Sabtu, 06 September 2008

Wakil Jaksa Agung

Rinaldo

Pejabat adalah orang penting. Kalau tidak, mana mungkin dia digaji besar dan diberi kewenangan luas, itu semata-mata karena dia dibutuhkan di posisi yang dia duduki. Misalnya saja, seorang presiden. Siapa yang berani mengatakan posisi sebagai presiden tidak penting?

Jangan melihat ramainya bursa pencalonan presiden atau riuhnya isu tentang money politic yang mengiringi pemilihan presiden kita. Cobalah untuk melihat fungsi yang diemban. Bukan pekerjaan gampang untuk mengelola sebuah negara, apalagi yang penduduknya bejibun serta heterogen seperti Indonesia.

Artinya, posisi sebagai presiden atau jabatan apa pun yang levelnya pimpinan sangat penting dan prestisius. Untuk itu, mereka yang ditempatkan pada posisi pimpinan haruslah orang-orang pilihan, dilihat dari sudut pandang mana pun. Mungkin hanya di Indonesia, orang yang dilihat dari banyak sudut punya kekurangan, masih bisa jadi pejabat.

Di luar itu, posisi wakil pimpinan jarang disorot. Misalnya saja posisi wakil presiden yang semestinya hanya berjarak satu tingkat dengan presiden, tapi dalam kenyataannya kalah jauh dari presiden. Padahal posisi sebagai wakil (tak hanya wakil presiden) sungguh vital.

Di mana pun, posisi sebagai wakil diadakan adalah untuk tugas-tugas khusus. Termasuk menggantikan pimpinan jika berhalangan, baik sementara atau tetap. Lihat saja ketika Presiden Amerika Serikat John F Kennedy tewas tertembak, dalam hitungan menit setelah itu, Wakil Presiden langsung dilantik di atas pesawat kepresidenan. Saking pentingnya seorang pimpinan, sedetik pun diusahakan tak terjadi kekosongan jabatan.

Namun tidak begitu dengan Kejaksaan Agung. Jabatan penting lowong berlama-lama bukanlah sebuah masalah. Hingga kini, posisi Wakil Jaksa Agung masih kosong, sejak ditinggalkan pejabat lamanya, Suparman, yang pensiun sejak 1 Juni tahun lalu. Artinya, sudah setahun lebih Jaksa Agung tak punya wakil, selain pejabat sementara yang juga sudah pensiun.

Anehnya, tak ada yang merasa resah, khawatir atau merasa kurang dengan kosongnya posisi itu. DPR yang seringkali bertemu dengan Jaksa Agung tak pernah bertanya, Presiden pun seperti tak bermasalah dengan itu. Lebih parah lagi sikap Kejaksaan Agung, yang keluar cuma alasan klise, bahwa semuanya sedang dalam proses pengajuan nama.

Entahlah, mungkin kejaksaan menganggap tidak ada di antara Jaksa Agung Muda, sebagaimana disyaratkan UU No.5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan, yang mampu menempati posisi itu, atau Jaksa Agung yang takut tersaingi. Ketika bulan lalu diumumkan mutasi besar-besaran di lingkungan kejaksaan, tetap saja tak disebut soal siapa yang akan mengisi jabatan Wakil Jaksa Agung.

Berdasarkan Pasal 6 Keppres No.55/1991 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan RI, dikatakan bahwa tugas seorang Wakil Jaksa Agung adalah membantu Jaksa Agung dalam membina dan mengembangkan organisasi, administrasi sehari-hari, serta tugas-tugas teknis operasional lainnya.

Selain itu, Wakil Jaksa Agung juga berfungsi mengkoordinasikan pelaksanan tugas, wewenang dan fungsi para Jaksa Agung Muda, Pusat dan kejaksaan di daerah. Yang terpenting, mewakili Jaksa Agung jika yang bersangkutan berhalangan.

Lantas, buat apa posisi itu diciptakan kalau kenyataannya tak pernah ditempati dan tidak dianggap penting. Bukankah di tengah kepercayaan yang menipis kepada Jaksa Agung yang belakangan agak malu-malu tampil di depan umum, kejaksaan butuh ‘’orang kedua’’ yang bisa membangkitkan kepercayaan? Atau, posisi itu masih alot oleh tawar-menawar kepentingan politik? Semuanya masih samar-samar, persis seperti proses penegakan hukum yang masih berkabut.***

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 8 Oktober 2003)

Tidak ada komentar: