Jumat, 02 Mei 2008

Membersihkan Sejarah Pemimpin

Rinaldo

Dalam sebuah bukunya yang sekarang terbilang langka, Guntur Soekarnoputra menuliskan cerita saat dirinya diajak sang ayah menghadiri Sidang Umum PBB di New York. Ketika itu, demikian tulis Guntur, sedang digelar pandangan umum dari tiap negara anggota PBB.

Sebelum tiba giliran Indonesia, Bung Karno berjalan ke kursi utusan negara India. Ditatap oleh puluhan wakil dari negara lain, Bung Karno berbisik pada Jawaharlal Nehru. Entah apa yang dibisikkan, Nehru kemudian mengangguk sembari tersenyum.

Dalam jeda tidak terlalu lama, dari kursinya Bung Karno berjalan ke arah Gamal Abdul Nasser, wakil dari Mesir. Kembali Bung Karno berbisik yang disambut anggukan senang Nasser. Tak pelak ‘’ulah’’ Bung Karno ini menimbulkan bisik-bisik di kalangan wakil-wakil negara Asia dan Afrika yang hadir. Ketika itu, tiga pemimpin ini, Nehru, Nasser, dan Soekarno dianggap pemimpin bangsa Asia dan Afrika.

Saat Bung Karno memberikan pandangannya, hampir seluruh perwakilan dari Asia dan Afrika melakukan standing ovation memberikan aplaus tanda setuju atas gagasan Bung Karno. Pasalnya, mereka menganggap usulan tersebut telah diamini oleh Nehru dan Nasser. Buktinya, ketika Bung Karno berbisik, kedua tokoh besar itu mengangguk tanda setuju.

Di kamar hotel, Guntur dengan rasa penasaran bertanya apa gerangan yang dibisikkan. Rupanya Bung Karno mengatakan, ‘’Yang Mulia, sepertinya sidang hari ini sangat melelahkan, bagaimana kalau nanti kita bertemu untuk makan malam bersama?’’ Tentu saja kedua tokoh yang dibisiki tidak berani menolak dan akhirnya mengangguk, yang oleh wakil dari negara lain ditafsirkan sebagai sikap setuju atas gagasan Bung Karno.

Itu hanya sekelumit cerita kebesaran nama seorang Soekarno. Tidak hanya bagi Asia dan Afrika tentunya. Kita bisa melihat betapa hormatnya seorang Kennedy atau Kruschev pada sosok gagah ini. Hanya saja, tidak seluruh kisah hidup Bung Karno dicatat dengan tinta emas. Ada kalanya dia salah langkah. Dan itu sangat manusiawi.

Sejarah itulah sekarang, dalam Sidang Tahunan MPR, dicoba oleh Fraksi PDI Perjuangan untuk diubah. Berniat membersihkan catatan sejarah Bung Karno, tiga Ketetapan MPRS diusulkan untuk dicabut. Langkah ini jelas kurang tepat.

Sebagai seorang presiden, figur sentral dalam negara, segala pernik kehidupan Soekarno sudah diketahui umum. Keberadaan tiga Tap MPRS itu hanyalah sebagian kecil perjalanan hidup itu, sudah berlalu serta mejadi catatan sejarah. Bukankah sejarah tak bisa diubah dengan sekadar mencabut aturan tertulis, karena pergerakan waktu tak bisa diulang ke masa lalu.

Misalnya usulan mencabut Tap No.XXIII/MPRS/1967 tentang peralihan kekuasaan dari Soekarno pada Soeharto. Apakah dengan pencabutan itu lantas kedudukan Soekarno sebagai presiden dipulihkan? Jelas tidak.

Tanpa mencabut Tap MPRS pun, nama Soekarno senantiasa abadi. Catatan perjalanan hidupnya, baik yang terang atau gelap, adalah bagian dari sejarah itu sendiri. Bahkan, jika seluruh kealpaan Soekarno digabung jadi satu, tetap tak akan cukup meniadakan dia sebagai seorang proklamator. Sampai kapan pun, tetap saja tanda tangan Soekarno dan Mohammad Hatta yang tertera di selembar kertas pendirian negara ini.

Mestinya, tugas Fraksi PDI Perjuangan di MPR saat ini adalah mendukung serta mengawasi gerak maju Megawati Soekarnoputri, untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Cerita tentang Soekarno telah usai dan menjadi sejarah. Sedangkan bagi Megawati, sejarah itu sedang berlangsung.

Daripada repot-repot membersikan nama Megawati di kemudian hari, bukankah lebih mudah dari sekarang jalan sejarah itu dibersihkan. Misalnya dengan menertibkan birokrasi serta memecat pejabat korup. Itu kalau Fraksi PDI perjuangan berpijak pada kenyataan saat ini, bukan bermimpi dalam bayang-bayang masa lalu.*

(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 6 Agustus 2003)

Megawati dan Soekarno


Tidak ada komentar: