Tak bisa disangkal, Muhammad Yamin dan Soepomo adalah arsitek dari UUD 1945. Dua the founding fathers inilah yang pemikirannya paling banyak menghiasi aturan dasar negara kita. Namun, sebatas yang saya pelajari di bangku kuliah serta hasil membaca risalah pembentukan UUD 1945 oleh BPUPKI, kedua tokoh ini pula yang paling sering berbeda pendapat.
Misalnya, ketika Yamin mengusulkan soal hak asasi manusia dimasukkan dalam UUD, Soepomo menentangnya. Bagi Soepomo, ide itu terlalu kebarat-baratan dan tidak cocok bagi Indonesia yang memiliki falsafah kekeluargaan. Begitu pula ketika Yamin mengusulkan agar dibentuk sebuah mahkamah spesial (demikian istilahnya ketika itu) untuk menengahi sengketa pelaksanaan konstitusi (constitutional disputes). Ide ini juga ditentang Soepomo, namun dengan alasan yang bisa diterima.
‘’Tenaga kita belum banyak, dan kita harus menambah tenaga-tenaga ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda, saya kira belum waktunya mengerjakan persoalan ini,’’ demikian alasan Soepomo atas ide Yamin.
Seiring berjalannya waktu, Indonesia akhirnya tiba pada periode di mana kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) tak bisa dihindarkan. Saat terjadinya impeachment terhadap Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR, Konstitusi (UUD 1945) ditafsirkan dalam dua mainstream utama, antara yang memihak MPR dan yang memihak Presiden.
Ketika itulah ide Yamin menemukan momentumnya. Melalui hasil amandemen keempat UUD 1945 dalam Pasal III Aturan Peralihan diperintahkan untuk membentuk MK. Tepat 58 tahun sejak ide Yamin gagal ditampung UUD 1945, tanggal 16 Agustus 2003 sembilan hakim konstitusi dilantik dan UU No.24/2003 tentang MK pun disahkan.
Tapi apakah persoalan selesai? Jawabnya: belum! Sebagaimana 45 negara di dunia yang memiliki lembaga sejenis, MK hadir karena pengalaman atas terjadinya sengketa konstitusi di negara bersangkutan, bukan atas kesadaran yang tiba-tiba untuk melahirkan MK.
Bedanya dengan kita, perencanaan cukup lama, namun dalam pembentukannya tergesa-gesa, entah disengaja atau tidak. Akibatnya mahkamah yang punya kekuasaan besar ini diisi oleh orang-orang yang dicomot dalam kondisi tergesa-gesa pula, namun seperti dikondisikan begitu.
Mestinya sembilan pengawal utama konstitusi ini haruslah orang-orang pilihan. Mengingat tugasnya membubarkan partai politik, menyatakan pelanggaran yang dilakukan presiden serta memutus sengketa antarlembaga negara, bukanlah tugas sembarangan.
Sudahkah mereka diteliti daftar kekayaannya, perjalanan karir, prestasi, independensi, tingkat keilmuan dan pemahaman akan konstitusi, dan apakah dalam hidupnya sembilan orang ini terbebas dari perbuatan tercela? Hal ini yang belum terang, karena mereka hadir di MK sepertinya bukan karena kualitas, tapi karena keterdesakan waktu.
Jadi, kalau ditanyakan apakah sembilan orang hakim ini sudah merepresentasikan pakar konstitusi yang diakui integritasnya di negara ini? Saya pribadi tidak setuju, sebab masih banyak nama lain di luar sana yang gampang dilihat tingkat keilmuan serta integritasnya.
Namun di lain sisi saya menyadari, kalau sembilan hakim konstitusi ini sama sekali tidak dihadirkan untuk mewakili sosok orang-orang pintar dalam pemahaman konstitusi, tapi lebih sebagai representasi kekuatan politik yang ada.
Karena itu, kita pantas merasa iba pada Yamin dan Soepomo. Setengah abad lebih ide mereka menunggu untuk diwujudkan, namun hasilnya tidak matang. Keinginan Yamin memang tercapai dengan lahirnya MK, namun harapan Soepomo agar lembaga itu diisi orang-orang pintar sama sekali tak terpenuhi. Inilah sebuah mahkamah yang sangat baru namun dilahirkan dengan paradigma masa lalu.*
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 20 Agustus 2003)
Sembilan Hakim Konstitusi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar