Kamis, 07 Agustus 2008

Dari Upeti ke Korupsi

Rinaldo

Hari-hari terakhir ini beberapa tokoh nasional pusing lantaran dituduh korupsi. Entah benar atau tidak tuduhan itu, tapi baru sekarang kata-kata korupsi dianggap begitu sakti. Sebelumnya, tuduhan korupsi jalan sendiri, sedang pihak yang dituduh tetap lenggang kangkung tanpa beban. Namun sekarang beban itu mulai terasa.

Lihat saja Ketua Umum Partai Golkar yang lumayan gerah dicap sebagai terpidana korupsi. Kebebasannya tak dibatasi, namun toh Akbar Tandjung harus menuai hasil dari status barunya itu. Akbar mengakui kalau kurang populernya dia dalam konvensi pemilihan calon presiden di partai berlambang pohon beringin itu, lantaran statusnya sebagai terpidana.

Di tempat lain, tepatnya di Hotel Indonesia, dimana digelar Kongres PSSI yang berakhir kemarin, seorang teman bercerita. Katanya, salah satu kandidat terkuat untuk menjadi Ketua Umum PSSI, Nurdin Halid, hatinya sedang gundah gulana. Pasalnya, tiba-tiba saja ada media yang kembali mengangkat statusnya sebagai tersangka kasus korupsi.

Nurdin Halid agaknya belum lupa dengan kejadian yang sama. Dirinya pernah dielus-elus menjadi calon terkuat dalam pemilihan Gubernur Sulawesi Selatan beberapa waktu lalu. Namun elusan itu menjadi tak bermakna ketika kasus korupsi yang melibatkan dirinya dimunculkan entah oleh siapa. Mudah ditebak, jabatan gubernur itu akhirnya kandas didapatkan Nurdin.

Banyak nama bisa disebut untuk memperlihatkan kecenderungan yang sama, betapa stigma sebagai pelaku korupsi lumayan merepotkan bagi seseorang. Secara fisik mungkin tidak masalah, tapi secara batin akan sangat menyiksa. Tak aneh kalau banyak pejabat kita yang tanpa gejala apa-apa, tiba-tiba saja diopname karena sakit jantung atau terkena stroke.

Lebih dari itu, banyaknya kasus serupa mestinya menyadarkan kita, kalau penyakit hobi korupsi itu memang sudah membudaya. Ini jelas bukan sekadar statement tanpa fakta. Tengok ke belakang, maka sejarah akan bercerita.

Sejak negara ini masih dipenuhi kerajaan- kerajaan kecil, budaya memberi upeti pada penguasa menjadi keharusan. Dalam budaya ini sebenarnya terselip aspek korupsi yang kental. Hanya saja, karena waktu itu raja berkuasa, maka upeti dianggap sebagai sesuatu yang lazim. Sebagaimana dikatakan Mochtar Lubis dalam bukunya Bunga Rampai Korupsi, inilah bibit awal korupsi yang hingga kini tetap langgeng.

Meski begitu, kasus korupsi pertama di Indonesia dan terbesar menurut sejarah adalah yang terjadi di tubuh Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Sebuah perusahaan yang bisa mengalahkan banyak kerajaan di Nusantara, ternyata hancur dari dalam. VOC hancur karena korupsi dari para petingginya.

CR Boxer dalam bukunya Jan Kompeni, sangat baik dalam mengungkapkan dan menjelaskan hal ini. Menurutnya, VOC hanya kalah oleh dua hal, tentara Aceh dan korupsi di dalam tubuh mereka sendiri.

Kita tidak tahu apakah negara ini sudah dikutuk oleh Sang Pencipta, tapi yang jelas tak ada satu pun di antara pemimpin negara ini yang bersih dari dugaan korupsi. Bahkan, kejatuhan beberapa pemimpin itu karena perilaku korupsi yang dituduhkan padanya.

Jadi, mumpung sedang hangat-hangatnya Pemilu tahun depan dibicarakan, tak ada salahnya kita, tanpa harus berkoar-koar di depan khalayak ramai, meneguhkan hati untuk satu hal; tidak akan memilih calon pemimpin yang punya kecenderungan mempertahankan budaya raja-raja tempo dulu.

Daripada golput, lebih baik rasa tak suka pada budaya korupsi disalurkan dengan memilih pemimpin yang bersih. Sekali lagi, ini bukan kampanye. Sebab pada akhirnya, nurani masing-masing yang akan berbicara, ketika Anda memasuki bilik-bilik kecil untuk mencoblos wajah para calon presiden yang semuanya terlihat sumringah tanpa dosa.***

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 22 Oktober 2003)

Tidak ada komentar: