Kamis 8 Agustus 2013
Meski hampir setiap hari bertemu Presiden, tak mudah bagi wartawan Istana untuk bisa menyentuh sang Kepala Negara dalam pengertian harfiah. Kalau untuk urusan berdekatan, dalam banyak kesempatan meliput agenda Presiden, wartawan Istana bisa dikatakan berada sangat dekat secara fisik dengan Presiden.
Ambil contoh misalnya saat Presiden akan menerima tamu-tamunya di ruang tamu Kantor Presiden, pastilah wartawan berada pada posisi terdekat dengan Presiden dibandingkan anggota Paspampres yang di ring 1 sekalipun.
Saat Presiden berdiri di pintu masuk dengan Wakil Presiden atau jajaran menteri kabinet menunggu kedatangan sang tamu, para wartawan berdiri berjejer di samping atau di depan Presiden. Sementara pengawal Presiden berada di belakang para jurnalis, dengan sikap waspada.
Wartawan Istana juga sudah sangat terbiasa menyaksikan Presiden dan para pengawalnya melintas dari Istana Negara menuju Kantor Presiden, atau dari Kantor Presiden menuju Wisma Negara. Sesekali Presiden melambaikan tangan atau menyapa wartawan yang tengah berkumpul di teras pintu masuk ruang wartawan yang juga menjadi akses ke Kantor Presiden.
Posisi wartawan Istana menjadi tak istimewa adalah ketika meliput kegiatan Presiden di luar Kompleks Istana. Saat itu, hanya Paspampres yang bisa berdekatan dengan Kepala Negara. Hal ini bisa dimaklumi, karena pengamanan untuk Presiden di luar Istana tentu tak semudah ketika beliau berada di ruang publik.
Intinya, interaksi antara Presiden dengan wartawan saat berada di Istana boleh dikatakan tak berjarak secara fisik. Namun, itu tak bisa dijadikan alasan untuk bisa seenaknya menyentuh atau mencolek bagian tubuh Presiden. Kalau itu dilakukan, bisa-bisa jatuhnya jadi penyerangan terhadap Kepala Negara, tindakan makar, atau pelecehan terhadap Presiden.
Namun, itu bukan berarti wartawan tak boleh sama sekali bersentuhan dengan sosok yang selalu diberitakannya. Masalahnya cuma pada kesempatan dan waktu yang tepat. Nah, saat yang tepat dilihat dari sisi waktu dan kesempatan adalah ketika perayaan Idul Fitri yang terhitung hanya sekali dalam setahun.
Dilihat dari sisi waktu, Lebaran adalah saatnya untuk bersalaman dan bermaaf-maafan dengan siapa pun tanpa pandang jabatan, jumlah kekayaan, atau merek pakaian yang dikenakan. Untuk alasan ini, tentu tak mungkin bagi Presiden sekalipun menolak ucapan selamat Lebaran serta bermaaf-maafan dari rakyatnya. Namun, itu baru satu soal.
Alasan kedua yaitu kesempatan. Kebetulan, sejak mulai menghuni Istana, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono selalu membuka kesempatan bagi rakyat jelata untuk mendatangi Istana guna mengucapkan selamat Lebaran saat Idul Fitri. Nah, dengan dua alasan itu, lengkaplah sudah syarat bagi wartawan Istana untuk bisa menyentuh Presiden tanpa harus berurusan dengan Paspampres atau pasal-pasal dalam KUHP.
Kebetulan pula pada 1 Syawal tahun ini saya mendapat tugas untuk meliput agenda Presiden yang menggelar open house di Istana Negara. Demi tugas, saya memutuskan untuk berangkat pagi-pagi ke Istana dan tak sungkeman dulu dengan istri serta orangtua lantaran acara sudah dimulai sesaat setelah Presiden usai shalat Id di Masjid Istiqlal.
Karena acaranya di Istana, bukan di lingkungan RT tempat saya tinggal, saya tidak mengenakan baju koko sebagaimana galibnya dilakukan banyak orang. Saya mengenakan baju batik seharga Rp 80 ribu yang saya beli sepekan sebelum Lebaran di Pasar Grosir Cipulir, Jakarta Selatan. Saya cuek, sebab yakin harga batik yang saya kenakan tak akan dipertanyakan Paspampres saat bersalaman dengan Presiden.
Agenda Presiden dimulai pukul 09.00 WIB dengan silaturahmi di antara keluarga inti Presiden. Setengah jam berikutnya dilanjutkan dengan silaturahmi antara keluarga Presiden dengan keluarga Wakil Presiden Boediono. Berikutnya adalah dengan pejabat tinggi negara, duta besar negara sahabat, handai taulan, serta staf kepresidenan.
Selepas siang, silaturahmi dilanjutkan dengan masyarakat. Ribuan warga yang sudah berkumpul di area parkir Kompleks Sekretariat Negara mulai antre memasuki Kompleks Istana Kepresidenan, dengan pemeriksaan ketat tentunya. Yang jelas, tak banyak syarat untuk bisa masuk, tak perlu perlihatkan KTP atau surat izin kelurahan. Syaratnya cuma satu, tidak mengenakan sandal karet atau sandal hotel. Selebihnya terserah Anda.
Warga yang datang tidak sekaligus diarahkan ke Istana, namun bertahap serta bergelombang. Di antara tahapan-tahapan itu, pegawai Istana dan wartawan Istana punya kesempatan untuk membuat rombongan sendiri. Maka, ketika Paspampres dan staf Biro Pers Istana memberitahu sudah boleh masuk, wartawan Istana yang sejak awal memang sudah berkumpul di pintu masuk Istana Negara, mulai membuat barisan.
Berbeda dari hari-hari biasa di Istana, untuk bisa berhadap-hadapan dengan Presiden kali ini, kiri dan kanan ada pengawal yang berjejer rapi dengan tatapan tajam. Saya yakin, Paspampres bisa bernapas sedikit lega setelah melihat identitas yang terpampang jelas di dada kami, meski kewaspadaan tak pernah kendor.
Maka, momen menyentuh Presiden itu pun akhirnya terjadi. Presiden SBY menerima uluran tangan saya sambil tersenyum, seperti juga dilakukan kepada yang lainnya. Tak hanya Presiden, di samping beliau juga berdiri Ibu Negara yang ikut bersalaman dengan kami. Tak lebih dari tiga detik prosesi bersalaman itu, tapi hanya bisa terjadi sekali dalam setahun.
Di lain sisi, Presiden harusnya juga berterima kasih kepada saya, karena mendahulukan untuk bermaaf-maafan dengan beliau ketimbang dengan istri dan orangtua saya yang menunggu di rumah. Saya berharap masih diberi kesempatan merayakan Idul Fitri tahun depan. Istri dan orangtua saya akan mendapat giliran menjadi yang pertama bermaaf-maafan dengan saya. Tak sabar rasanya.
Antrean warga yang akan bersilaturahmi Lebaran dengan Presiden SBY di Istana Negara.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar