Senin, 16 Juni 2008

Martabat yang Tergadai

Rinaldo

Haji Agus Salim, politisi kondang di zaman pergerakan serta pascakemerdekaan itu pernah bercerita. Suatu kali dalam lawatan ke luar negeri dia menumpang pesawat maskapai penerbangan asing. Seperti kebiasaan yang selalu dia lakukan, saat pesawat mengudara mulailah dia membuka bungkus rokok kretek yang tak pernah lupa dibawanya.

Dengan santainya politisi berjanggut subur ini mengisap dalam-dalam rokok kesayangannya. Entah diasadari atau tidak, rupanya penumpang kiri kanan, yang juga merokok, mulai melirik dengan pandangan aneh. Merasa tidak ada yang aneh dengan dirinya, Haji Agus Salim meneruskan mengisap rokok tanpa peduli pada tatapan itu.

Dia baru kaget ketika seorang pramugari, wanita muda berkebangsaan Eropa, dengan sikap sopan menyapanya. ‘’Bisakah Anda mematikan rokok sementara pesawat mengudara? Kami merasa terganggu dengan bau asapnya yang tidak lazim itu,’’ ucap si pramugari dengan lancarnya, dalam Bahasa Inggris.

Kontan saja tokoh yang mahir berbicara dalam tujuh bahasa ini merah padam mukanya. Bukan karena malu, tapi karena tersinggung. ‘’Nona, asal Anda tahu, rokok ini dibuat dari tembakau dan cengkeh pilihan yang tumbuh di Indonesia. Karena tembakau dan cengkeh ini pula bangsa Anda berlomba-lomba menjajah negara kami, jadi jangan Anda bersikap munafik,’’ jelasnya dengan suara lantang.

Sambil menebarkan senyum penuh kemenangan, Haji Agus Salim meneruskan ‘’acaranya’’ tanpa terganggu lagi. Pramugari pergi dengan wajah memerah, penumpang lain pun berusaha bersikap biasa, seolah tak pernah terjadi apa-apa.

Hal seperti itulah yang sekarang sulit ditemui. Haji Agus salim begitu bangganya membawa identitas pribadi sebagai bagian tak terpisahkan dari dirinya. Dia sadar betul bagaimana martabat diri serta bangsanya harus dibela mati-matian. Tak boleh ada orang yang menghina dirinya karena latar belakang bangsa atau warna kulit.

Saat ini, martabat kita sebagai bangsa yang besar (katanya), sedang saya pertanyakan. Rasa-rasanya kita sudah menjadi bangsa yang sudah tidak bermartabat, mengingat begitu mudahnya bangsa ini diacak-acak dari luar. Pasalnya, pembiaran yang dipertontonkan pemerintah ketika warga negaranya ‘’diculik’’ pemerintah asing, betul-betul membuat saya risau.

Diawali dengan ‘’penculikan’’ Umar al-Faruq yang penuh misteri. Pihak intelijen kita dengan bangganya mengklaim kalau merekalah yang meringkus tersangka teroris ini. Namun kebanggaan itu sirna tatkala lelaki ini dibawa ke negara lain tanpa permisi.

Begitu juga yang kemudian terjadi dengan Hambali. Ditangkap di negara lain, tapi bukan dipulangkan ke Indonesia, tapi ke negara yang tak ada urusannya dengan Hambali. Lagi-lagi pemerintah dibiarkan menjadi penonton menyaksikan warga negaranya dibawa paksa tanpa ada pembelaan.

Pemerintah punya alasan, mengatakan Umar bukan warga asli negara ini, atau mengatakan Hambali sudah tidak jelas status kewarganegaraannya. Tapi, bukankah mudah ditelusuri, kalau ternyata Umar punya istri dan beranak pinak di sini, bahkan punya KTP Indonesia pula. Hambali, rumah tempat dia dilahirkan pun hingga kini masih ada. Status kewarnegaraan? Sejak kapan Hambali menyatakan tidak lagi menjadi bagian dari bangsa ini?

Karena itu, pemerintah harus malu dan berhenti berceloteh soal nasionalisme. Memaksa rakyat mencintai negara sekaligus pemimpinnya adalah naif kalau negara serta pemimpinnya sama sekali tak punya daya melindungi rakyatnya. Kalaupun dua orang itu melakukan pelanggaran hukum, harusnya diadili di sini, dengan hukum negaranya. Jangan biarkan saya, WNI yang punya KTP asli, merasa malu karena dikatakan menjadi bagian dari sebuah negara yang tidak bermartabat.*

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 27 Agustus 2003)


Tidak ada komentar: