Rinaldo
Tak bisa disangkal, korupsi adalah penyakit akut di negara ini. Saking akutnya, saya sudah bosan mendengar dan membaca berita tentang dugaan, tuduhan dan dakwaan terhadap mereka yang melakukan korupsi. Bukan bosan sebenarnya, tapi lebih tepat disebut frustrasi.
Bayangkan saja, setiap kali rezim berganti, setiap kali Jaksa Agung bertukar nama dan setiap kali wakil rakyat bersidang, pemberantasan korupsi selalu menjadi jargon yang ampuh. Padahal, seiring berjalannya waktu, ternyata pelaku korupsi tidak jauh-jauh dari mereka-mereka juga, orang-orang yang tampil di depan untuk memberangus "tikus-tikus" penjarah kekayaan negara.
Lebih menyedihkan, pola itu seperti sudah menjadi ritual kenegaraan. Lihat saja, sejak negara ini berdiri, korupsi pun mengiringi. Buktinya, sejak lama lembaga pemberantas korupsi sudah dibuat, yang menandakan kalau korupsi itu ada. Ini pun bisa dianggap wajar, karena sulit menemukan negara yang bersih dari penyakit ini.
Bedanya, di negara lain korupsi selalu ditekan sampai pada taraf minimal, sedang di sini korupsi dibiarkan berkembang dari yang teri hingga kakap. Tapi di permukaan tetap diperlihatkan keseriusan untuk memberantasnya.
Jadi, jangan merasa aneh atau marah kalau tiap tahun Indonesia selalu menempati posisi puncak di antara deretan negara-negara terkorup. Itu belum seberapa memalukan dibandingkan sikap pemerintah yang terlihat biasa-biasa saja menanggapi hal itu. Malahan, kita merasa menjadi lebih terkenal dan hebat karena "prestasi" itu.
Dan kini, pemerintah kembali mencoba untuk menutupi beban sebagai negara terkorup itu dengan melahirkan sebuah lembaga baru. Sebagaimana digariskan dalam UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bahwa satu tahun sejak UU tersebut disahkan (26 Desember 2002) lembaga yang bernama Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah harus menjalankan tugasnya.
Dengan lahirnya KPK ini, lembaga serupa yang dibentuk sebelumnya, yaitu Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN) harus dilebur ke dalam KPK. Lembaga ini pula yang pernah melaporkan Jaksa Agung M.A. Rachman kepada kepolisian karena dianggap tidak melaporkan seluruh kekayaan yang dia miliki.
Sebagaimana dijelaskan dalam UU No.30 Tahun 2003, kewenangan yang dimiliki lembaga baru ini akan lebih bergigi dibandingkan KPKPN. Tapi juga menjadi pertanyaan, kalau dengan kewenangan terbatas saja KPKPN sudah membuat banyak pejabat kebakaran jenggot, bagaimana nantinya dengan KPK?
Pada titik inilah kita layak menaruh curiga. Sebagai latarnya, rancangan pembentukan KPK sudah diserahkan Menteri Kehakiman dan HAM kepada Presiden sejak Maret silam. Namun baru pekan lalu Keputusan Presiden (Keppres) tentang pembentukan KPK baru keluar. Artinya, butuh waktu enam bulan bagi Presiden mengolah sebuah Keppres. Lantas, berapa lama pula waktu dibutuhkan untuk melahirkannya?
Melihat gelagatnya, jangan-jangan kasus pembentukan Mahkamah Konstitusi bisa terulang lagi. Sebuah lembaga yang diamanatkan oleh UUD 1945 hasil amandemen ternyata dikebut dalam hitungan hari untuk melahirkannya. Tentu saja keberadaan KPK yang hanya besandar pada sebuah undang-undang akan lebih dipandang rendah.
Akhirnya, kita layak untuk terus mengkritisi pembentukan lembaga ini, terutama dari sisi waktu, baru kemudian proses rekrutmen orang-orang yang akan duduk di lembaga ini. Sebagai warga negara yang sudah kenyang dengan tipu daya penguasa, sah-sah saja kiranya kalau kita sedikit resah melihat cara-cara pemerintah dan wakil rakyat melahirkan lembaga yang akan memeriksa rahasia paling dalam mereka.*
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 2 Oktober 2003)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar