Rinaldo
Kasus Tanjung Priok yang sekarang sedang disidangkan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mendapat perhatian masyarakat luas. Persidangan menghadirkan tersangka yang cukup punya nama, ditambah lagi perkaranya dibagi dalam empat berkas terpisah. Namun, masih kalah besar dibandingkan dengan sidang kasus yang sama, 18 tahun lalu.
Bayangkan, sidang ini harus membuat Menteri Kehakiman campur tangan dan Panglima ABRI mencak-mencak karena diberitakan media massa melarang pemberitaan seputar persidangan ini. Usai persidangan, ketua majelis hakimnya pun dimutasi ke Sumatera Utara.
Ketika itu, 19 Agustus 1985, H.R. Dharsono hadir di pesidangan sebagai terdakwa. Mantan Panglima Divisi Siliwangi ini diadili berdasarkan undang-undang subversi karena menandatangani lembaran putih peristiwa Tanjung Priok.
Tim pembela hukum Dharsono ditangani lima orang pengacara top, Adnan Buyung Nasution, Todung Mulya Lubis, Harjono Tjitrosubono, Amartiwi Saleh, dan Luhut MP. Pangaribuan. Tak cuma itu, sidang juga dijaga ratusan aparat keamanan dari berbagai kesatuan.
Ketika hakim ketua membacakan amar putusan, Buyung bangkit dari duduknya, memprotes kata-kata yang digunakan oleh hakim, bahwa pengacara bertingkah laku tidak etis di dalam persidangan.
Interupsi Buyung ini menimbulkan kekacauan dalam persidangan. Saat itulah seorang tentara masuk ke ruangan sidang untuk menenangkan suasana. Tetapi Buyung berdiri sambil berkacak pinggang dan berteriak menyuruhnya keluar seraya berkata, ”Urusan persidangan adalah urusan hakim, bukan urusan tentara.”
Setelah itu Buyung dituduh melakukan contempt of court atau melecehkan pengadilan. Tuduhan semacam itu tidak sulit dicarikan alasannya, sebab kata-kata yang dilontarkan Buyung, dirasakan oleh majelis hakim sangat menusuk.
Terlepas dari benar atau salah sikap yang diperlihatkan Buyung, yang jelas majelis hakim sudah memperlihatkan sikap tegas. Majelis hakim betul-betul telah menjaga kewibawaan lembaganya. Hanya saja, kewibawaan ini pula yang hari-hari terakhir ini menjadi pertanyaan saya kepada korp hakim kita.
Sikap melecehkan pengadilan juga kerap terjadi saat digelarnya persidangan kasus 27 Juli yang masih berjalan di PN Jakarta Pusat. Puncaknya adalah ketika seorang pengunjung di PN Jakarta Timur, mengancam akan membunuh majelis hakim yang sedang menyidangkan gugatan Tomy Winata terhadap Tempo.
Tapi, untuk semua perlakuan yang sudah menjurus kepada penistaan lembaga peradilan itu, majelis hakim tak mengambil tindakan apa-apa. Kenyataannya, hakim sendirilah yang telah membiarkan lembaganya dinistakan.
Memang benar, keinginan Mahkamah Agung akan adanya undang-undang tentang contempt of court belum terpenuhi sampai kini. Negara lain, Inggris, misalnya, telah menerapkan contempt of court mulai abad ke-6. Di Australia masalah ini ditentukan dalam Judiciary Act 1903, Federal Court of Australia act 1976, dan Federal Court Rules serta The Criminal Code.
Tapi itu bukan jawaban, sebab dalam KUHP sebenarnya ada empat pasal (Pasal 217, 218, 207 dan 212) yang bisa menjerat pelaku contempt of court. Salah satunya pasal 217 yang berbunyi: Barangsiapa menimbulkan kegaduhan dalam sidang pengadilan atau di tempat dimana seorang pejabat sedang menjalankan tugas yang sah di muka umum, dan tidak pergi sesudah diperintah oleh atau atas nama penguasa yang berwenang, diancam dengan pidana penjara paling lama tiga minggu atau denda paling banyak seratus dua puluh rupiah.
Karena itu, menjadi sulit dimengerti cara pandang hakim kita saat ini, tentang kapan ketentuan contempt of court harus diterapkan atau tidak. Jangan-jangan, hakim memiliki standar ganda dalam hal ini. Tergantung siapa yang berperkara atau siapa yang menista. Wallahualam!*
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 29 Oktober 2003)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar