sang Shogun. Ia berusaha menemukan tempatnya di tengah intrik serta persaingan di istana para perempuan di kastil Edo, rumah dari 3.000 perempuan dan hanya seorang laki-laki—sang Shogun muda. Namun, perang saudara memorak-porandakan segalanya. Kisahnya jelas rekaan, tapi suasana, lokasi, dan kejadian yang menyertai benar terjadi di era Tokugawa.


Tentu masih banyak novel atau buku menarik lainnya yang mengupas tentang budaya dan sejarah Jepang. Membaca buku-buku di atas saya jadi teringat dan mau tak mau membandingkannya dengan novel Gajah Mada karya Langit Kresna Hariadi. Sama-sama mengambil tema sejarah masa lalu dan menghadirkan kehidupan tokoh-tokoh yang terkenal hingga kini. Jujur, saya menikmati karya LKH layaknya menggandrungi novel-novel Jepang itu. Gajah Mada ditampilkan tak kalah hebatnya dibandingkan Hideyoshi atau Musashi dalam kultur Jawa yang kental.


Sayang, LKH kalah dalam hal detail dan penceritaan. Baik soal tokoh, lokasi, dan validitas sejarah. Tapi, paling tidak LKH tak berpretensi untuk mengklaim bahwa novelnya adalah semacam biografi Gajah Mada. Di balik itu, sangat disayangkan pula minimnya novel-novel berlatar sejarah Indonesia. Gajah Mada dan Senopati Pamungkas (karya Arswendo Atmowiloto) adalah beberapa di antara yang sedikit itu.


Kita yang selalu mengagung-agungkan budaya timur, sebenarnya sedang kehilangan pegangan karena sama sekali tidak memiliki gambaran tentang bagaimana budaya timur itu sebenarnya, selain yang ditulis dalam beberapa lembar buku pelajaran sejarah di sekolah. Jadi, mohon dimaklumi, jika saya lebih hapal nama-nama para samurai ketimbang pesilat dan pendekar dari zaman Sriwijaya, Majapahit, Mataram, atau Minangkabau.***


Glosarium:

Bushido
semangat bushido sebenarnya sudah ada sejak munculnya kaum samurai, namun baru pada masa Edo (1600-1868) istilah bushido resmi dipakai sebagai kode etik kaum samurai. Bushido mencakup semangat perang dan keterampilan menggunakan senjata (pedang), dan juga tata-krama bersikap, yaitu setia penuh kepada atasan, menjaga kehormatan diri (tidak melakukan hal-hal buruk), mengabdi pada tugas, punya keberanian hebat, dan bertanggung jawab.

Daimyo
istilah untuk majikan seorang samurai. Daimyo juga semacam kepala klan atau marga dan menguasai suatu daerah tertentu. Daimyo sering juga dianggap sebagai personifikasi penguasa militer suatu wilayah karena zaman daimyo berkuasa adalah dimana Jepang masih mengalami perang antardaerah, meski semasa Nobunaga, Hideyoshi, dan Tokugawa, Jepang secara bertahap mulai dipersatukan.

Ronin
adalah istilah untuk samurai yang tak punya majikan. Alasan yang menjadi penyebab seorang samurai menjadi ronin bisa beragam. Bisa karena majikannya kalah perang, wilayahnya disita, atau karena mengalami hukuman dari penguasa militer tertinggi, Shogun.

Samurai
kata samurai berasal dari kata kerja samorau asal bahasa Jepang kuno, berubah menjadi saburau dan saburai yang berarti melayani. Pada awal zaman modern, khususnya pada era Azuchi-Momoyama dan awal periode Edo pada akhir abad ke-16 dan awal abad ke-17, perkataan saburai bertukar dan diganti dengan samurai. Bagaimanapun, pada masa itu, artinya telah lama berubah dan menjadi "orang yang mengabdi". Jadi, samurai itu adalah orangnya, bukan alatnya.

Seppuku
disebut juga harakiri, salah satu tradisi yang menjadi kebanggan masyarakat Jepang, yang berasal dari kata hara yang berarti perut dan kiru yang berarti memotong. Kebiasaan seppuku dilakukan oleh prajurit berkelas dari kalangan samurai sebagai bukti kesetiaan. Bunuh diri yang dilakukan para Samurai ini sangat menyiksa, si pelaku harus menunggu kematian karena kehabisan darah setelah merobek dan mengeluarkan isi perutnya.

Ada ritual khusus yang harus dilakukan oleh samurai jika ingin melakukan seppuku. Ia harus mandi, menggunakan jubah putih, dan makan makanan favorit. Pelaku seppuku ditemani seorang pelayan yang ia pilih sendiri. Kaishakunin ini bertugas membuka kimono dan mengambilkan pisau yang akan digunakan. Jika pelaku seppuku menjerit atau menangis kesakitan saat menusuk dan mengeluarkan isi perutnya, hal tersebut dianggap sangat memalukan bagi seorang samurai. Karena itu Kaishakunin bertugas mengurangi penderitaan itu, mempercepat kematian dengan memenggal kepalanya.

Shogun
adalah jenderal besar, yang memegang kendali terhadap golongan pendekar perang dan prajurit (kaum samurai). Keshogunan pertama dimulai pada tahun 1185 di Kamakura dengan Shogun Minamoto Yoritomo. Sejak itu sebenarnya ada dua pusat pemerintahan, yaitu pemerintahan sipil di bawah Kaisar dengan kedudukan di Kyoto, dan pemerintahan militer yang berpijak pada kekuasaan Shogun yang berkedudukan di Kamakura. Lambat-laut pemerintah sipil di bawah Kaisar melemah dan pemerintahan Shogun makin kuat. Era Shogun berakhir pada 1868 ketika Shogun ke-5 dari klan Tokugawa, yaitu Tokugawa Yoshinobu, tergeser dari posisinya dan terpaksa mengembalikan kekuasaan kepada Kaisar Meiji (1868-1912). Kaisar segera memindahkan kedudukan dari Kyoto ke Edo (Tokyo), dan menghapus banyak peraturan yang dibuat para Shogun. Tamatlah kekuasaan Shogun serta kaum samurai.


Rabu, 04 Februari 2009

Rindu Dokter Amanah

Rinaldo

Awal Oktober lalu, saat membuka Muktamar Ke-26 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Presiden Megawati Soekarnoputri menilai pelayanan rumah sakit dan dokter di Indonesia secara umum masih memprihatinkan, sehingga menimbulkan penilaian di sebagian kalangan masyarakat untuk lebih mempercayai rumah sakit di luar negeri.

Untuk hal ini, agaknya Presiden kita tidak salah, malah sangat betul. Pelayanan dokter atau rumah sakit tidak lagi sama dengan bayangan masa kecil kita, di mana seorang dokter itu selalu ramah, siap direpotkan kapan pun dan tanpa kenal lokasi. Sekarang, profesi dokter sudah seperti pejabat. Malah lebih parah lagi, kalau tak ada uang jangan coba-coba didatangi.

Sudah keluar uang segepok pun, belum jaminan pelayanan bakal memuaskan. Alih-alih sembuh, bisa jadi penyakit makin akut. Hal inilah yang kini membuat pengacara kenamaan Hotman Paris Hutapea berang. Pasalnya, istri tercintanya menjadi korban malpraktik dokter.

Saat diperiksa, dokter langsung menyatakan kalau sang istri punya penyakit berbahaya dan harus dioperasi. Beragam obat harus diminum. Namun bukannya sembuh, tapi tambah parah. Masalah malpraktik ini baru terkuak ketika Hotman membawa istrinya berobat ke Singapura.

Tak ada yang berbahaya dengan penyakit sang istri. Dengan sedikit obat dan tanpa operasi, penyakit langsung hilang. Artinya diagnosa dari seorang dokter di rumah sakit terkenal Ibu Kota itu salah besar. Terlambat sedikit saja bisa-bisa nyawa istri Hotman melayang. Tanpa ragu, Hotman langsung mengajukan gugatan ke dokter dan rumah sakit tempatnya berpraktik.

Sejak terkuaknya kasus tersebut, banyak orang-orang terkenal, terutama dari kalangan selebriti membeberkan pengalaman serupa. Bahkan, ada artis yang tahun lalu didiagnosa bakal bertahan hidup cuma dua bulan, namun hingga kini tetap bugar.

Bukan soal Hotman orang kaya atau artis itu orang terkenal yang disorot. Tapi, kalau orang yang punya uang dan pamor saja dilayani dengan sikap asal-asalan, bagaimana kira-kira diagnosa sang dokter kalau didatangi si Badu yang tukang becak, dan belum tentu mampu membayar tarif konsultasi?

Perkara malpraktik bukan soal baru, namun karena sering ditutup-tutupi dan dibela oleh korps dokter, jarang sekali kasusnya bermuara ke pengadilan. Memang tidak semua dokter bersikap asal-asalan dan pilih-pilih terhadap pasien. Dr. Bahar Azwar, dalam buku Sang Dokter, mengategorikan dokter di Indonesia ke dalam empat tipe.

Pertama, adalah dokter dengan jurus ”angin puyuh”. Rata-rata pasiennya 40-50 orang per hari. Ia buka praktik dari pukul 16.00 sampai pukul 22.00. Dikurangi waktu untuk acara makan ringan, sembahyang, berarti ia memberi waktu enam menit per pasien

Tipe kedua adalah dokter ”ban berjalan”. Bahar memberi contoh dokter kebidanan di sebuah rumah sakit swasta dengan pasien rata-rata 30 orang, sedangkan jam praktiknya hanya dua jam. Para pasien akan disuruh antri di beberapa tempat tidur sekaligus. Saat memeriksa tempat tidur pertama, pasien lain disuruh membuka baju, begitu seterusnya.

Dokter ”memukul angin” adalah tipe ketiga. Di sini terjadi di mana sekali periksa, seorang dokter langsung memutuskan agar pasien dioperasi tanpa banyak perundingan dengan pasien atau keluarganya.

Tipe terakhir adalah yang jarang ditemui di kota besar, yakni dokter ”amanah”. Biasanya dokter ini ada di desa-desa terpencil, di mana pasiennya tidak bisa membayar dengan uang nominal.

Artinya, dokter yang punya nurani dan empati hanya bisa ditemukan di tempat terpencil, di mana watak mereka belum rakus akan uang. Hipocrates layak berduka, karena ucapannya yang menjadi sumpah para dokter kita, tak lagi laku. ‘’Jadikanlah profesi dokter untuk menyembuhkan orang lain, bukan untuk menumpuk kekayan,’’ begitu kata Hipocrates. Tapi kini, bullshit!***

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 17 Desember 2003)