Rinaldo
Ada yang menarik dari pembukaan Seminar dan Lokakarya Nasional Pembangunan Hukum Nasional VIII yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) sejak Senin lalu. Bukan karena acaranya digelar di daerah wisata nan elok, Bali, tapi karena semangat yang memulai acara itu.
Presiden yang berkenan hadir dan membuka acara dalam sambutannya mengatakan, kebebasan kekuasaan kehakiman sudah menjelma menjadi kekuasaan yang bebas, bahkan tanpa pengawasan. Kritik model begini agaknya sudah tak asing keluar dari mulut Presiden.
Entah karena jarang bertemu atau ingin diketahui khalayak ramai, Presiden gemar ‘’memarahi’’ pembantunya di depan umum, bukan di Istana Merdeka, tempat beliau berkantor. Ini bukan kali pertama Presiden berbicara keras di depan podium. Sebelumnya beliau pernah memarahi birokrasi pemerintah, para menteri kabinet, hingga wakil rakyat.
Dan sebatas yang bisa dicermati, pola marah-marah seperti itu sama sekali tidak efektif dan berkhasiat bagi penyembuhan berbagai ‘’penyakit’’ di republik ini. Pasalnya, ironi yang terus terjadi dalam sejarah kepemimpinan bangsa kita, adalah tidak satunya antara kata dan perbuatan.
Boleh-boleh saja Presiden mengatakan bakal memberangus korupsi yang menggurita di pemerintahan, misalnya. Tapi bagaimana Presiden bisa menjelaskan tentang sikap diamnya melihat polemik yang terjadi soal pembelian pesawat tempur dari Rusia yang ditengarai sarat nuansa KKN.
Boleh-boleh saja Presiden di awal kepemimpinannya berjanji menjadikan penegakan hukum sebagai prioritas pekerjaan. Tapi, menjadi sulit dimengerti ketika Presiden membiarkan dugaan korupsi oleh Jaksa Agung hanya menjadi perbincangan di media massa dan seminar-seminar. Lantas, penegakan hukum seperti apa yang dimaksud Presiden?
Kembali pada lokakarya BPHN di Denpasar, Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra ternyata masih sempat berkelit dari kritikan Presiden. Dia mengatakan, meski dalam pandangan Presiden kekuasaan kehakiman bebas tanpa pengawasan, bukan berarti tanpa kemajuan.
Hal itu mungkin benar. Tapi menjadi konyol ketika Yusril menjadikan kasus Menteri Pertahanan Matori Abdul Djalil sebagai contoh. Menurut Yusril, di era yang lalu tak bakal terjadi seorang pejabat, apalagi sekelas menteri bisa dikalahkan di pengadilan. Dan dalam kasus Matori hal itu terjadi. Pertanyaan bagi Yusril di sini, kalau saja yang menggugat Matori di pengadilan adalah seorang sopir mikrolet, apakah hasilnya tetap akan sama?
Seperti dikatakan di atas, inilah ironi yang selalu saja harus kita dengar. Mereka, para pemimpin bangsa, kalaupun terlihat tidak mahir dalam mengorupsi uang negara, tapi sangat mahir dalam mengorupsi kata-kata. Tidak ada yang salah kalau seorang pemimpin suka berkata-kata, tapi menjadi sia-sia kalau diucapkan pada tempat dan situasi yang salah.
Presiden boleh saja berkata-kata, berpidato, atau marah-marah, sesuatu yang juga bisa dilakukan semua orang di negara ini. Namun ada satu hal yang bisa dilakuan oleh Presiden tapi tak bisa dilakukan oleh yang lainnya. Presiden dalam kapasitasnya sebagai pemimpin bisa mengambil tindakan terhadap semua bawahannya yang diangap hanya membebani.
Namun hal itu tak pernah dilakukan. Presiden merasa cukup puas dengan marah-marah dan menunggu bawahannya sadar dan berubah. Padahal itu jelas bukan sebuah budaya yang patut dikembangkan di negara hukum Indonesia. Dalam negara hukum semuanya harus diukur dengan batasan benar atau salah melalui peraturan perundang-undangan yang ada.
Presiden boleh menganugerahkan berbagai medali penghargaan bagi mereka yang patut menerima. Tetapi, Presiden juga harus berani memberi sanksi, baik hukum atau moral, bagi mereka yang tidak taat pada aturan yang telah disepakati bersama. Reward and punishment adalah hal yang lazim diterapkan di mana-mana. Dan itu lebih patut dilakukan daripada mengumbar kekecewaan di depan peserta seminar.
Hingga kini tak ada yang menuduh kalau Presiden kita seorang koruptor. Atinya, Presiden masih bersih dan terbebas dari penyakit kotor itu. Tapi, apa bedanya menjadi seorang koruptor dibandingkan menjadi juragan yang memelihara para koruptor di sekelilingnya? Ini yang harus dipikirkan oleh Presiden.
Apa gunanya bicara panjang lebar hingga berbusa-busa tentang pemberantasan korupsi kalau nyatanya koruptor yang bergerombol di dekat kita tak bisa dibersihkan. Tidak heran kalau mulai banyak yang putus asa melihat kurang lincahnya Presiden kita mengemplang para koruptor.
Syahrir, seorang ekonom yang sekarang menjadi ketua sebuah partai baru, akhir pekan lalu mengatakan, ‘’Ibarat lantai kotor, harus dibersihkan dengan sapu bersih. Artinya hanya pemimpin bersih yang sanggup mengatasi atau meminimalkan praktek korupsi, tetapi yang jelas bukan Megawati Soekarnoputri.’’ Ini sebuah warning bagi Presiden, bahwa kata-katanya tidak lagi sakti di telinga rakyatnya, apalagi di kuping bawahannya.
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 17 Juli 2003)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar