Minggu, 22 Juni 2008

Nasionalisme Salah Kaprah

Rinaldo

Senin lalu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (MenPAN) Feisal Tamin, dalam sebuah acara di Malang, memerintahkan kepada pejabat dan pimpinan di daerah untuk mengawali setiap acara yang dihadiri banyak orang dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Beleid itu dikeluarkan sang menteri bukan karena banyak pejabat mulai lupa dengan teks lagu kebangsaan kita, tapi menurutnya semata-mata untuk menggugah kembali semangat nasionalisme dalam membangun bangsa.

Tidak jelas, penelitian siapa yang menjadi acuan, sehingga mengambil kesimpulan kalau sebuah lagu bisa menggugah semangat nasionalisme. Besar kemungkinan MenPAN terinspirasi dari film-film perjuangan yang selalu mengobarkan semangat juang dengan bernyanyi. Masalahnya, apakah cara ini masih tepat dalam konteks kekinian.

Sejak masih di bangku sekolah, sulit dihitung sudah berapa kali kita menyanyikan lagu Indonesia Raya. Bahkan, tak cuma di acara-cara formal lagu tersebut dikumandangkan. Sebelum rapat partai politik, bahkan sebelum pertandingan tinju digelar, lagu ini tak kurang-kurangnya bergema di kuping kita.

Menumbuhkan semangat nasionalisme itu penting, tidak hanya bagi aparatur negara, di kalangan rakyat biasa pun kalau biasa semangat ini sangat patut ditanamkan. Hanya saja, jika melihat pada cara yang diperintahkan MenPAN, rasanya sulit semangat itu bisa ditumbuhkan dengan simbol-simbol, seperti nyanyian dimaksud.

Feisal beralasan, di Malaysia, dengan slogan-slogan yang terus digulirkan telah mampu membangun semangat nasionalisme. Tapi kita tidak sama dengan Malaysia. Di negara jiran itu sistem pemerintahannya sudah jalan. Birokrasi betul-betul menjadi pelayan publik, dan rakyat menikmati itu semua sebagai bakti negara pada rakyatnya.

Puluhan ribu tenaga kerja kita yang bermukim di sana, kalau ditanyakan bagaimana kecintaan mereka pada negara yang telah memberi mereka penghidupan, mungkin akan membuat malu Indonesia. Sebab bisa jadi mereka lebih mencintai Malaysia yang telah ‘’memanusiakan’’ dirinya dibanding Indonesia, negara kelahiran yang tak memberi apa-apa.

Di Indonesia yang terjadi sebaliknya, semangat yang tumbuh di kalangan aparat adalah semangat untuk korupsi, menindas dan berkuasa. Sehingga, mustahil lagu kebangsaan bisa membuat aparatur pemerintahan kita berhenti menjadi ‘’pencuri’’ di lembaganya.

Nasionalisme tak bisa dikomando atau dipaksakan, tapi mengalir dengan sendirinya. Bagi rakyat biasa, nasionalisme baru akan tumbuh kalau negara merawat dan menjaga mereka. Bagaimana nasionalisme bisa datang kalau rakyat sengsara dan ditelantarkan oleh negara. Saya tidak bisa membayangkan reaksi para pemulung, pedagang asongan, pengamen, guru serta dokter di tempat terpencil, kalau mereka disuruh menumbuhkan semangat cinta Tanah Air.

Slogan yang sangat populer dari mulut mantan Presiden AS John Fitzgerald Kennnedy, jangan tanya apa yang telah diberikan negara padamu, tapi tanyakanlah apa yang telah kamu berikan pada negara, sudah tak laku lagi.

Sebagai pemilik sah negara ini, rakyat sudah memberi kerelaan dan kepasrahan dijadikan ‘’sapi perahan’’ oleh para pemimpinnya, kurang apa lagi? Sedang negara hanya memberi janji-janji dalam konstitusi untuk mensejahterakan mereka.

Yang dibutuhkan oleh aparatur penyelenggara negara saat ini, untuk menumbuhkan semangat nasionalisme seperti diinginkan Feisal, bukan dengan bernyanyi, tapi dengan menerapkan reward and punishment.

Berilah penghargaan pada mereka yang betul-betul mengabdi tanpa banyak meminta, dan jatuhkanlah sanksi seberat mungkin pada aparat yang bisanya cuma ‘’merampok’’ tanpa menyadari kalau dia menjadi aparat untuk melayani publik, bukan menjadi tuan bagi publik.*

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 10 September 2003)

Tidak ada komentar: