Rinaldo
Di penghujung tahun 1995, saya datang ke Jakarta untuk mengumpulkan data bagi penulisan akhir di Fakultas Hukum Universitas Andalas. Selain mencari beberapa dokumen yang lumayan langka, saya juga berencana menemui beberapa mantan petinggi TNI yang pernah duduk di pemerintahan. Pasalnya, skripsi saya yang mengupas tentang Dwifungsi ABRI membuat keterangan dan masukan dari mereka sangat dibutuhkan.
Hal itu pula yang membuat saya mendatangi sebuah rumah di Jalan Borobudur Nomor 2, Jakarta Pusat, yang tak lain kediaman Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta 1966-1977. Ketika itu saya bertemu dengan Ibu Mia, sekretaris beliau yang super ramah, dan menyerahkan proposal penelitian. Perlu waktu menunggu selama sepekan sebelum saya akhirnya bertemu Bang Ali di ruang tamu rumahnya yang nyaman.
Suasana di awal pertemuan sempat kaku sebelum obrolan ditingkahi gelak tawa dan keharuan. Saya sempat tergelak ketika beliau mengatakan lebih hebat dari tetangga depan rumahnya, mantan Pangkopkamtib Laksamana TNI Purnawirawan Sudomo. Pasalnya, di usia menjelang 70 tahun masih bisa membuat anak dari pernikahan keduanya, sementara Sudomo sudah tak bisa.
Di sela-sela obrolan, beliau sempat menyarankan agar saya juga mendatangi Jenderal Besar TNI Abdul Haris Nasution. "Meski sulit, kamu harus mencoba bertemu beliau. Dwifungsi tak akan pernah ada jika tanpa pemikiran Nasution," tegas Bang Ali. Padahal, tanpa saran beliau pun, Bapak Angkatan Darat itu memang sudah masuk dalam daftar narasumber yang akan saya datangi.
Keharuan kemudian menyeruak ketika Bang Ali menyatakan kesedihannya akan nasib Nasution di bawah pemerintahan Orde Baru. Di matanya, Nasution dan Presiden Soekarno adalah sosok panutan, di luar segala kekurangan yang dimiliki mereka. Khusus untuk Nasution, Bang Ali berujar, "Saya tak akan bisa memaafkan bangsa ini jika sampai akhir hidupnya Pak Nas tetap diperlakukan seperti sekarang," ujar beliau sambil mengusap air mata.
Saya hanya bisa tertegun. Tak bisa berkata-kata. Saya tak menyangka sosok keras seperti Ali Sadikin bisa menitikkan air mata. Pembicaraan pun kemudian beralih kepada kondisi terakhir Pak Nas. Sebelum mengakhiri pertemuan, saya meminta untuk berfoto bersama. Bang Ali yang kemudian mengarahkan agar kami berfoto dengan latar belakang gambar Presiden Sukarno yang sangat besar di dinding dekat pintu keluar.
Yang mengagetkan, beliau meminta saya untuk datang lagi jika sudah bertemu dengan Pak Nas. Saya pun menyanggupi dan mengatakan sudah ada janji pula bertemu dengan mantan Mendagri Rudini, mantan Pangkostrad Letjen Kemal Idris, dan Pangkopkamtib Jenderal TNI Purnawirawan Soemitro. Namun, untuk bertemu Pak Nas belum ada jawaban dari ajudan beliau Lettu CAJ Djamaluddin.
Ketika saya akhirnya bertemu dengan mantan petinggi-petinggi TNI itu, Bang Ali saya telepon. Beliau dengan antusias menanyakan kapan saya akan ke Borobudur Nomor 2 lagi. Janji pun dibuat dengan Ibu Mia.
Pada pertemuan kedua kami membahas pandangan dari para mantan petinggi TNI itu tentang Dwifungsi ABRI. Bang Ali banyak bercerita tentang sosok-sosok jenderal itu. Misalnya, tentang Jenderal Soemitro yang berlatar belakang didikan PETA bikinan Jepang. Atau, hubungannya dengan Letjen Kemal Idris yang tidak begitu dekat, meski keduanya sama-sama bersuara keras terhadap Orde Baru.
Tentang posisinya yang pernah menjabat Gubernur Jakarta selama dua periode dibantah Bang Ali sebagai bagian dari Dwifungsi. Menurutnya, dia dipilih Bung Karno sebagai gubernur bukan karena bintang di bahunya. "Saya dipilih karena beliau [Bung Karno] menilai saya orangnya tegas," ujar Bang Ali.
Ketika pembicaraan menyoal pengalaman selama menjabat gubernur itulah Bang Ali mulai lagi menerawang. Dia menceritakan sebuah ironi yang terjadi saat menjadi penguasa Ibu Kota. Ketika itu, demikian cerita Bang Ali, ajudannya di Balai Kota memberitahu bahwa dia kedatangan tamu. Setelah dipersilahkan masuk, ternyata tamu itu tak lain Dr. Mohammad Hatta, Wakil Presiden RI yang pertama.
Kedatangan yang tanpa pemberitahuan itu jelas membuat sang gubernur kaget. Apalagi Bung Hatta datang dengan sikap sangat santun. Ketika usai beramah tamah, Bapak Koperasi itu memohon bantuan pada Bang Ali. Bung Hatta, katanya, meminta untuk diberi kelonggaran dalam membayar tagihan listrik dan air.
Rupanya, sehari sebelumnya petugas mendatangi kediaman mantan wapres ini untuk mengambil pembayaran listrik dan air. Karena waktu itu yang bersangkutan belum punya uang, si petugas mengancam akan memutus arus listrik dan suplai air ke kediaman Bung Hatta. "Itu yang membuat saya terenyuh, Bung Hatta datang ke saya bukan minta dibebaskan dari pembayaran, tapi minta diberi waktu sampai punya uang untuk melunasi tagihan," kata Bang Ali dengan mata berkaca-kaca.
Ketika itu Bang Ali mengaku tidak bisa berbuat apa-apa dan tidak menjanjikan sesuatu kepada Bung Hatta. Perasaannya campur aduk antara malu, marah, dan sedih. Setelah Bung Hatta pulang, Bang Ali langsung memerintahkan sekretarisnya menulis dua surat keputusan. Yang pertama SK Gubernur DKI tentang dibebaskannya Bung Hatta dari berbagai iuran atau tagihan fasilitas dari Pemrov DKI. Kedua, mengangkat Bung Hatta sebagai Warga Kehormatan Ibu Kota.
Kepada saya Bang Ali dengan geram menyatakan sakit hati atas sikap dua petugas yang mendatangi kediaman Bung Hatta. "Apa mereka tidak tahu kalau Bung Hatta itu Proklamator yang melahirkan negara ini? Sekalipun beliau dibebaskan dari pembayaran apa pun, tidak akan bisa membalas jasa beliau pada bangsa ini," ujar Bang Ali menerawang.
Terus terang, saya bukan orang yang mudah menaruh hormat pada pejabat atau mantan pejabat. Namun, tiga jam berbicara dengan beliau siang itu membuat saya merasa bangga pernah mengenal seorang Ali Sadikin. Sikapnya yang tanpa kompromi terhadap ketidakadilan serta tidak haus akan kekuasaan jelas bukan sikap mayoritas di kalangan perwira tinggi TNI, paling tidak ketika era reformasi belum lagi bergulir.
Pertemuan ketiga saya dengan Bang Ali terjadi sekitar dua tahun kemudian. Saya datang untuk menyerahkan skripsi yang sudah jadi dan diganjar nilai A oleh dosen penguji. Setelah itu saya tak pernah melakukan kontak lagi. Sampai kemarin malam saya mendengar kabar duka tentang beliau.
Sosok panutan yang telah meninggalkan jejak rekam begitu banyak di Ibu Kota itu kini telah tiada. Tapi, saya yakin beliau meninggal dengan wajah bahagia, karena hingga wafatnya pun warga metropolitan ini masih menikmati buah tangannya. Setiap kita berobat ke puskesmas, menunggu angkot di halte, berenang di Ancol, melihat pentas seni di Taman Ismail Marzuki, atau menyaksikan beragam fauna di Ragunan, "paraf" Ali Sadikin ada di sana. Selamat Jalan Bang Ali!.*
Rabu, 21 Mei 2008
Jumat, 09 Mei 2008
Sembilan Pengawal Konstitusi
Rinaldo
Tak bisa disangkal, Muhammad Yamin dan Soepomo adalah arsitek dari UUD 1945. Dua the founding fathers inilah yang pemikirannya paling banyak menghiasi aturan dasar negara kita. Namun, sebatas yang saya pelajari di bangku kuliah serta hasil membaca risalah pembentukan UUD 1945 oleh BPUPKI, kedua tokoh ini pula yang paling sering berbeda pendapat.
Misalnya, ketika Yamin mengusulkan soal hak asasi manusia dimasukkan dalam UUD, Soepomo menentangnya. Bagi Soepomo, ide itu terlalu kebarat-baratan dan tidak cocok bagi Indonesia yang memiliki falsafah kekeluargaan. Begitu pula ketika Yamin mengusulkan agar dibentuk sebuah mahkamah spesial (demikian istilahnya ketika itu) untuk menengahi sengketa pelaksanaan konstitusi (constitutional disputes). Ide ini juga ditentang Soepomo, namun dengan alasan yang bisa diterima.
‘’Tenaga kita belum banyak, dan kita harus menambah tenaga-tenaga ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda, saya kira belum waktunya mengerjakan persoalan ini,’’ demikian alasan Soepomo atas ide Yamin.
Seiring berjalannya waktu, Indonesia akhirnya tiba pada periode di mana kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) tak bisa dihindarkan. Saat terjadinya impeachment terhadap Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR, Konstitusi (UUD 1945) ditafsirkan dalam dua mainstream utama, antara yang memihak MPR dan yang memihak Presiden.
Ketika itulah ide Yamin menemukan momentumnya. Melalui hasil amandemen keempat UUD 1945 dalam Pasal III Aturan Peralihan diperintahkan untuk membentuk MK. Tepat 58 tahun sejak ide Yamin gagal ditampung UUD 1945, tanggal 16 Agustus 2003 sembilan hakim konstitusi dilantik dan UU No.24/2003 tentang MK pun disahkan.
Tapi apakah persoalan selesai? Jawabnya: belum! Sebagaimana 45 negara di dunia yang memiliki lembaga sejenis, MK hadir karena pengalaman atas terjadinya sengketa konstitusi di negara bersangkutan, bukan atas kesadaran yang tiba-tiba untuk melahirkan MK.
Bedanya dengan kita, perencanaan cukup lama, namun dalam pembentukannya tergesa-gesa, entah disengaja atau tidak. Akibatnya mahkamah yang punya kekuasaan besar ini diisi oleh orang-orang yang dicomot dalam kondisi tergesa-gesa pula, namun seperti dikondisikan begitu.
Mestinya sembilan pengawal utama konstitusi ini haruslah orang-orang pilihan. Mengingat tugasnya membubarkan partai politik, menyatakan pelanggaran yang dilakukan presiden serta memutus sengketa antarlembaga negara, bukanlah tugas sembarangan.
Sudahkah mereka diteliti daftar kekayaannya, perjalanan karir, prestasi, independensi, tingkat keilmuan dan pemahaman akan konstitusi, dan apakah dalam hidupnya sembilan orang ini terbebas dari perbuatan tercela? Hal ini yang belum terang, karena mereka hadir di MK sepertinya bukan karena kualitas, tapi karena keterdesakan waktu.
Jadi, kalau ditanyakan apakah sembilan orang hakim ini sudah merepresentasikan pakar konstitusi yang diakui integritasnya di negara ini? Saya pribadi tidak setuju, sebab masih banyak nama lain di luar sana yang gampang dilihat tingkat keilmuan serta integritasnya.
Namun di lain sisi saya menyadari, kalau sembilan hakim konstitusi ini sama sekali tidak dihadirkan untuk mewakili sosok orang-orang pintar dalam pemahaman konstitusi, tapi lebih sebagai representasi kekuatan politik yang ada.
Karena itu, kita pantas merasa iba pada Yamin dan Soepomo. Setengah abad lebih ide mereka menunggu untuk diwujudkan, namun hasilnya tidak matang. Keinginan Yamin memang tercapai dengan lahirnya MK, namun harapan Soepomo agar lembaga itu diisi orang-orang pintar sama sekali tak terpenuhi. Inilah sebuah mahkamah yang sangat baru namun dilahirkan dengan paradigma masa lalu.*
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 20 Agustus 2003)
Tak bisa disangkal, Muhammad Yamin dan Soepomo adalah arsitek dari UUD 1945. Dua the founding fathers inilah yang pemikirannya paling banyak menghiasi aturan dasar negara kita. Namun, sebatas yang saya pelajari di bangku kuliah serta hasil membaca risalah pembentukan UUD 1945 oleh BPUPKI, kedua tokoh ini pula yang paling sering berbeda pendapat.
Misalnya, ketika Yamin mengusulkan soal hak asasi manusia dimasukkan dalam UUD, Soepomo menentangnya. Bagi Soepomo, ide itu terlalu kebarat-baratan dan tidak cocok bagi Indonesia yang memiliki falsafah kekeluargaan. Begitu pula ketika Yamin mengusulkan agar dibentuk sebuah mahkamah spesial (demikian istilahnya ketika itu) untuk menengahi sengketa pelaksanaan konstitusi (constitutional disputes). Ide ini juga ditentang Soepomo, namun dengan alasan yang bisa diterima.
‘’Tenaga kita belum banyak, dan kita harus menambah tenaga-tenaga ahli tentang hal itu. Jadi, buat negara yang muda, saya kira belum waktunya mengerjakan persoalan ini,’’ demikian alasan Soepomo atas ide Yamin.
Seiring berjalannya waktu, Indonesia akhirnya tiba pada periode di mana kehadiran Mahkamah Konstitusi (MK) tak bisa dihindarkan. Saat terjadinya impeachment terhadap Presiden Abdurrahman Wahid oleh MPR, Konstitusi (UUD 1945) ditafsirkan dalam dua mainstream utama, antara yang memihak MPR dan yang memihak Presiden.
Ketika itulah ide Yamin menemukan momentumnya. Melalui hasil amandemen keempat UUD 1945 dalam Pasal III Aturan Peralihan diperintahkan untuk membentuk MK. Tepat 58 tahun sejak ide Yamin gagal ditampung UUD 1945, tanggal 16 Agustus 2003 sembilan hakim konstitusi dilantik dan UU No.24/2003 tentang MK pun disahkan.
Tapi apakah persoalan selesai? Jawabnya: belum! Sebagaimana 45 negara di dunia yang memiliki lembaga sejenis, MK hadir karena pengalaman atas terjadinya sengketa konstitusi di negara bersangkutan, bukan atas kesadaran yang tiba-tiba untuk melahirkan MK.
Bedanya dengan kita, perencanaan cukup lama, namun dalam pembentukannya tergesa-gesa, entah disengaja atau tidak. Akibatnya mahkamah yang punya kekuasaan besar ini diisi oleh orang-orang yang dicomot dalam kondisi tergesa-gesa pula, namun seperti dikondisikan begitu.
Mestinya sembilan pengawal utama konstitusi ini haruslah orang-orang pilihan. Mengingat tugasnya membubarkan partai politik, menyatakan pelanggaran yang dilakukan presiden serta memutus sengketa antarlembaga negara, bukanlah tugas sembarangan.
Sudahkah mereka diteliti daftar kekayaannya, perjalanan karir, prestasi, independensi, tingkat keilmuan dan pemahaman akan konstitusi, dan apakah dalam hidupnya sembilan orang ini terbebas dari perbuatan tercela? Hal ini yang belum terang, karena mereka hadir di MK sepertinya bukan karena kualitas, tapi karena keterdesakan waktu.
Jadi, kalau ditanyakan apakah sembilan orang hakim ini sudah merepresentasikan pakar konstitusi yang diakui integritasnya di negara ini? Saya pribadi tidak setuju, sebab masih banyak nama lain di luar sana yang gampang dilihat tingkat keilmuan serta integritasnya.
Namun di lain sisi saya menyadari, kalau sembilan hakim konstitusi ini sama sekali tidak dihadirkan untuk mewakili sosok orang-orang pintar dalam pemahaman konstitusi, tapi lebih sebagai representasi kekuatan politik yang ada.
Karena itu, kita pantas merasa iba pada Yamin dan Soepomo. Setengah abad lebih ide mereka menunggu untuk diwujudkan, namun hasilnya tidak matang. Keinginan Yamin memang tercapai dengan lahirnya MK, namun harapan Soepomo agar lembaga itu diisi orang-orang pintar sama sekali tak terpenuhi. Inilah sebuah mahkamah yang sangat baru namun dilahirkan dengan paradigma masa lalu.*
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 20 Agustus 2003)
Sembilan Hakim Konstitusi
Jumat, 02 Mei 2008
Membersihkan Sejarah Pemimpin
Rinaldo
Dalam sebuah bukunya yang sekarang terbilang langka, Guntur Soekarnoputra menuliskan cerita saat dirinya diajak sang ayah menghadiri Sidang Umum PBB di New York. Ketika itu, demikian tulis Guntur, sedang digelar pandangan umum dari tiap negara anggota PBB.
Sebelum tiba giliran Indonesia, Bung Karno berjalan ke kursi utusan negara India. Ditatap oleh puluhan wakil dari negara lain, Bung Karno berbisik pada Jawaharlal Nehru. Entah apa yang dibisikkan, Nehru kemudian mengangguk sembari tersenyum.
Dalam jeda tidak terlalu lama, dari kursinya Bung Karno berjalan ke arah Gamal Abdul Nasser, wakil dari Mesir. Kembali Bung Karno berbisik yang disambut anggukan senang Nasser. Tak pelak ‘’ulah’’ Bung Karno ini menimbulkan bisik-bisik di kalangan wakil-wakil negara Asia dan Afrika yang hadir. Ketika itu, tiga pemimpin ini, Nehru, Nasser, dan Soekarno dianggap pemimpin bangsa Asia dan Afrika.
Saat Bung Karno memberikan pandangannya, hampir seluruh perwakilan dari Asia dan Afrika melakukan standing ovation memberikan aplaus tanda setuju atas gagasan Bung Karno. Pasalnya, mereka menganggap usulan tersebut telah diamini oleh Nehru dan Nasser. Buktinya, ketika Bung Karno berbisik, kedua tokoh besar itu mengangguk tanda setuju.
Di kamar hotel, Guntur dengan rasa penasaran bertanya apa gerangan yang dibisikkan. Rupanya Bung Karno mengatakan, ‘’Yang Mulia, sepertinya sidang hari ini sangat melelahkan, bagaimana kalau nanti kita bertemu untuk makan malam bersama?’’ Tentu saja kedua tokoh yang dibisiki tidak berani menolak dan akhirnya mengangguk, yang oleh wakil dari negara lain ditafsirkan sebagai sikap setuju atas gagasan Bung Karno.
Itu hanya sekelumit cerita kebesaran nama seorang Soekarno. Tidak hanya bagi Asia dan Afrika tentunya. Kita bisa melihat betapa hormatnya seorang Kennedy atau Kruschev pada sosok gagah ini. Hanya saja, tidak seluruh kisah hidup Bung Karno dicatat dengan tinta emas. Ada kalanya dia salah langkah. Dan itu sangat manusiawi.
Sejarah itulah sekarang, dalam Sidang Tahunan MPR, dicoba oleh Fraksi PDI Perjuangan untuk diubah. Berniat membersihkan catatan sejarah Bung Karno, tiga Ketetapan MPRS diusulkan untuk dicabut. Langkah ini jelas kurang tepat.
Sebagai seorang presiden, figur sentral dalam negara, segala pernik kehidupan Soekarno sudah diketahui umum. Keberadaan tiga Tap MPRS itu hanyalah sebagian kecil perjalanan hidup itu, sudah berlalu serta mejadi catatan sejarah. Bukankah sejarah tak bisa diubah dengan sekadar mencabut aturan tertulis, karena pergerakan waktu tak bisa diulang ke masa lalu.
Misalnya usulan mencabut Tap No.XXIII/MPRS/1967 tentang peralihan kekuasaan dari Soekarno pada Soeharto. Apakah dengan pencabutan itu lantas kedudukan Soekarno sebagai presiden dipulihkan? Jelas tidak.
Tanpa mencabut Tap MPRS pun, nama Soekarno senantiasa abadi. Catatan perjalanan hidupnya, baik yang terang atau gelap, adalah bagian dari sejarah itu sendiri. Bahkan, jika seluruh kealpaan Soekarno digabung jadi satu, tetap tak akan cukup meniadakan dia sebagai seorang proklamator. Sampai kapan pun, tetap saja tanda tangan Soekarno dan Mohammad Hatta yang tertera di selembar kertas pendirian negara ini.
Mestinya, tugas Fraksi PDI Perjuangan di MPR saat ini adalah mendukung serta mengawasi gerak maju Megawati Soekarnoputri, untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Cerita tentang Soekarno telah usai dan menjadi sejarah. Sedangkan bagi Megawati, sejarah itu sedang berlangsung.
Daripada repot-repot membersikan nama Megawati di kemudian hari, bukankah lebih mudah dari sekarang jalan sejarah itu dibersihkan. Misalnya dengan menertibkan birokrasi serta memecat pejabat korup. Itu kalau Fraksi PDI perjuangan berpijak pada kenyataan saat ini, bukan bermimpi dalam bayang-bayang masa lalu.*
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 6 Agustus 2003)
Dalam sebuah bukunya yang sekarang terbilang langka, Guntur Soekarnoputra menuliskan cerita saat dirinya diajak sang ayah menghadiri Sidang Umum PBB di New York. Ketika itu, demikian tulis Guntur, sedang digelar pandangan umum dari tiap negara anggota PBB.
Sebelum tiba giliran Indonesia, Bung Karno berjalan ke kursi utusan negara India. Ditatap oleh puluhan wakil dari negara lain, Bung Karno berbisik pada Jawaharlal Nehru. Entah apa yang dibisikkan, Nehru kemudian mengangguk sembari tersenyum.
Dalam jeda tidak terlalu lama, dari kursinya Bung Karno berjalan ke arah Gamal Abdul Nasser, wakil dari Mesir. Kembali Bung Karno berbisik yang disambut anggukan senang Nasser. Tak pelak ‘’ulah’’ Bung Karno ini menimbulkan bisik-bisik di kalangan wakil-wakil negara Asia dan Afrika yang hadir. Ketika itu, tiga pemimpin ini, Nehru, Nasser, dan Soekarno dianggap pemimpin bangsa Asia dan Afrika.
Saat Bung Karno memberikan pandangannya, hampir seluruh perwakilan dari Asia dan Afrika melakukan standing ovation memberikan aplaus tanda setuju atas gagasan Bung Karno. Pasalnya, mereka menganggap usulan tersebut telah diamini oleh Nehru dan Nasser. Buktinya, ketika Bung Karno berbisik, kedua tokoh besar itu mengangguk tanda setuju.
Di kamar hotel, Guntur dengan rasa penasaran bertanya apa gerangan yang dibisikkan. Rupanya Bung Karno mengatakan, ‘’Yang Mulia, sepertinya sidang hari ini sangat melelahkan, bagaimana kalau nanti kita bertemu untuk makan malam bersama?’’ Tentu saja kedua tokoh yang dibisiki tidak berani menolak dan akhirnya mengangguk, yang oleh wakil dari negara lain ditafsirkan sebagai sikap setuju atas gagasan Bung Karno.
Itu hanya sekelumit cerita kebesaran nama seorang Soekarno. Tidak hanya bagi Asia dan Afrika tentunya. Kita bisa melihat betapa hormatnya seorang Kennedy atau Kruschev pada sosok gagah ini. Hanya saja, tidak seluruh kisah hidup Bung Karno dicatat dengan tinta emas. Ada kalanya dia salah langkah. Dan itu sangat manusiawi.
Sejarah itulah sekarang, dalam Sidang Tahunan MPR, dicoba oleh Fraksi PDI Perjuangan untuk diubah. Berniat membersihkan catatan sejarah Bung Karno, tiga Ketetapan MPRS diusulkan untuk dicabut. Langkah ini jelas kurang tepat.
Sebagai seorang presiden, figur sentral dalam negara, segala pernik kehidupan Soekarno sudah diketahui umum. Keberadaan tiga Tap MPRS itu hanyalah sebagian kecil perjalanan hidup itu, sudah berlalu serta mejadi catatan sejarah. Bukankah sejarah tak bisa diubah dengan sekadar mencabut aturan tertulis, karena pergerakan waktu tak bisa diulang ke masa lalu.
Misalnya usulan mencabut Tap No.XXIII/MPRS/1967 tentang peralihan kekuasaan dari Soekarno pada Soeharto. Apakah dengan pencabutan itu lantas kedudukan Soekarno sebagai presiden dipulihkan? Jelas tidak.
Tanpa mencabut Tap MPRS pun, nama Soekarno senantiasa abadi. Catatan perjalanan hidupnya, baik yang terang atau gelap, adalah bagian dari sejarah itu sendiri. Bahkan, jika seluruh kealpaan Soekarno digabung jadi satu, tetap tak akan cukup meniadakan dia sebagai seorang proklamator. Sampai kapan pun, tetap saja tanda tangan Soekarno dan Mohammad Hatta yang tertera di selembar kertas pendirian negara ini.
Mestinya, tugas Fraksi PDI Perjuangan di MPR saat ini adalah mendukung serta mengawasi gerak maju Megawati Soekarnoputri, untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama. Cerita tentang Soekarno telah usai dan menjadi sejarah. Sedangkan bagi Megawati, sejarah itu sedang berlangsung.
Daripada repot-repot membersikan nama Megawati di kemudian hari, bukankah lebih mudah dari sekarang jalan sejarah itu dibersihkan. Misalnya dengan menertibkan birokrasi serta memecat pejabat korup. Itu kalau Fraksi PDI perjuangan berpijak pada kenyataan saat ini, bukan bermimpi dalam bayang-bayang masa lalu.*
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 6 Agustus 2003)
Kamis, 01 Mei 2008
Membahasakan Wakil Rakyat
Rinaldo
Bagi mereka yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi dengan memilih jurusan sastra, khususnya Sastra Indonesia, pastilah sering bingung. Tak hanya mahasiswa dan sarjana bahasa saya kira, para pemerhati Bahasa Indonesia pun pasti sering heran belakangan ini. Pasalnya, makin banyak saja orang menulis dengan menggunakan kata yang diberi tanda petik.
Entah itu maksudnya menyindir, mengkritik atau membunuh karakter seseorang, yang jelas kata dengan tanda petik sering kita temukan di banyak tulisan. Tidak jelas, apakah itu disebabkan Bahasa Indonesia yang tidak dinamis, atau memberi tanda petik itu sudah menjadi hobi yang ‘’memabukkan’’ bagi sebagian orang. Mungkin itu tugas ahli, pakar, doktor atau orang hebat di bidang bahasa untuk mengkajinya.
Di lain sisi, saya masih menghargai jika banyak yang menulis dengan rajinnya menggunakan tanda petik. Kemungkinan besar dia tidak mau dicap orang yang berbahasa kasar, barbar dan tidak makan bangku sekolahan. Namun, belakangan saya melihat pula kecenderungan sebagian orang tidak lagi peduli apakah akan memakai tanda petik atau tidak.
Tidak soal arti harfiah dari kata itu berkonotasi negatif, memalukan atau merendahkan martabat, tetap saja sebagian kita mulai menulis kata itu tanpa memberi tanda petik. Dan yang membuat saya makin heran bercampur takjub, subjek yang dimaksud oleh kata tanpa tanda petik itu makin sumringah saja dengan istilah tersebut.
Biar tidak makin bingung, kata yang saya maksud adalah ‘’karantina’’. Sejak pertama kali mendengar kata tersebut, meski belum paham betul pengertiannya, saya selalu bergidik, merasa jijik dan takut. Ketika mulai tahu yang namanya kamus bahasa, saya pun mencari tahu artinya. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata ‘’karantina’’ itu adalah: tempat untuk menahan penumpang kapal yang kena penyakit menular.
Hingga kini, pengertian itu masih lekat di pikiran saya. Hanya saja saya sering bingung kalau membaca koran belakangan ini. Kerap saya temukan kata ‘’karantina’’ digunakan untuk maksud yang menyimpang dan sangat menyinggung perasaan, syukurnya bukan perasaan saya, tapi perasaan wakil rakyat. Seiring dengan banyaknya pergantian kepala daerah, baik gubernur, wali kota atau bupati, kata ‘’karantina’’ hampir selalu ada.
Contoh paling mutakhir adalah saat berlangsungnya pemilihan Gubernur Jawa Timur dan Gubernur Jawa Tengah. Menurut berita yang saya baca, sehari sebelum pemilihan dilaksanakan, anggota DPRD ‘’dikarantina’’ (di semua media yang saya baca tanpa tanda petik) di hotel berbintang untuk menjaga keamanannya. Saya tidak mengerti dalam hal apa wakil rakyat itu tidak aman. Tapi yang paling mengganggu adalah penempatan kata ‘’karantina’’ itu.
Karena sudah terlalu sering membaca kata ‘’karantina’’ di banyak media (yang berbahasa Indonesia tentunya), saya kemudian menarik diri sembari bertanya pada diri sendiri: jangan-jangan saya yang tidak mengikuti perkembangan bahasa persatuan ini. Maka tadi malam, buru-buru saya membuka kembali Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2002. Di halaman 446 mata saya tertumbuk pada ‘’karantina’’. Di situ tertulis artinya: tempat untuk menahan penumpang kapal yang kena penyakit menular.
Artinya, sejak saya pertama kali membuka kamus belasan tahun lalu, arti kata ‘’karantina’’ tak ada perubahan satu huruf pun. Jadi, di mana perubahannya? Apakah pada objek penderita penyakit menular itu? Sepertinya bukan, sebab tak ada kalimat di media yang saya baca menyiratkan puluhan wakil rakyat itu sedang dirundung penyakit berbahaya, seperti SARS misalnya.
Kebingungan makin menjadi karena saya tidak sekalipun mendengar atau membaca, wakil rakyat kita yang pintar-pintar itu mensomasi media yang menulis ‘’karantina’’. Artinya, mereka, wakil rakyat kita, setuju-setuju saja dengan penggunaan kata itu dan (bisa jadi) membenarkan pengertian harfiah dari ‘’karantina’’.
Untuk menghilangkan kebingungan, akhirnya saya membuat kesimpulan sendiri, bahwa wakil rakyat kita memang punya penyakit menular. Penyakit apa itu gerangan, masih saya perhatikan. Yang jelas saya bersyukur tidak ikut memilih dalam pemilu yang lalu, sehingga tidak terlihat bodoh karena telah memilih orang berpenyakit menular duduk menjadi wakil rakyat.
Kalau pakar bahasa kita sudah menyempurnakannya kelak, di kamus itu nantinya saya berharap akan menemukan penyakit menular apa yang diidap Akbar Tandjung dan koleganya di pusat serta di daerah. Penyakit korupsikah, penyakit hidup bermewah-mewah, penyakit hipokrit, atau penyakit suka bertandang ke kantor kejaksaan? Terserah! Yang penting orang seperti saya tidak lagi bingung kalau membaca koran tiap pagi dan bisa menjaga jarak bila bertemu dengan wakil rakyat kita.*
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 30 Juli 2003)
Bagi mereka yang melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi dengan memilih jurusan sastra, khususnya Sastra Indonesia, pastilah sering bingung. Tak hanya mahasiswa dan sarjana bahasa saya kira, para pemerhati Bahasa Indonesia pun pasti sering heran belakangan ini. Pasalnya, makin banyak saja orang menulis dengan menggunakan kata yang diberi tanda petik.
Entah itu maksudnya menyindir, mengkritik atau membunuh karakter seseorang, yang jelas kata dengan tanda petik sering kita temukan di banyak tulisan. Tidak jelas, apakah itu disebabkan Bahasa Indonesia yang tidak dinamis, atau memberi tanda petik itu sudah menjadi hobi yang ‘’memabukkan’’ bagi sebagian orang. Mungkin itu tugas ahli, pakar, doktor atau orang hebat di bidang bahasa untuk mengkajinya.
Di lain sisi, saya masih menghargai jika banyak yang menulis dengan rajinnya menggunakan tanda petik. Kemungkinan besar dia tidak mau dicap orang yang berbahasa kasar, barbar dan tidak makan bangku sekolahan. Namun, belakangan saya melihat pula kecenderungan sebagian orang tidak lagi peduli apakah akan memakai tanda petik atau tidak.
Tidak soal arti harfiah dari kata itu berkonotasi negatif, memalukan atau merendahkan martabat, tetap saja sebagian kita mulai menulis kata itu tanpa memberi tanda petik. Dan yang membuat saya makin heran bercampur takjub, subjek yang dimaksud oleh kata tanpa tanda petik itu makin sumringah saja dengan istilah tersebut.
Biar tidak makin bingung, kata yang saya maksud adalah ‘’karantina’’. Sejak pertama kali mendengar kata tersebut, meski belum paham betul pengertiannya, saya selalu bergidik, merasa jijik dan takut. Ketika mulai tahu yang namanya kamus bahasa, saya pun mencari tahu artinya. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, kata ‘’karantina’’ itu adalah: tempat untuk menahan penumpang kapal yang kena penyakit menular.
Hingga kini, pengertian itu masih lekat di pikiran saya. Hanya saja saya sering bingung kalau membaca koran belakangan ini. Kerap saya temukan kata ‘’karantina’’ digunakan untuk maksud yang menyimpang dan sangat menyinggung perasaan, syukurnya bukan perasaan saya, tapi perasaan wakil rakyat. Seiring dengan banyaknya pergantian kepala daerah, baik gubernur, wali kota atau bupati, kata ‘’karantina’’ hampir selalu ada.
Contoh paling mutakhir adalah saat berlangsungnya pemilihan Gubernur Jawa Timur dan Gubernur Jawa Tengah. Menurut berita yang saya baca, sehari sebelum pemilihan dilaksanakan, anggota DPRD ‘’dikarantina’’ (di semua media yang saya baca tanpa tanda petik) di hotel berbintang untuk menjaga keamanannya. Saya tidak mengerti dalam hal apa wakil rakyat itu tidak aman. Tapi yang paling mengganggu adalah penempatan kata ‘’karantina’’ itu.
Karena sudah terlalu sering membaca kata ‘’karantina’’ di banyak media (yang berbahasa Indonesia tentunya), saya kemudian menarik diri sembari bertanya pada diri sendiri: jangan-jangan saya yang tidak mengikuti perkembangan bahasa persatuan ini. Maka tadi malam, buru-buru saya membuka kembali Kamus Umum Bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka tahun 2002. Di halaman 446 mata saya tertumbuk pada ‘’karantina’’. Di situ tertulis artinya: tempat untuk menahan penumpang kapal yang kena penyakit menular.
Artinya, sejak saya pertama kali membuka kamus belasan tahun lalu, arti kata ‘’karantina’’ tak ada perubahan satu huruf pun. Jadi, di mana perubahannya? Apakah pada objek penderita penyakit menular itu? Sepertinya bukan, sebab tak ada kalimat di media yang saya baca menyiratkan puluhan wakil rakyat itu sedang dirundung penyakit berbahaya, seperti SARS misalnya.
Kebingungan makin menjadi karena saya tidak sekalipun mendengar atau membaca, wakil rakyat kita yang pintar-pintar itu mensomasi media yang menulis ‘’karantina’’. Artinya, mereka, wakil rakyat kita, setuju-setuju saja dengan penggunaan kata itu dan (bisa jadi) membenarkan pengertian harfiah dari ‘’karantina’’.
Untuk menghilangkan kebingungan, akhirnya saya membuat kesimpulan sendiri, bahwa wakil rakyat kita memang punya penyakit menular. Penyakit apa itu gerangan, masih saya perhatikan. Yang jelas saya bersyukur tidak ikut memilih dalam pemilu yang lalu, sehingga tidak terlihat bodoh karena telah memilih orang berpenyakit menular duduk menjadi wakil rakyat.
Kalau pakar bahasa kita sudah menyempurnakannya kelak, di kamus itu nantinya saya berharap akan menemukan penyakit menular apa yang diidap Akbar Tandjung dan koleganya di pusat serta di daerah. Penyakit korupsikah, penyakit hidup bermewah-mewah, penyakit hipokrit, atau penyakit suka bertandang ke kantor kejaksaan? Terserah! Yang penting orang seperti saya tidak lagi bingung kalau membaca koran tiap pagi dan bisa menjaga jarak bila bertemu dengan wakil rakyat kita.*
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 30 Juli 2003)
Langganan:
Postingan (Atom)