Rabu pekan lalu ada berita mengejutkan dari Banten. Diberitakan bahwa dua pengacara kondang Ibu Kota nyaris adu jotos di ruang sidang. Hotman Paris Hutapea dan Luhut Pangaribuan, dua nama yang sudah identik dengan profesi advokat itu, sulit menahan emosi saat mewakili klien mereka yang berperkara di Pengadilan Negeri Serang.
Setelah adu argumen memanas, maka kata-kata yang keluar pun mulai melenceng dari konteks perkara. Peringatan dari hakim tak membuat keduanya tenang, bahkan hingga di luar ruang sidang pun kericuhan di antara keduanya nyaris berbuntut kontak fisik. Tak jelas, apakah adu mulut yang tak pantas itu dianggap sebagai contempt of court oleh hakim PN Serang.
Tidak hanya di dalam ruang sidang, di luar ruang sidang pun, tepatnya di Jakarta, dua pengacara kondang juga terlibat adu mulut yang tak jelas hubungannya dengan substansi perkara yang sedang mereka tangani. Bahkan untuk kasus ini, nama advokat kondang Adnan Buyung Nasution ikut dibawa-bawa.
Persoalannya, Ruhut Sitompul yang menjadi kuasa hukum seorang wanita yang dikabarkan dihamili oleh seorang bintang sinetron, merasa tersinggung atas ucapan Gusti Randa, mantan bintang sinetron yang menjadi kuasa hukum dari si bintang sinetron. Ruhut meradang karena Gusti dianggap melecehkan kliennya, hingga argumennya pun menjurus pada masalah pribadi.
Latar belakang Gusti dibongkar dan derajat senioritas pun dikedepankan Ruhut. Posisi Gusti yang mengajak law firm Adnan Buyung Nasution dalam membela kliennya juga tak luput dari kritikan Ruhut. Gusti memang tak membalas pedasnya kata-kata Ruhut, namun perseteruan di antara mereka jelas tak bisa lagi diposisikan sebagai bentuk pembelaan bagi klien.
Yang jelas, perseteruan di antara para advokat di atas sudah kehilangan konteks, tak lagi bicara soal hukum atau keadilan, tapi sudah menyentuh ke ruang pribadi para advokat. Dan itu terjadi ketika mereka sedang berperkara, di mana seharusnya yang mengemuka adalah argumen-argumen hukum yang cerdas.
Yang bisa dilihat di sini adalah, bahwa etika profesi mulai kabur di kalangan advokat. Memang benar, peristiwa di atas hanya dilakukan segelintir advokat, namun karena terjadi di kalangan advokat papan atas, maka khalayak bisa mengatakan; kalau yang senior saja begitu, bagaimana dengan yuniornya?
Padahal, sebagaimana tertera dalam Pasal 4 ayat (2) UU No.18 Tahun 2003 tentang Advokat, sumpah seorang advokat di antaranya adalah: bahwa saya akan menjaga tingkah laku saya dan akan menjalankan kewajiban saya sesuai dengan kehormatan, martabat, dan tanggung jawab saya sebagai advokat.
Sedangkan dalam Pasal 6 tentang Penindakan, UU ini mengatakan bahwa seorang advokat dilarang: (b) berbuat atau bertingkah laku yang tidak patut terhadap lawan atau rekan seprofesinya; dan (d) berbuat hal-hal yang bertentangan dengan kewajiban, kehormatan, atau harkat dan martabat profesinya.
Tapi akan sangat sulit melakukan penindakan dimaksud. Dengan masih belum menyatunya organisasi advokat, ada kemungkinan sang pengacara akan dibela oleh organisasinya. Bahkan, bukan tidak mungkin perseteruan meluas menjadi antarorganisasi advokat.
Saat ini, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 32 UU Advokat tentang Ketentuan Peralihan, organisasi advokat ada delapan, yaitu Ikadin, AAI, IPHI, HAPI, SPI, AKHI, HKHPM dan APSI. Dan masing-masing organisasi ini memiliki AD dan ART yang berbeda.
Intinya, sudah saatnya para advokat bersungguh-sungguh memikirkan bagaimana para advokat bisa menyatu di bawah satu atap. Selain untuk menyelaraskan etika, memudahkan penindakan terhadap anggota yang melanggar, juga untuk menghilangkan hegemoni dan ego di antara organisasi advokat. Di atas semua itu, advokat harus mulai menjadi aparat penegak hukum sebagaimana digariskan UU Advokat, bukan aparat yang mengesampingkan hukum.***
(Tulisan ini pernah dimuat di Harian PERINTIS edisi 10 Desember 2003)
1 komentar:
Mantap.. Pasal-pasal dihafal semua nih:).
Posting Komentar