Rinaldo
Kalau termasuk orang yang rajin membaca koran tiap pagi, mungkin hari-hari Anda akan sedikit terganggu belakangan ini akibat tingkah polah pemimpin kita. Betapa tidak, media massa cetak dipenuhi oleh perang kata, argumen, dan kecaman antara politisi dengan pejabat pemerintah, atau sesama mereka. Muara semua itu ternyata gampang ditebak: mencuri perhatian dan popularitas sebelum melangkah pada wujud sebenarnya di tahun depan, saat pemilihan umum atau pemilu digelar.
Pemilu, kalau rencana yang telah disusun Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak bergeser, akan dimulai 5 April tahun depan dengan pemilihan wakil rakyat. Tahapan pemilu akan terus belanjut hingga pemilihan presiden dan berakhir dengan pelantikan presiden pada bulan Oktober di tahun yang sama. Apakah sisa waktu sebelum pemilu itu dianggap singkat atau masih lama tergantung pada siapa Anda.
Kalau Anda seorang anggota KPU atau politisi yang sedang dielus-elus untuk masuk istana, pastilah sisa waktu itu terasa sangat singkat. Tapi bagi seorang terpidana yang berada di penjara –kecuali Akbar Tandjung tentunya- April tahun depan akan terasa sangat lama. Untuk gampangnya, jarak dari sekarang menuju pemilu kira-kira sama dengan lamanya jabang bayi berada dalam rahim ibunya.
Bukan soal jadwal pemilu yang akan saya bahas di sini, namun lebih kepada cara pemimpin bangsa melihat pemilu dari kacamata mereka. Tak bisa disangkal, pemilu merupakan puncak pertarungan, partai final, dari segala even kenegaraan yang pernah ada. Menjelang pemilu, para calon pemimpin bangsa mengeluarkan semua sumber daya yang ada. Mulai dari menebar pesona, mengerahkan massa, kepintaran berorasi hingga merogoh kocek lebih dalam untuk memesan spanduk dan membeli nasi bungkus bagi peserta kampanye.
Semua itu dilakukan semata-mata agar pada pemilu nanti, yang akan menerapkan sistem pemilihan presiden langsung, warga yang memenuhi syarat sebagai pemilih dengan senang hati akan memilihnya sebagai presiden. Dalam sebuah proses politik, semua itu wajar saja adanya. Namun ada yang timpang ketika proses politik itu terjadi di Indonesia.
Kita bisa melihat ketimpangan itu dalam pemberitaan media massa belakangan seperti saya sebut pada awal tulisan ini. Hampir semua pemimpin kita, politisi hingga pejabat pemerintah (yang di sini sangat sulit membedakannya) sibuk membahas pemilu. Mulai dari mencari teman koalisi, proses pemilu, penggalangan massa, hingga kriteria calon presiden, menjadi menu utama mereka saat berbicara pada pers. Padahal, masih banyak permasalahan mendasar yang perlu dicarikan solusinya ketimbang membahas pemilu yang masih di awang-awang itu.
Misalnya bagi presiden, wakil presiden, menteri kabinet, serta wakil rakyat, bukankah saat jabatan itu mulai mereka pegang, fokus utama perhatian adalah pada nasib dua ratus juta rakyatnya? Tapi tidak begitu pada kenyataannya, setiap pemilu selesai dan presiden sudah dipilih, bukannya buru-buru menyelesaikan permasalahan bangsa, tapi sudah bersiap-siap kembali menghadapi pemilu berikutnya.
Kasihan betul rakyat Indonesia, karena pemimpinnya tak punya waktu lagi memikirkan nasib para pengungsi, teriakan kaum buruh, obat-obatan yang mahal, transportasi yang amburadul, pengangguran yang makin menakutkan, lembaga pendidikan yang mulai melacurkan diri, penegakan hukum yang berjalan terbalik, serta moral yang makin terkikis.
Seharusnya, tetaplah menjadi pemimpin bagi seluruh rakyat selagi jabatan itu masih dipegang. Biarlah urusan pemilu dipikirkan partai politik. Tapi susahnya, pemimpin kita kebanyakan juga pemimpin partai yang sulit untuk tidak berpihak. Intinya, pemimpin kita melihat kekuasaan itu untuk dia gunakan sendiri, bukan untuk dibagi dengan rakyatnya. Kalau begitu, betulkah pemilu yang sering kita gelar sudah melahirkan sosok pemimpin bangsa sebenarnya?
Sejauh ini belum. Yang baru muncul adalah pemimpin untuk dirinya sendiri. Tidak ada kesadaran bahwa ketika dia sudah dipilih menjadi presiden, maka dia harus segera membanting tulang untuk kesejahteraan rakyat, bukan duduk-duduk menunggu sembah sujud di istana. Tapi, berapa banyak pemimpin kita yang paham, bahwa memenangkan pemilu berarti kerja keras, bukan gagah-gagahan layaknya orang menang lotere.
Yang lupa disadari oleh para penguasa di negara ini, bahwa menjadi pemimpin itu tidak berbanding lurus dengan kehormatan. Pemimpin gampang dicari, tapi tak mudah bagi kita menaruh hormat. Siapa bilang Fir’aun, Adolf Hitler, Idi Amin, Josep Stalin, dan Ferdinand Marcos bukan seorang pemimpin? Tapi, tidak tersisa sedikit pun rasa hormat saya buat mereka.
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 24 Juli 2003)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar