Senin, 08 Maret 2010

Dua Benua Satu Cerita

Rinaldo

Ada dua film yang rilis di akhir 2010 namun luput dari perhatian penikmat film di Indonesia, yaitu The Blind Side dan Invictus. Bisa dimaklumi, publik sudah lebih dulu "dipaksa" datang ke bioskop oleh promosi gencar dari Avatar, Sherlock Holmes, dan Sang Pemimpi. Dan memang, ketiga film tersebut sangat layak tonton dan tak bakal menyisakan kejengkelan ketika meninggalkan gedung bioskop. Selain itu, dua film yang saya sebutkan di atas belum lagi rilis di Indonesia.

Jadi, ketika saya menyaksikan The Blind Side dan Invictus dari kopian kepingan DVD, keindahan dunia Pandora melalui kacamata tiga dimensi serta keperkasaan Sherlock Holmes dan sobatnya dokter Watson seketika terlupakan. Tak henti-hentinya saya berdecak kagum sepanjang film sembari merasakan keharuan yang mendalam dari dua film yang diangkat dari kisah nyata tersebut. Keduanya begitu indah dan membuat saya terdiam dalam waktu cukup lama ketika tulisan "The End" muncul di akhir film.

The Blind Side adalah film drama biasa dan dibintangi oleh aktris yang biasa pula, Sandra Bullock dan Tim McGraw. Ada dua film lainnya yang dibintangi sekaligus diproduseri Sandra di 2009, yaitu All About Steve dan The Proposal. Namun, hanya dalam The Blind Side aktingnya begitu cemerlang. Saya tak heran ketika juri Academy Awards menempatkan namanya dalam daftar nominasi aktris terbaik tahun ini.


The Blind Side menceritakan perjalanan hidup Michael Oher (diperankan Quinton Aaron), seorang remaja berkulit hitam yang pendiam di Memphis, Tennessee, Amerika Serikat. Oher yang memiliki saudara 11 orang lahir dari seorang ibu yang kecanduan kokain. Akibatnya, keluarga Oher berantakan dan IQ-nya pun sangat rendah. Oher pun tak lagi mengenal kedua orangtuanya karena hidupnya lebih banyak dihabiskan di berbagai panti asuhan. Sebab, di usia tujuh tahun pengasuhan Oher diambil alih negara.

Bahkan, di masa remajanya Oher hidup nomaden dan tak memiliki alamat. Setiap hari dia berkeliling kota tanpa tujuan. Harta yang dia miliki hanya dua pasang pakaian, satu melekat di badan dan satu lagi dia simpan di kantong plastik yang selalu dia bawa untuk pengganti. Maka, hidup bagi Big Mike --begitu dia disapa lantaran bobot tubuhnya yang besar-- tak lebih sebuah cerita kosong dan tanpa masa depan. Dan, perjalanan hidup Oher berubah pada suatu malam.


Ketika itu pasangan Sean Tuohy (McGraw) dan istrinya Leigh Anne Tuohy (Sandra) melihat Oher berjalan tanpa tujuan. Ada yang mengusik Leigh Anne ketika melihat Oher. Seorang pemuda berjalan sambil menunduk di malam musim dingin dengan hanya mengenakan kaos tipis. Serta merta Leigh Anne turun dari mobil dan menyapa si pemuda. Ketika Leigh Anne mempertanyakan tujuannya sendirian berjalan kaki dalam cuaca dingin, dengan enteng Oher menjawab, "Aku mau ke gedung olahraga, karena di sana lebih hangat," ucapnya.

Dari titik inilah sebenarnya film dimulai. Tanpa banyak bicara, Leigh Anne kemudian membawa Oher ke rumahnya dan memperkenalkan pemuda asing itu pada anak gadisnya, Collins, serta si bungsu yang periang dan telah mengenal Oher sebelumnya, Sean Junior. Setelah beberapa malam dihabiskan Oher dengan tidur di sofa keluarga Tuohy, sang pemuda kemudian mendapatkan kamarnya sendiri. Ada dialog yang kuat ketika Leigh Anne membawa Oher ke kamar barunya:

Leigh Anne: Find some time to figure out another bedroom for you.
Michael Oher: This is mine?
Leigh Anne: Yes sir.
Michael Oher: I never had one before.
Leigh Anne: What, a room to yourself?
Michael Oher: ...A bed.

Mendengar jawaban Oher, seketika Leigh Anne lari masuk kamarnya sambil bercucuran air mata. Seorang pemuda yang baru bisa merasakan tidur di atas ranjang ketika berusia 17 tahun? Tak pernah terbayangkan oleh Leigh Anne, dan mungkin juga kita.


Tak sekadar memberi tempat bermalam, Leigh Anne dan keluarganya memperlakukan Oher bak anggota keluarga lainnya. Ganjil memang, sebuah keluarga kulit putih Amerika menerima kehadiran orang asing berkulit hitam tanpa banyak bertanya. Lebih ganjil lagi ketika Sean Junior pada teman-temannya di sekolah mengenalkan Oher sebagai kakaknya, begitu pun dengan si cantik Collins yang tanpa malu memanggil Oher dengan sebutan "Bro".

Cerita kemudian mengalir dengan cepat. Tak ada scene yang sia-sia atau dialog yang membosankan. Kelucuan pun membuat kita tertawa tatkala Oher masuk dalam tim football Briarcrest Christian High School. Meski berkulit hitam, Oher ternyata tak tahu sama sekali dengan permainan ini. Bahkan, pemain football yang biasanya sangar menjatuhkan pemain di lapangan, tak berlaku buat Oher. Sangat kontras, Oher yang bertubuh besar punya sifat sabar dan penyayang kepada siapa pun.


Waktu dan dukungan penuh keluarga Tuohy akhirnya membuat Oher berubah. Dia mulai bisa menangkap perintah pelatih di lapangan. Langkah Leigh Anne mendatangkan guru privat ke rumah juga tak sia-sia. Nilainya mencukupi untuk lulus SMA, sedangkan di lapangan dia mulai mencuri perhatian banyak universitas untuk direkrut sebagai pemain.

Oher akhirnya menjadi bintang football di University of Mississippi yang kemudian bermain untuk National Football League (NFL). Dan sampai hari ini, Michael Oher masih menjadi salah satu pemain terbaik NFL American All Star yang bermain untuk klub Baltimore Ravens.

Film ini merupakan adaptasi sutradara John Lee Hancock dari buku Michael Lewis yang laris di tahun 2006, The Blind Side: Evolution Of A Game. Banyak sudah film bertema olahraga atau konflik rasial berdasarkan kisah nyata yang diangkat ke layar lebar, tapi kisah Oher sangat fenomenal.

Michael Oher dan keluarga angkat di kehidupan nyata.

The Blind Side bukanlah film tentang masa kelam Amerika yang terjerumus dalam perbedaan warna kulit seperti tergambar dalam film Mississippi Burning (1988). Bukan pula cerita tentang olahraga yang menciptakan persatuan dalam salah satu film olahraga terbaik sepanjang masa, Remember the Titans (2000). Namun, ada hentakan berbeda ketika menyaksikan film yang sebenarnya datar dan tanpa konflik serius ini.

Kita bisa menyaksikan perjalanan seorang anak manusia yang awalnya tanpa harapan berubah menjadi tumpuan asa. Kita juga menyaksikan sebuah keluarga yang berbuat semata-mata berlandaskan nurani dan berhasil menyingkirkan prasangka yang selama ini tertanam kuat di benak masyarakat Amerika.

Film kedua yang tak kalah menarik adalah Invictus. Berbeda dari film sebelumnya, Invictus bertaburan bintang. Dengan memajang nama Morgan Freeman dan Matt Damon saja, film ini sebenarnya sudah sangat menjanjikan. Apalagi kemudian ternyata film ini dibesut oleh Clint Eastwood, maka lengkap sudah alasan untuk harus menonton film ini.

Film diawali ketika Nelson Mandela (diperankan Morgan Freeman) baru saja dilantik sebagai Presiden Afrika Selatan pada 1994. Hari pertama berada di kantor kepresidenan, Mandela terhenyak menyaksikan staf kepresidenan yang mayoritas berkulit putih dan memperlihatkan sikap kaku sibuk menggotong barang pribadi mereka. Sesaat masuk ruang kerja, Mandela memerintahkan seluruh staf untuk berkumpul.


Di depan seluruh staf berwajah masam itu, Mandela menyatakan keheranannya melihat mereka seolah ingin buru-buru keluar dari kantor kepresidenan. Dengan suara pelan, dia mengatakan: Of course, if you want to leave, that is your right. And if in your heart you feel that you can not work with your new government then it is better if you do leave right away. But if you are packing up because you fear that your language or the color of your skin or who you worked for before disqualifies you from working here, I am here to tell you to have no such fear. What is today is today, the past is the past, we look to the future now.

Mulai dari sini, agaknya mulai sulit untuk berpaling dari gambar demi gambar dan dialog demi dialog film ini yang semuanya sayang untuk dilewatkan. Tak ada satu pun adegan yang sia-sia dan tak ada dialog yang tanpa makna. Kita kemudian dipandu melihat sosok Mandela memerangi kebencian yang sudah begitu mengakar di kalangan rakyat Afsel atas dasar perbedaan warna kulit.


Mandela tahu benar bahwa meskipun rezim apartheid telah runtuh, benih perpecahan antara warga kulit putih dan warga kulit hitam di Afsel masih ada. Dan, Mandela melihat peluang mempersatukan rakyatnya lewat olahraga rugby. Apalagi Afsel ketika itu bakal menjadi tuan rumah Piala Dunia Rugby. Langkah Mandela ini sempat mendapat kritikan, mengingat rugby pada saat itu sangat identik dengan dominasi kaum kulit putih. Namun Mandela tidak gentar dan jalan terus.

Melalui sebuah perkenalan di istana kepresidenan, terjalin hubungan batin yang kuat antara kapten tim rugby Springboks, Francois Pienaar (Matt Damon), dengan Mandela. Keduanya bahu membahu memberi keyakinan bahwa tim rugby Springboks bukan hanya milik warga kulit putih, tapi milik seluruh warga Afsel.

Tak mudah memang untuk mewujudkannya. Benih-benih perpecahan itu begitu kuat, tak hanya di kalangan rakyat jelata. Tim rugby Springboks yang didominasi oleh pemain kulit putih tak goyah dengan pemikiran lama mereka. Bahkan, sampai lingkungan paling dalam Mandela, yaitu pengawal pribadinya, upaya untuk menyatukan agen-agen berkulit hitam dan putih malah menimbulkan sikap saling curiga.


Tapi, berkat tekad yang kuat serta sikap tidak memihak, upaya itu berhasil. Di tahun 1995, saat Afsel menjadi tuan rumah Piala Dunia Rugby, tim Springboks akhirnya berhasil menjadi juara dunia dengan mengalahkan tim favorit Selandia Baru. Seluruh rakyat Afrika Selatan, baik yang di rumah-rumah mewah, di warung-warung kumuh, di jalanan, hingga di stadion tumpah ruah merayakannya. Sekat-sekat itu akhirnya hilang karena sebuah olahraga telah mempersatukannya.

Film ini diangkat dari buku biografi berjudul Playing the Enemy: Nelson Mandela and the Game that Made a Nation karya John Carlin. Dari sekian banyak film yang dibesut Clint Eastwood, Invictus mungkin yang paling ringan dan menghibur. Proses penyatuan dua ras yang berbeda digambarkan dengan halus dan elegan tanpa memihak. Namun, tak bisa dimungkiri, kekuatan Invictus justru pada skenarionya yang kuat, bertaburan dialog-dialog menggugah sekaligus inspiratif.


Dan, magnit utama film ini tentu saja adalah sosok Mandela. Kita diajak melihat panorama Afsel yang indah serta ruangan penjara tempat dia pernah ditahan selama 27 tahun. Meski yang tampil di layar adalah sosok Morgan Freeman, tetap saja bayangan Mandela yang berkelebat. Tak jauh berbeda dengan film tentang Mandela lainnya yang pernah saya tonton, Goodbye Bafana (2007), sulit bagi aktor sekelas Dennis Haysbert untuk memerankan sosok Mandela selama di dalam penjara.

Morgan Freeman dan Mandela memang telah bersahabat sejak lama dan Mandela sendiri yang memintanya untuk bermain di film ini. Tapi, di layar lebar pun Morgan Freeman tak bisa menggantikan Mandela. Karena itu, kendati Morgan Freeman tahun ini masuk nominasi Academy Awards untuk kategori Aktor Terbaik, kemenangan agaknya masih jauh.

Sulit bagi dunia untuk menyepelekan Mandela. Pria yang berhati bersih, tak pendendam, serta memimpin untuk kesatuan bangsanya. Dan itu sudah diperlihatkan Mandela sejak awal memerintah. Dunia pun mencatat, sejak kendali Afsel berada di tangan Mandela, cap negara itu sebagai biang konflik perbedaan ras di muka bumi mulai sirna.

Foto bersejarah Mandela dan Pienar di tahun 1995.

Seorang teman di PSSI bercerita kepada saya. Penunjukan Afsel sebagai tuan rumah Piala Dunia 2010 sama sekali bukan karena lengkapnya sarana pertandingan atau kehebatan tim sepakbola negara itu, tapi semata-mata sebagai penghormatan kepada Mandela. Karena itu, sejatinya film ini pun juga dimaksudkan Clint Eastwood sebagai penghormatan bagi seorang pejuang kemanusiaan seperti Mandela.

Akhir kata, The Blind Side dan Invictus adalah film yang berbicara tentang manusia. Keduanya tidak membahas cinta yang dangkal atau hantu yang kasat mata. Keduanya juga jauh dari campur tangan teknologi untuk membuat layar terlihat berwarna dan indah. Karena, keindahan hakiki tentu tidak sebatas yang terlihat pandangan mata, tapi harus dirasakan oleh hati.

The Blind Side dan Invictus boleh jadi tak mendapat satu pun penghargaan di ajang Oscar pada awal Maret mendatang. Tapi, itu takkan mengurangi penghargaan saya kepada mereka yang telah mengangkat pengalaman menakjubkan kehidupan Oher dan Mandela ke layar lebar. Alasan saya sederhana, selain menginspirasi, keduanya telah berusaha membuat penontonnya menjadi manusia yang lebih baik.***

(Tulisan ini pernah dimuat di Blog Liputan6.com edisi 23 Februari 2010)