Rinaldo
Suatu hari di penghujung 1995. Pagi itu saya tiba di Gedung Putra Kalimantan, Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan, untuk keperluan wawancara penulisan skripsi. Sebelum bertemu nara sumber, saya menuju toilet gedung itu. Sebab, betapa tidak nyamannya mewawancarai seseorang dalam kondisi kantung kemih mendesak untuk dikosongkan.
Saat melepas risleting celana di depan jamban, seorang bapak berambut putih, bertubuh gemuk dan berpakaian rapi, masuk ke dalam toilet dan berdiri di samping saya. Agaknya dia juga punya urusan yang "mendesak". Anehnya, melalui sudut mata saya merasa bapak ini terus-terusan melirik ke samping, ke arah saya. Jujur, ketika itu berbagai pikiran dan sangkaan berkecamuk.
Akhirnya, dengan memberanikan diri, saya pun menengok ke samping, menatap sang bapak. Bukannya mengalihkan pandangan, bapak berdasi ini malah bertanya dengan suara tegas, "Kamu yang akan mewawancarai saya?" Nah, itulah awal perkenalan saya dengan Letnan Jenderal TNI (Pur) Kemal Idris. Dari delapan mantan perwira tinggi TNI yang menjadi nara sumber penelitian ini, Kemal Idris satu-satunya yang wajahnya tidak saya kenal.
Saat wawancara akan dimulai, mantan Panglima Kostrad ini pun mendahului bertanya, "Dari mana kamu mengenal nama saya?" Mungkin pertanyaan ini terbilang aneh. Sebagai seorang perwira yang dikenal dari garis keras, Kemal adalah sosok yang tak bisa dilepaskan dari sejarah bangsa ini. Dalam berbagai peristiwa penting dimasa lalu, nama Kemal tak pernah absen.
Sekadar contoh, pada 17 Oktober 1952, dengan pangkat letnan kolonel, Kemal mengerahkan pasukan dan menghadapkan moncong meriam ke Istana Merdeka menuntut pembubaran parlemen oleh Presiden Soekarno. Aksi ini gagal dan berakibat Kepala Staf Angkatan Darat Abdul Haris Nasution dipecat dari jabatannya.
Tak cukup sekali, aksi yang sama kembali diulang Kemal pada 11 Maret 1966. Pagi itu, Brigadir Jenderal Kemal Idris selaku Kepala Staf Kostrad mengerahkan anak buahnya mengepung Istana Merdeka. Kali ini aksinya berhasil. Presiden Soekarno yang tengah memimpin sidang kabinet meninggalkan Istana yang kemudian seperti kita ketahui berbuntut keluarnya Surat Perintah 11 Maret.
Anehnya, dengan peran yang begitu penting dalam perjalanan sejarah Indonesia, saya sama sekali tidak pernah menemukan nama beliau dalam buku pelajaran sejarah di sekolah. Agaknya hal inilah yang melatarbelakangi pertanyaan beliau di awal wawancara. Karena itu, saya menjadi malu baru mengenal sepak terjang mantan Komandan Batalyon Kala Hitam di masa revolusi ini ketika akan menyusun skripsi.
Lebih parah lagi, dari puluhan buku yang menjadi rujukan untuk penulisan skripsi saya, nama Kemal Idris hanya ditemukan di buku yang ditulis pengarang asing. Buku itu antara lain Politik Militer Indonesia 1945-1967: Menuju Dwi Fungsi ABRI karya Ulf Sundhaussen (1986), Soekarno-Militer Dalam Demokrasi Terpimpin oleh Herbert Feith (1995), serta Militer dan Politik di Indonesia oleh Harold Crouch (1986).
Kemal jelas bukan satu-satunya pelaku sejarah yang tak mendapatkan tempat di buku sejarah kita. Penyebabnya sederhana, karena sejarah Indonesia ditulis dengan subjektif dan sesuai selera penguasa. Sejarah yang mestinya harus ditulis apa adanya, tanpa "bumbu" dan rekayasa, ternyata telah dipilah dan dipilih yang pada akhirnya lebih sebagai indoktrinasi ketimbang pembelajaran perjalanan bangsa dimasa lalu.
Untuk mencari pembenaran atas konklusi di atas tak usah jauh-jauh. Hampir setengah abad pascapembunuhan enam perwira tinggi TNI pada 1 Oktober 1965, masih banyak pertanyaan yang tak bisa dijawab oleh buku sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah hingga saat ini. Buku sejarah yang ada hanya menuliskan tentang sosok baik dan sosok buruk serta vonis akhir tentang pihak yang salah. Dan, penilaian atas sosok baik dan buruk itu tergantung selera penguasa ketika itu.
Maka, tidak heran ketika Kemal Idris meninggal dunia Rabu pagi, judul berita di media massa serta running text di layar televisi umumnya seragam. "Tokoh Petisi 50 Kemal Idris Meninggal Dunia", begitu tulisan yang muncul. Padahal, keberadaan Almarhum di kelompok bentukan Ali Sadikin itu tidak berarti apa-apa dibandingkan apa yang sudah diperbuatnya di masa perjuangan kemerdekaan serta pascakemerdekaan.
Tapi, media tidak salah. Yang patut disalahkan adalah para penulis sejarah yang sama sekali tidak menulis perjalanan bangsa ini dengan jujur. Saya sama sekali tidak memiliki pretensi untuk mengkultuskan seseorang. Sebaliknya, cuma berharap agar peran dan catatan perjalanan seorang tokoh ditulis secara benar dan apa adanya.
Saya juga berkesempatan bertatap muka dengan Letnan Jenderal (Mar) Ali Sadikin dan mantan Pangkopkamtib Jenderal Soemitro. Pada kesempatan itu saya katakan bahwa saya juga akan bertemu Kemal Idris untuk keperluan yang sama. Keduanya kemudian dengan santun meminta saya menyampaikan salam kepada perwira yang menurut Ali Sadikin "keras" dan "puritan" itu. Begitu pun ketika di akhir penelitian saya berkesempatan bertemu Jenderal TNI A.H. Nasution di kediaman beliau di Jalan Teuku Umar, Jakarta Pusat. "Bagaimana kabar Kemal?" tanya Pak Nas di sela-sela sarapan pagi, ketika mengetahui saya sudah bertemu dengan mantan Panglima Kostrad itu.
Sebagai orang yang (ketika itu) hanya mengenal sedikit sosok Kemal Idris, perhatian yang diperlihatkan para sesepuh TNI itu cukup mengagetkan. Belakangan, ketika data dan informasi tentang beliau makin banyak saya dapatkan, semua itu terasa lumrah. Kemal Idris terlalu kecil jika dihubung-hubungkan dengan Petisi 50 yang dimata rezim Orde Baru dianggap subversif itu. Faktanya, sikap keras kepala perwira ini telah ikut mempengaruhi perjalanan TNI serta bangsa ini. Sudah saatnya sejarawan serta Kementerian Pendidikan Nasional menuliskan sebuah sejarah yang jujur, agar generasi penerus bangsa ini tak merasa dibodohi di kemudian hari.***
(Tulisan ini pernah dimuat di Blog Liputan6.com, edisi 29 Juli 2010)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Apakah bisa membantu saya,saya butuh kontek person anak almarhum Jenderal Kemal Idris. Siapa tahu pernah ke kediaman beliau
Posting Komentar