Oleh: Rinaldo
Di tengah penantian banyak pihak akan putusan kasasi terhadap terpidana Akbar Tandjung serta hasil sidang peninjauan kembali (PK) kasus Tommy Soeharto, lembaga peradilan kita mendapat "tamparan" keras.
Senin lalu, Ketua Ombudsman Antonius Sujata sesaat setelah bertemu dengan Presiden Megawati Soekarnoputri di Istana Negara, kepada pers mamaparkan laporan yang disampaikannya pada Kepala Negara. Inti dari laporan itu adalah, lembaga peradilan kita menempati posisi paling puncak dalam hal melakukan penyimpangan dibanding lembaga penegak hukum lainnya.
Menurut mantan jaksa ini, sejak Ombudsman berdiri, laporan masyarakat yang diterima paling banyak menyoal lembaga peradilan (40 persen), kemudian disusul kepolisian (12 persen), dan kejaksaan (10 persen). Penyimpangan di pengadilan yang terbanyak adalah dalam bentuk masuknya uang kasus perdata ke rekening pribadi, meminta sejumlah uang, dan tidak mengirimkan berkas perkara secara lengkap.
Kabar tersebut tentunya bukan sesuatu yang baru. Dalam berbagai seminar, talkshow serta obrolan di kalangan pemerhati masalah hukum, perilaku hakim seperti yang dipaparkan Antonius kerap terdengar.
Namun, hingga kini suara itu --baik kecaman atau kontribusi pemikiran-- tak penah bisa menembus kokohnya tembok gedung pengadilan kita. Setiap fakta dibuka, isu diangkat dan kecaman diarahkan pada korps aparat berjubah hitam ini, dengan segera pula mereka merapatkan barisan dengan satu suara, bahwa semua teriakan dari luar itu kebohongan dan fitnah belaka.
Tak jarang semua itu malah berbalik menjadi bumerang bagi mereka yang mencoba-coba mengusik ketenangan sang hakim. Pengalaman memperlihatkan pada kita, jika melaporkan kebobrokan seorang hakim, bukan sang hakim yang akan segera diproses, tapi si pelapor yang duluan menjadi pesakitan. Bagi seorang hakim, sangat mudah membalikkan semua fakta dan tuduhan itu sebagai bentuk pelecehan, pembunuhan karakter, serta sederet alasan pembenar lainnya.
Tapi, kita tidak boleh berputus asa, karena tidak semua hakim berperilaku jelek seperti yang sudah terpatri selama ini. Untuk membuktikan bahwa ucapan tersebut tidak klise, tengok saja pribadi Sahlan Said, seorang hakim yang bertugas di Pengadilan Negeri Yogyakarta.
Dalam sebuah diskusi bertema "Korupsi di Pengadilan" yang diselenggarakan oleh Justice for the Poor Project beberapa waktu lalu, Sahlan menceritakan secara gamblang pengalamannya berada di kalangan aparat penegak keadilan ini.
Berdasarkan pengalaman Sahlan, korupsi di pengadilan itu benar adanya. Dia menyaksikan sendiri bagaimana koleganya melakukan korupsi tanpa malu. Dan bukannya saling mengingatkan, sesama hakim seolah sudah memiliki "kode etik" tersendiri untuk tidak saling usil dalam urusan yang satu ini. Kebohongan sebenarnya adalah kalau ada hakim yang membantah kenyataan itu, demikian diungkapkan Sahlan.
Dari pengalaman itu pula Sahlan mengambil kesimpulan bahwa penyebab dari merebaknya korupsi di pengadilan adalah karena pengawasan dari atasan di pengadilan bersangkutan, pengadilan tinggi, hingga Mahkamah Agung tidak jalan.
Sahlan memberi contoh, beberapa kali dia pernah melaporkan perilaku tak terpuji rekannya, bahkan sampai ditulis media massa lokal. Namun tak ada sanksi ataupun teguran bagi mereka. Anehnya, Sahlan tak pernah pula dituduh sebagai penyebar fitnah atas apa yang dilakukannya.
Kenapa pengawasan tidak jalan juga sangat dipahami Sahlan. Pasalnya, hakim yang mestinya melakukan pengawasan dan memberi sanksi juga melakukan korupsi. Bagaimana bisa melakukan pengawasan serta memberi sanksi kalau dirinya memiliki ‘’kenakalan’’ yang sama dengan bawahannya? Artinya lagi, korupsi sudah begitu menggurita di lembaga peradilan kita, dari hulu hingga hilir.
Di lain sisi, Sahlan menyadari bukan hanya hakim yang suka menjual jabatan, hukum, dan martabatnya. Di kalangan lembaga penegak hukum lainnya seperti kepolisian dan kejaksaan, korupsi juga bukan perkara asing.
Dalam satu hal Sahlan benar, hakim itu berada di barisan terdepan dalam penegakan hukum, dan pengadilan adalah rumah terakhir bagi pencari keadilan, begitulah idealnya. Karena itu, seorang hakim mestilah pribadi yang bersih, jujur, dan beriman. Di urutan selanjutnya baru dipertanyakan kualitas keilmuan yang dia miliki.
Kenapa harus begitu jelimet mengurus kriteria seorang hakim? Pasalnya, keadilan tidak datang dari polisi atau jaksa, tapi dari putusan seorang hakim yang baik. Bagi Sahlan, hakim itu ultimum remedium. Yang lain boleh jelek, tapi kalau hakimnya profesional, maka putusannya akan bagus. Undang-undang bisa jadi amburadul, tapi kalau hakimnya memiliki iman dan nurani, keadilan bisa dicapai. Sahlan agaknya tidak sendiri. Tapi masalahnya, sangat sulit menemukan "Sahlan" lainnya.
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 9 Juli 2003)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar