Senin, 29 Juli 2013

Derita Sang Narasumber


Senin 25 Februari 2013


Kelebihan meliput di Istana adalah kita bisa bertemu dengan banyak pejabat atau tokoh tanpa harus menunggu atau buat janji terlebih dulu. Apalagi dalam acara-acara yang melibatkan banyak pejabat, misalnya rapat kabinet atau rapat antara pemerintah dengan lembaga lain. Kalau di luar Istana banyak pejabat yang jual mahal pada wartawan, di Istana sebaliknya, wartawan yang pilih-pilih untuk mewawancarai sang pejabat.

Seperti hari ini, ada rapat konsultasi antara pemerintah dan DPR di Istana Negara. Sejumlah menteri kabinet datang mendampingi Presiden bertemu petinggi DPR. Seperti biasanya, kalau acara berlangsung di Istana Negara, si pejabat dicegat rombongan wartawan setelah dia turun mobil di depan pintu masuk kawasan Istana, sedangkan jika pertemuan digelar di Kantor Presiden, wartawan bisa mencegat di pintu masuk Kantor Presiden yang melewati ruangan wartawan. 

Sebagai narasumber, seorang menteri tidak dinilai dari ramah atau tidaknya dia kepada wartawan, melainkan dari isu yang sedang berkembang. Faktor lainnya adalah posisi atau sektor yang dipimpin. Menteri Agama pastilah kalah pamor dibandingkan dengan Menteri Dalam Negeri, atau Menteri Keuangan yang begitu dicari daripada Menteri Pemberdayaan Perempuan. Terkecuali saat itu pos menteri yang kurang 'seksi' tersebut tengah menjadi sorotan, barulah sang menteri dibutuhkan komentar atau pernyataannya.

Siang ini, wartawan pun mulai bersiaga setengah jam sebelum pertemuan digelar. Tak lama kemudian, seorang menteri yang turun dari mobilnya langsung dicegat wartawan dan ditanyai berbagai hal. Dengan sabar pertanyaan itu diladeni. Pada saat bersamaan, dari kejauhan terlihat Menteri Keuangan Agus Martowardojo juga turun dari mobilnya. Sontak, wartawan yang tengah merekam pernyataan sang menteri tadi berlarian tanpa permisi mengejar Agus Marto dan membiarkan sang menteri melongo ditinggalkan 'penggemarnya'.

Saat berikutnya, seorang menteri lain juga tiba di halaman belakang Istana Negara dan langsung dipepet wartawan. Tapi itu tak lama, karena kemudian terlihat Menteri Pertanian Suswono turun dari mobilnya sehingga perhatian wartawan teralihkan. Hal yang sama juga terjadi ketika seorang menteri ditinggal pergi wartawan yang melihat kedatangan Ketua DPR Marzuki Alie. Maka, menteri yang kurang punya isu atau daya tarik berita harus mengalah pada menteri lain yang sedang jadi topik pemberitaan.

Bagi saya itu bisa dimaklumi dilihat dari konteks pemberitaan saat ini. Agus Marto dikejar karena dia baru saja dicalonkan Presiden ke DPR untuk kedua kalinya menjadi Gubernur Bank Indonesia, sebuah posisi strategis memang, sementara pada pencalonan sebelumnya Agus Marto sudah ditolak DPR. Demikian pula dengan Suswono yang namanya disebut-sebut ikut terlibat dalam kasus suap sapi impor. Sedangkan Marzuki Alie dikejar karena dikabarkan berminat menjadi calon Ketua Umum Partai Demokrat menggantikan Anas Urbaningrum yang  telah ditetapkan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagai tersangka dalam kasus gratifikasi proyek Hambalang. 

Jadi semua ada alasannya, meski cara wartawan meninggalkan sang narasumber tanpa permisi terkesan kurang elok. Cara yang lebih elegan adalah jika para wartawan mencegat narasumber di depan pintu masuk Kantor Presiden. Seorang menteri yang tak dibutuhkan komentarnya akan dibiarkan melenggang masuk. Sedangkan menteri yang ditunggu komentar dan pernyataannya bakal ditutup jalannya dan langsung disodori mikrofon serta alat perekam.

Apa pun itu, yang jelas kawasan Istana bisa menjadi bersahabat atau jahat bagi seorang menteri yang ingin mencari panggung. Karena berada di wilayah yang bukan menjadi kekuasaannya, para pejabat yang masuk Istana harus sabar jika tak dibutuhkan wartawan. Sebaliknya, menteri yang sedang punya kasus atau sedang jadi sorotan atas kinerjanya, baik positif atau negatif, harus pintar-pintar memilih kalimat yang akan disampaikan.

Karena itu, wartawan di Istana sama sekali tak terpukau atau segan dengan jabatan seseorang, baik menteri atau pimpinan lembaga negara lainnya. Wartawan menilai seorang pejabat itu bukan saja dari posisi yang dia pegang, tapi lebih kepada apa yang sudah atau akan dilakukan terkait jabatannya. Dan, memang hanya itu yang dibutuhkan wartawan, bukan pesona atau tingginya jabatan seseorang.


Wartawan di Istana Negara dalam sebuah acara pelantikan