Rabu, 30 Juli 2008

Poor Smoker

Di dunia dikenal tiga kategori perokok. Pertama, perokok biasa. Yang masuk pada kelompok ini adalah yang menganggap merokok hanya iseng. Kalau ada rokok syukur, kalau tidak juga bukan masalah besar. Paling banter perokok kategori ini baru merasa butuh kalau habis makan atau saat duduk melamun di dudukan toilet.

Kedua, perokok berat. Tipe perokok ini sudah menganggap sigaret sebagai teman setia, gaya hidup, kebutuhan primer, serta pengganti obat sakit kepala. Ketika gajian, anggaran untuk membeli rokok yang pertama disisihkan, baru kemudian anggaran untuk membeli susu anak, elpiji, serta tagihan listrik.


Ketiga, perokok berat yang memberatkan. Kategori ini hampir sama dengan yang kedua. Bedanya, perokok ini tak memusingkan soal anggaran karena lebih sering meminta rokok teman daripada membeli sendiri sehingga memberatkan (anggaran) orang lain. Ciri khas perokok ini, tak punya cita rasa terhadap rokok tertentu. Merek atau harga tak masalah, yang penting bisa diminta, itu prinsip utamanya.


Kendati demikian, yang namanya perokok tetaplah bersaudara (cieee...), tanpa melihat perbedaan yang ada. Termasuk di SCTV, prinsip senasib sepenanggungan makin terasa saat kantor pindah ke Senayan City. Pasalnya, hak-hak kaum perokok yang dulu dengan mudah dinikmati, kini mulai berkurang.


Di satu sisi memang tak ada yang salah sebenarnya. Guna mematuhi Perda DKI Jakarta No. 75 Tahun 2005 tentang Kawasan Dilarang Merokok dan Perda DKI Jakarta No. 2 Tahun 2006 tentang Pengendalian Pencemaran Udara, di SCTV Tower larangan merokok di ruangan kerja juga diberlakukan, termasuk di ruangan breakout.


Dan, untuk mengakomodir dan menampung aspirasi kaum perokok agar inspirasi dan ide-ide kreatif tidak mandeg, tetap disediakan ruangan khusus untuk merokok. Sayang, kehadiran smoking room ini jauh dari memuaskan jika dilihat dari kacamata para perokok yang kini menjadi minoritas itu.

Bayangkan saja, di ruangan kerja yang menempati lantai 7 hingga lantai 21, hanya tersedia dua ruangan merokok, tepatnya di lantai 8 dan 10. Sedangkan bagi yang mau sedikit bersusah payah, mereka rela turun naik lift untuk menuju ke kantin Senayan City di dekat parkiran bawah tanah guna memuaskan hasrat untuk merokok.


Karena luasnya belum pernah diukur, untuk menggambarkan smoking room ini cukuplah disebut dengan RS8 (Ruangan Sangat Sempit Sekali Sehingga Smokers Sering Sikut-Sikutan). Namun begitu, para perokok tetap bahagia berada di RS8, kendati tak ada furniture yang memadai di dalamnya. Untuk lebih lengkapnya, keberadaan RS8 bisa dilihat di rekaman lensa berikut:


[untuk memperbesar gambar silahkah di-klik]


Smoking room dilihat dari luar.


Di hari-hari libur, ruangan ini lumayan nyaman karena sepi pengunjung.


Kalau di hari biasa, ruangan jadi penuh, padat merayap tak ubahnya jalan tol dalam kota saat jam pulang kantor.


Adegan yang paling sering ditemui di smoking room.


Wajah-wajah sebagian penghuni smoking room, perokok sejati dan pekerja tangguh.


Smoking room tak hanya berfungsi sebagai tempat merokok, tapi juga tempat bersosialisasi dengan teman satu kantor.


Bisa juga menjadi tempat membahas berbagai perkembangan mutakhir topik yang sedang menjadi wacana, mulai dari korupsi jaksa Urip hingga meninggalnya Mak Erot.


Atau tempat untuk berbagi dengan kaum tak berpunya.


Melamun juga boleh di sini, membayangkan kemurahan hati perusahaan yang kabarnya akan memberikan THR lima kali gaji.


Bahkan, smoking room juga bisa menjadi tempat perkenalan yang bukan tak mungkin berakhir dengan cinta lokasi.


Ironisnya, ada pula yang menganggap ruangan ini lebih mewah dari tempat kostnya, sehingga sangat layak ditiduri.


Banyak sudah memori terjadi di balik kaca RS8 ini.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

nice blog...
memang abang ku yg satu ini punya selera humor yang tinggi, tapi tetep jurnalis bangeeeeeettt!!!!!!!!!!
hahahahahahahahahahahahahahaha....

nanti qq ikutan ya mejeng di blog mas aldo...
eehheehehehe....

Anonim mengatakan...

Sebagai sesama kaum perokok [kategori kedua] saya ikut bersimpati, ha...ha...ha...