Selasa, 24 Juni 2008

Intel di Wilayah Abu-Abu

Rinaldo

Tahun 1987, dunia sempat gempar dengan terbitnya buku berjudul Spy Catcher. Buku yang ditulis Peter Wright, mantan Deputi Direktur Dinas Rahasia Inggris MI5 itu, dilarang beredar di Inggris dan di seluruh Negara Persemakmuran. Pemerintah Inggris mengecam buku itu lantaran memaparkan rahasia paling dalam dari dinas rahasia mereka.

Saking meluasnya pemberitaan di media massa waktu itu, saya yang masih duduk di bangku SMA dan tinggal di sebuah kota kecil, rela berlelah-lelah menyambangi berbagai toko buku untuk melepas rasa penasaran. Akhirnya buku itu memang saya dapatkan, dan saya baca tuntas seketika..

Buku ini sebenarnya adalah biografi dari si pengarang selama dua dasarwasa bergumul di dunia spionase. Selama itu pula ilmuwan pertama MI5 ini menghadapi berbagai intrik, baik dengan seterunya di dalam negeri, MI6, sikap saling curiga dengan CIA dan FBI, serta persaingan dengan Komitet Gosuderstvennoy Bezopasnosty atau KGB, dedengkotnya dinas rahasia Uni Sovyet.

Keberadaan MI5 tak jauh beda dengan FBI atau Badan Intelijen Negara (BIN) di Indonesia. Tugas utamanya melindungi rahasia dalam negeri Inggris, tapi juga melakukan kegiatan kontraintelijen tertentu di luar negeri.

Berbeda dengan MI6, lebih diarahkan pada tugas mengumpulkan informasi luar negeri. Bagi yang suka menyimak film James Bond pasti hapal betul, karena di dinas rahasia inilah agen kampiun itu bernaung.

Peter si pengarang buku, sebelum mencapai posisi puncak di MI5 ditempatkan di Cabang D (kontraspionase). Banyak sudah dia memata-matai diplomat asing, menyadap kedutaan besar negara sahabat, seta memata-matai aktivitas Partai Komunis Inggris Raya.

Sebagai orang Indonesia saya sempat merasa kecil hati juga membaca buku ini. Dalam Bab 9 Peter menulis, "Kami melakukan operasi terhadap Kedutaan Indonesia semasa konfrontasi Indonesia-Malaysia, dan menyadap seluruh pesan sandi mereka selama berlangsungnya konflik tersebut".

Meski kisah paling menegangkan dalam buku ini adalah tentang perburuan terhadap pengkhianat yang ada di dalam tubuh MI5, bagi saya sebagai pembaca awam lebih suka membaca berbagai operasi yang dilakukan, dinas ini betul-betul bekerja secara profesional.

Mereka sangat menghargai privasi orang lain, setiap operasi dilakukan hati-hati agar tidak ketahuan. Jangankan dari warga sipil, polisi pun dihindari, sebab mereka sadar berada di wilayah abu-abu, antara ada dan tiada. Kalau ada agen tertangkap saat melakukan operasi, selain rasa malu yang harus ditanggung lembaganya, mereka juga bisa dituduh melanggar hukum.

Hal inilah yang sekarang menjadi permenungan saya, ketika BIN meminta diberi hak menangkap sekaligus menginterogasi tersangka. Sebatas yang saya pahami, urusan menangkap dan memeriksa tersangka adalah masalah hukum, dan aparat yang diberi kewenangan untuk itu adalah kepolisian.

Intelijen di era modern mestinya makin mengurangi tindakan represif dan mengedepankan sikap profesionalisme. Kecerdasan haruslah dinomorsatukan, bukan otot. Fungsi utamanya pun lebih kepada deteksi dini, pengumpulan serta pengolahan data yang diperlukan oleh lembaga negara lainnya.

Jika intel lebih mengandalkan otot, maka kita set back ke masa lalu. Ibarat warga Jerman merinding ketika nama Gestapo disebut, atau yang lebih dekat, saat aparat Kopkamtib merajalela mengalahkan fungsi lembaga formal seperti kepolisian.

Yang diperlukan sebenarnya adalah memperbaiki koordinasi antarlembaga. Bukan menambah ruwet, banyak lembaga tapi kewenangan tumpang tindih. Harusnya BIN sadar, bahwa mereka bekerja dalam diam, sehingga untuk menangkap seseorang harus lewat tangan lain, yaitu lembaga yang memang diberi kewenangan untuk itu.*

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 17 September 2003)




Markas MI6


Tidak ada komentar: