Rinaldo
Senin lalu, Menteri Perhubungan Freddy Numberi tanpa beban mengatakan bahwa kecelakaan kereta di Stasiun Petarukan terjadi karena kesalahan masinis. Hal itu dengan tegas disampaikan Freddy dalam rapat kerja Komisi Perhubungan DPR dengan Kementerian Perhubungan, Direksi PT Kereta Api, dan KNKT. Ini tentu bukan kalimat yang terdengar asing. Setiap kali terjadi kecelakaan kereta, sang menteri biasanya memang buru-buru mencari "pelaku" yang hampir selalu ditujukan kepada masinis.
Sehari kemudian, giliran Pelaksana Tugas Jaksa Agung Darmono yang bikin berita. Dari kantornya di Jalan Hasanudin, Jakarta Selatan, dia mengatakan Kejaksaan Agung tak menemukan indikasi pidana yang dilakukan jaksa yang menangani kasus penggelapan pajak Gayus Tambunan. Bisa ditebak, yang dimaksud sebagai jaksa oleh Darmono adalah Cyrus Sinaga. Apa yang diucapkan Darmono juga hanya mengulang sesuatu yang kerap terjadi. Setiap kali seorang jaksa diindikasikan melanggar hukum, Jaksa Agung biasanya sangat tangkas dan sigap membantahnya.
Kedua pernyataan pejabat di atas membuat saya berpikir, betapa berbedanya sikap dan gaya mereka dalam memimpin di masing-masing lembaga. Menhub bisa dibilang hebat. Ketika KNKT masih sibuk bekerja, dia sudah sampai pada tahap kesimpulan. Tak jelas siluman mana yang telah melakukan investigasi yang kemudian dijadikan acuan bagi Menhub untuk menuding masinisnya. Padahal, KNKT yang telah diberi wewenang untuk itu belum berani bicara banyak. Bahkan, Ketua KNKT Tatang Kurniadi mengatakan kalau hasil akhir penyelidikan baru akan diketahui paling cepat tiga bulan pascakecelakaan.
Lantas, kenapa Menhub Freddy bisa mengeluarkan kesimpulan begitu cepat dengan menjadikan anak buahnya sebagai pesakitan? Entahlah, saya merasa aneh ketika KNKT mengatakan bahwa kesalahan tidak bisa berdiri sendiri, sedangkan Menhub begitu yakinnya dengan kesalahan sang anak buah. Bisa jadi, menurut pemikiran saya, Menhub segera mencari "biang" agar faktor penyebab yang lain tak dipertanyakan lagi dan desakan agar dirinya mundur bisa mereda.
Misalnya, bisa saja publik mempertanyakan kondisi kereta kita yang sudah bobrok. Belum lagi soal sistem kerja, perawatan, serta pengawasan Dephub atas moda transportasi ini. Menyangkut masinis, kita juga bisa mempertanyakan kualitas SDM yang dipakai serta jam kerja yang dibebankan. Namun, pertanyaan itu tak pernah terjawab karena kecepatan Menhub (tidak hanya Menhub yang sekarang) menuding masinis sebagai penyebab malapetaka. Ya, menteri yang naik mobil mengkilap itu selalu dianggap benar, sedangkan anak buah yang bergelut dengan maut di kereta besi selalu salah.
Lain lagi dengan Plt Jaksa Agung Darmono. Dia juga tak kalah hebat meski bertolak belakang dengan Menhub Freddy soal menyikapi masalah. Baginya, anak buah tak pernah salah. Tapi, atasan juga tak bisa disalahkan. Bingung kan? Memang, kasus suap dan penggelapan pajak yang membawa-bawa nama seorang jaksa ini membuat bingung. Semuanya campur aduk karena orang-orang di lembaga penegak hukum ikut bermain dan terlibat. Tapi, toh Darmono merasa anak buahnya tak berbuat salah, meski segudang data dan fakta bisa diajukan untuk mementahkan argumen itu.
Lihat saja, sejumlah saksi dalam sidang perkara ini menyatakan bahwa jaksa Cyrus Sinaga menolak mengenakan pasal korupsi dalam dugaan pidana rekening mencurigakan milik Gayus. Selain itu, Cyrus juga dituding mengurangi dan mengganti pasal-pasal yang digunakan untuk menjerat Gayus menjadi meringankan. Tuduhan ini tentu sulit dibantah karena dakwaan dan tuntutan dibuat oleh jaksa. Dan, ketika seorang yang terbukti menilap uang negara Rp 28 miliar dibebaskan pengadilan, aroma tak sedap itu sulit untuk dihilangkan.
Meski sikap Darmono juga membingungkan, motifnya bukan tak bisa diendus. Bisa jadi, lagi-lagi ini menurut saya pribadi, dia sedang berusaha mencari simpati dari kalangan korps kejaksaan. Di tengah derasnya suara yang menginginkan agar Jaksa Agung mendatang berasal dari kalangan eksternal, posisi Darmono jelas tak mudah untuk menjadi orang nomor satu di kejaksaan. Cara satu-satunya (mungkin menurut dia) adalah dengan menyatukan suara kejaksaan mendukungnya. Nah, kiatnya yaitu dengan memperlihatkan bahwa dia membela jaksa yang sedang terkena tudingan serius agar disebut sebagai sosok yang tak mau mencelakakan anak buah.
Hanya saja, saya menjadi geli memikirkan semua itu. Kalau saja setiap kecelakaan kereta selalu saja menjadikan masinis sebagai biang onar, kapan kereta akan menjadi sarana transportasi yang aman. Pasalnya, masalah sebenarnya tak pernah terurai karena tanggung jawab berhenti di pundak masinis. Tak heran kereta di Indonesia yang kecepatannya masih bisa disaingi mobil dinas Menhub itu bisa puluhan kali jungkir balik keluar rel setiap tahunnya. Sementara di negara lain, kereta yang kecepatannya bersaing dengan pesawat udara, aman-aman saja berlari di atas rel. Ada apa dengan kereta kita sebenarnya? Sampai sekarang belum ada Menhub yang tahu jawabannya.
Begitu pula dengan Darmono, dan ini sebenarnya lebih lucu lagi. Jika dia berani membela seorang jaksa yang deretan kesalahan dan dosanya begitu mudah untuk ditelusuri, dengan harapan akan beroleh dukungan dari dalam, bukankah ini semakin memperjelas posisi kejaksaan. Sebab, pembelaan yang dilakukan Darmono seolah membenarkan tentang posisi sebenarnya lembaga kejaksaan dalam upaya penegakan hukum.
Logikanya begini, jika seorang jaksa diduga melanggar sumpahnya berdasarkan keterangan saksi dan bukti yang terpampang jelas, sebagai lembaga penegak hukum sang jaksa tersebut akan dicibir oleh teman-temannya sesama jaksa. Itu kalau mereka, para jaksa itu, merasa upaya kejaksaan menegakkan hukum telah dikotori oleh perilaku satu orang. Maka, ketika sang jaksa dibela oleh Darmono dan diamini oleh korps kejaksaan, bagi saya mengartikan satu hal. Bahwa, sejak dari pucuk pimpinan hingga paling bawah di kejaksaan sama sekali tak terganggu dengan apa yang dilakukan Cyrus. Dengan kata lain, apa yang dilakukan Cyrus hal yang lumrah, wajar, dan tak memercikkan noda apa pun bagi kejaksaan.
Nah, apakah sikap seperti menhub Freddy dan Plt Jaksa Agung Darmono tak boleh ditiru? Tidak juga, karena banyak nilai-nilai baik sebenarnya yang dimiliki keduanya. Namun, mereka menurut saya salah tempat dan jabatan. Karena itu saya punya solusi agar nilai-nilai baik yang dimiliki Freddy dan Darmono bisa bekerja dengan tepat. Caranya yaitu dengan mengganti jabatan dan posisi keduanya. Freddy diangkat menjadi Plt Jaksa Agung dan Darmono menjadi Menhub. Saya yakin "resep" ini akan jitu.
Coba pikirkan apa kira-kira yang akan terjadi jika Freddy memimpin kejaksaan. Karena dikenal kerap menuduh anak buah sebagai biang kesalahan, saya yakin jaksa-jaksa akan takut melanggar sumpah. Bayangkan saja, tidak melanggar saja bisa kena tuding, apalagi benar-benar melakukan kesalahan. Saya yakin, dalam hitungan bulan tak akan ada lagi jaksa yang nakal, kita juga tak akan lagi mendengar dakwaan serta tuntutan yang bikin kening berkerut saat dibacakan di pengadilan.
Begitu juga dengan Darmono. Para pekerja kereta api, khususnya masinis, pasti akan menyambut kedatangan dia dengan karangan bunga dan tari-tarian di setiap stasiun. Pamornya sebagai pimpinan yang sangat membela anak buah tentu akan membuat para masinis seperti menemukan pimpinan yang sebenarnya. Meski bekerja sambil berdiri berjam-jam di dalam lokomotif, saya yakin para masinis akan menjalankan fungsinya dengan tenang dan riang gembira karena tak akan pernah lagi dijadikan tumpuan masalah.
Mumpung sekarang juga sedang santer isu pergantian di tubuh Kabinet Indonesia Bersatu, tak ada salahnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mempertimbangkan usul saya. Daripada pusing mencari calon baru yang ujung-ujungnya akan membuat marah partai politik anggota koalisi, lebih baik tetap memakai yang ada dengan sedikit pergeseran. Tapi, maaf, saya tak menjamin cara ini akan berhasil. Dan, tolong jangan menuding saya nantinya sebagai penyebab rusaknya kinerja kabinet jika cara ini tetap dipakai.***
(Tulisan ini pernah dimuat di Blog Liputan6.com Edisi 10 Oktober 2010)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar