Rabu, 21 Mei 2008

Ali Sadikin yang Saya Kenal

Rinaldo

Di penghujung tahun 1995, saya datang ke Jakarta untuk mengumpulkan data bagi penulisan akhir di Fakultas Hukum Universitas Andalas. Selain mencari beberapa dokumen yang lumayan langka, saya juga berencana menemui beberapa mantan petinggi TNI yang pernah duduk di pemerintahan. Pasalnya, skripsi saya yang mengupas tentang Dwifungsi ABRI membuat keterangan dan masukan dari mereka sangat dibutuhkan.

Hal itu pula yang membuat saya mendatangi sebuah rumah di Jalan Borobudur Nomor 2, Jakarta Pusat, yang tak lain kediaman Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta 1966-1977. Ketika itu saya bertemu dengan Ibu Mia, sekretaris beliau yang super ramah, dan menyerahkan proposal penelitian. Perlu waktu menunggu selama sepekan sebelum saya akhirnya bertemu Bang Ali di ruang tamu rumahnya yang nyaman.

Suasana di awal pertemuan sempat kaku sebelum obrolan ditingkahi gelak tawa dan keharuan. Saya sempat tergelak ketika beliau mengatakan lebih hebat dari tetangga depan rumahnya, mantan Pangkopkamtib Laksamana TNI Purnawirawan Sudomo. Pasalnya, di usia menjelang 70 tahun masih bisa membuat anak dari pernikahan keduanya, sementara Sudomo sudah tak bisa.

Di sela-sela obrolan, beliau sempat menyarankan agar saya juga mendatangi Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution. "Meski sulit, kamu harus mencoba bertemu beliau. Dwifungsi tak akan pernah ada jika tanpa pemikiran Nasution," tegas Bang Ali. Padahal, tanpa saran beliau pun, Bapak Angkatan Darat itu memang sudah masuk dalam daftar narasumber yang akan saya datangi.

Keharuan kemudian menyeruak ketika Bang Ali menyatakan kesedihannya akan nasib Nasution di bawah pemerintahan Orde Baru. Di matanya, Nasution dan Presiden Soekarno adalah sosok panutan, di luar segala kekurangan yang dimiliki mereka. Khusus untuk Nasution, Bang Ali berujar, "Saya tak akan bisa memaafkan bangsa ini jika sampai akhir hidupnya Pak Nas tetap diperlakukan seperti sekarang," ujar beliau sambil mengusap air mata.

Saya hanya bisa tertegun. Tak bisa berkata-kata. Saya tak menyangka sosok keras seperti Ali Sadikin bisa menitikkan air mata. Pembicaraan pun kemudian beralih kepada kondisi terakhir Pak Nas. Sebelum mengakhiri pertemuan, saya meminta untuk berfoto bersama. Bang Ali yang kemudian mengarahkan agar kami berfoto dengan latar belakang gambar Presiden Sukarno yang sangat besar di dinding dekat pintu keluar.

Yang mengagetkan, beliau meminta saya untuk datang lagi jika sudah bertemu dengan Pak Nas. Saya pun menyanggupi dan mengatakan sudah ada janji pula bertemu dengan mantan Mendagri Rudini, mantan Pangkostrad Letjen Kemal Idris, dan Pangkopkamtib Jenderal TNI Purnawirawan Soemitro. Namun, untuk bertemu Pak Nas belum ada jawaban dari ajudan beliau Lettu CAJ Djamaluddin.

Ketika saya akhirnya bertemu dengan mantan petinggi-petinggi TNI itu, Bang Ali saya telepon. Beliau dengan antusias menanyakan kapan saya akan ke Borobudur Nomor 2 lagi. Janji pun dibuat dengan Ibu Mia.

Pada pertemuan kedua kami membahas pandangan dari para mantan petinggi TNI itu tentang Dwifungsi ABRI. Bang Ali banyak bercerita tentang sosok-sosok jenderal itu. Misalnya, tentang Jenderal Soemitro yang berlatar belakang didikan PETA bikinan Jepang. Atau, hubungannya dengan Letjen Kemal Idris yang tidak begitu dekat, meski keduanya sama-sama bersuara keras terhadap Orde Baru.

Tentang posisinya yang pernah menjabat Gubernur Jakarta selama dua periode dibantah Bang Ali sebagai bagian dari Dwifungsi. Menurutnya, dia dipilih Bung Karno sebagai gubernur bukan karena bintang di bahunya. "Saya dipilih karena beliau [Bung Karno] menilai saya orangnya tegas," ujar Bang Ali.

Ketika pembicaraan menyoal pengalaman selama menjabat gubernur itulah Bang Ali mulai lagi menerawang. Dia menceritakan sebuah ironi yang terjadi saat menjadi penguasa Ibu Kota. Ketika itu, demikian cerita Bang Ali, ajudannya di Balai Kota memberitahu bahwa dia kedatangan tamu. Setelah dipersilahkan masuk, ternyata tamu itu tak lain Dr. Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI yang pertama.

Kedatangan yang tanpa pemberitahuan itu jelas membuat sang gubernur kaget. Apalagi Bung Hatta datang dengan sikap sangat santun. Ketika usai beramah tamah, Bapak Koperasi itu memohon bantuan pada Bang Ali. Bung Hatta, katanya, meminta untuk diberi kelonggaran dalam membayar tagihan listrik dan air.

Rupanya, sehari sebelumnya petugas mendatangi kediaman mantan wapres ini untuk mengambil pembayaran listrik dan air. Karena waktu itu yang bersangkutan belum punya uang, si petugas mengancam akan memutus arus listrik dan suplai air ke kediaman Bung Hatta. "Itu yang membuat saya terenyuh, Bung Hatta datang ke saya bukan minta dibebaskan dari pembayaran, tapi minta diberi waktu sampai punya uang untuk melunasi tagihan," kata Bang Ali dengan mata berkaca-kaca.

Ketika itu Bang Ali mengaku tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak menjanjikan sesuatu kepada Bung Hatta. Perasaannya campur aduk antara malu, marah, dan sedih. Setelah Bung Hatta pulang, Bang Ali langsung memerintahkan sekretarisnya menulis dua surat keputusan. Yang pertama SK Gubernur DKI tentang dibebaskannya Bung Hatta dari berbagai iuran atau tagihan fasilitas dari Pemrov DKI. Kedua, mengangkat Bung Hatta sebagai Warga Kehormatan Ibu Kota.

Kepada saya Bang Ali dengan geram menyatakan sakit hati atas sikap dua petugas yang mendatangi kediaman Bung Hatta. "Apa mereka tidak tahu kalau Bung Hatta itu Proklamator yang melahirkan negara ini? Sekalipun beliau dibebaskan dari pembayaran apa pun, tidak akan bisa membalas jasa beliau pada bangsa ini," ujar Bang Ali menerawang.

Terus terang, saya bukan orang yang mudah menaruh hormat pada pejabat atau mantan pejabat. Namun, tiga jam berbicara dengan beliau siang itu membuat saya merasa bangga pernah mengenal seorang Ali Sadikin. Sikapnya yang tanpa kompromi terhadap ketidakadilan serta tidak haus akan kekuasaan jelas bukan sikap mayoritas di kalangan perwira tinggi TNI, paling tidak ketika era reformasi belum lagi bergulir.

Pertemuan ketiga saya dengan Bang Ali terjadi sekitar dua tahun kemudian. Saya datang untuk menyerahkan skripsi yang sudah jadi dan diganjar nilai A oleh dosen penguji. Setelah itu saya tak pernah melakukan kontak lagi. Sampai kemarin malam saya mendengar kabar duka tentang beliau.

Sosok panutan yang telah meninggalkan jejak rekam begitu banyak di Ibu Kota itu kini telah tiada. Tapi, saya yakin beliau meninggal dengan wajah bahagia, karena hingga wafatnya pun warga metropolitan ini masih menikmati buah tangannya. Setiap kita berobat ke puskesmas, menunggu angkot di halte, berenang di Ancol, melihat pentas seni di Taman Ismail Marzuki, atau menyaksikan beragam fauna di Ragunan, "paraf" Ali Sadikin ada di sana. Selamat Jalan Bang Ali!.*

2 komentar:

Henny mengatakan...

Aduh....cerita yg menyentuh banget,ngga kebayang Bung hatta sampe ngga ada duit buat bayar air+listrik...tp oon nya saya baru tau hari ini kalau Ali Sadikin udah meninggal...

Historipedia04 mengatakan...

Assalamualaikum, mohon pak boleh saya meminta kontak bapak? saya mahasiswa UPI Bandung kebetulan tertarik untuk melakukan penelitian tentang tokoh (Alm) Pak Kemal Idris. jika berkenan saya ingin meminta informasi terkait wawancara yang pernah bapak lakukan bersama almarhum. terimakasih pak sebelumnya.